Politik Santuy atau Politik Baperan
loading...
A
A
A
Ada beberapa pandangan filosof yang menempatkan humor di median negatif, di antaranya adalah Plato. Menurutnya, tawa sebagai emosi yang dapat mengurangi pengendalian diri dan pikiran rasional. Karena itulah, dia berpendapat bahwa wali negara (baca: pemimpin) wajib menghindari tawa. Bahkan dia juga berpendapat, bahwa jika ada orang yang digambarkan dikuasai oleh tawa, tidak boleh diterima, termasuk pandangan dan pemikirannya.
Menurutnya, tawa harus dikontrol dengan ketat. Tertawa dianggap sebagai tradisi di kalangan budak atau pekerja asing. Sementara orang-orang bebas, orang-orang terhormat baik laki-laki maupun perempuan harus menghindarinya. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa tertawa berarti mencemooh.
Orang-orang Stoa, dengan penekanan mereka pada pengendalian diri, setuju dengan Plato bahwa tawa mengurangi kontrol diri. Epictetus, seorang filsuf dari Stoa, menasihati: "Janganlah anda tertawa keras, terlalu sering, atau tidak terkendali." Karena celaan terhadap tertawa inilah, para pengikutnya mengatakan bahwa Epictetus tidak pernah tertawa sama sekali.
baca juga: Dinamika Politik dan Kebijakan
Penilaian negatif para pemikir Yunani kuno terhadap tawa dan humor memengaruhi pemikir Kristen pada periode awal, dan kemudian juga mempengaruhi kultur Eropa. Sikap ini diperkuat oleh pernyataan negatif Alkitab tentang tawa dan humor yang menarasikan tawa sebagai ekspresi permusuhan. Pandangan ini juga diwarisi para sufi muslim yang lahir dan berkembang belakangan.
Belajar Berpolitik Sejak Dini
Generasi muda perlu belajar politik sejak dini. Paradigma Merdeka Belajar Merdeka Mengajar menjadi paradigma kurikulum baru memfasilitasi pendidikan politik sejak dini. Politik tidak dimaknai sebagai "perebutan kekuasaan", namun politik adiluhung.
Dalam implementasi kurikulum merdeka, guru harus memberikan pendidikan dasar politik adiluhung tersebut. Melalui penguatan nalar kritis, nalar kreatif, semangat berkolabotasi dan optimalisasi kompetensi komunikasi adalah capaian luaran dari proses pendidikan. Semua target tersebut diaktualisasikan dalam garapan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Strategi-strategi komunikasi tingkat tinggi harus ditempuh, karena ia harus "belajar" melobi orang lain, belajar berpendapat dan mempertahankan argumennya, dan mampu bekerja sama. Keempat hal tersebut adalah modal dasar berpolitik santun dan adiluhung dengan komitmen pada nilai-nilai moralitas yang tinggi.
Menurutnya, tawa harus dikontrol dengan ketat. Tertawa dianggap sebagai tradisi di kalangan budak atau pekerja asing. Sementara orang-orang bebas, orang-orang terhormat baik laki-laki maupun perempuan harus menghindarinya. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa tertawa berarti mencemooh.
Orang-orang Stoa, dengan penekanan mereka pada pengendalian diri, setuju dengan Plato bahwa tawa mengurangi kontrol diri. Epictetus, seorang filsuf dari Stoa, menasihati: "Janganlah anda tertawa keras, terlalu sering, atau tidak terkendali." Karena celaan terhadap tertawa inilah, para pengikutnya mengatakan bahwa Epictetus tidak pernah tertawa sama sekali.
baca juga: Dinamika Politik dan Kebijakan
Penilaian negatif para pemikir Yunani kuno terhadap tawa dan humor memengaruhi pemikir Kristen pada periode awal, dan kemudian juga mempengaruhi kultur Eropa. Sikap ini diperkuat oleh pernyataan negatif Alkitab tentang tawa dan humor yang menarasikan tawa sebagai ekspresi permusuhan. Pandangan ini juga diwarisi para sufi muslim yang lahir dan berkembang belakangan.
Belajar Berpolitik Sejak Dini
Generasi muda perlu belajar politik sejak dini. Paradigma Merdeka Belajar Merdeka Mengajar menjadi paradigma kurikulum baru memfasilitasi pendidikan politik sejak dini. Politik tidak dimaknai sebagai "perebutan kekuasaan", namun politik adiluhung.
Dalam implementasi kurikulum merdeka, guru harus memberikan pendidikan dasar politik adiluhung tersebut. Melalui penguatan nalar kritis, nalar kreatif, semangat berkolabotasi dan optimalisasi kompetensi komunikasi adalah capaian luaran dari proses pendidikan. Semua target tersebut diaktualisasikan dalam garapan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Strategi-strategi komunikasi tingkat tinggi harus ditempuh, karena ia harus "belajar" melobi orang lain, belajar berpendapat dan mempertahankan argumennya, dan mampu bekerja sama. Keempat hal tersebut adalah modal dasar berpolitik santun dan adiluhung dengan komitmen pada nilai-nilai moralitas yang tinggi.
(hdr)