Politik Santuy atau Politik Baperan

Kamis, 07 September 2023 - 11:04 WIB
loading...
Politik Santuy atau Politik Baperan
Politik Santuy atau Politik Baperan
A A A
Anis Masykhur
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Peneliti pada Alhikmah Institut for Islamic Studies Jakarta

FENOMENA beloknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tanpa beri "lampu sein" terlebih dahulu dan dinamika perubahan politik mutakhir secara tiba-tiba memang cukup menyakitkan bagi pihak yang dirugikan. Bagi politisi yang "baperan", maka sudah pasti hujatan adalah ekspresi yang tak terelakkan. Maka, kata "penghianat" dan "penghianatan" menjadi kata yang paling tren selama sepekan sejak kejadian itu.

baca juga: Tepis Politik Identitas

Namun di sisi lain, ketika menyaksikan gaya komunikasi politik Kaesang, putra bungsu Presiden Joko Widodo menjelang pencalonannya menjadi "Depok Pertama" melalui PDP (PodKaesang Depan Pintu), adalah sesuatu yang terbalik dengan kondisi terkini. Politik jadi terasa asyik dan "santuy".

Dulu, ketika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan relawan Kaesang mendeklarasikan pencalonannya untuk Wali Kota Depok di awal Juni lalu, sejumlah pengamat melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang tidak aneh dan sudah diduga sebelumnya, meskipun di pihak lain memandang sebagai aksi gimmick.

Tulisan ini tidak akan membahas cerita "belok tanpa sein" maupun pencalonan si "Raja Pisang", karena pasti sudah banyak pengamat dan ahli yang membahasnya. Tapi saya akan mencermati model respon balik politik pasca "belok tanpa sein" dan gaya komunikasi yang ditunjukkan putra bungsu orang nomor satu Indonesia tersebut yang penuh jenaka dan asyik untuk dinikmati, bahkan kadang dijawab dengan slenge'an. Saya lebih suka menyebutnya dengan istilah "politik santuy".

Gaya ini juga kadang dipakai oleh para politisi lainnya seperti Cak Imin--panggilan akrab Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB--yang kini menjadi icon "belok tanpa sein". Santuy adalah bahasa gen Z yang memiliki kedekatan arti dengan humor, santai, main-main dan tidak serius. Tidak banyak politisi yang bisa menggunakan humor atau lelucon dalam gaya komunikasi politiknya.

baca juga: Pesantren Politik Pemuda Perindo, Ferry Kurnia: Hindari Politik Uang!

Tentunya, kita mengenal tokoh yang tidak sepi dengan humor semasa hidupnya, bahkan untuk politikpun. Siapa tidak kenal Gus Dur--panggilan akrab Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid . Politisi ini yang selalu menggunakan humor sebagai instrumen komunikasi politiknya. Ia menjadikan humor sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Semasa hidupnya terasa sekali bahwa dengan humor, berpolitik terasa lebih asyik.

Berpolitik identik dengan aktivitas saling mengintrik. Tidak peduli lawan, bahkan kadang kawan juga diintrik. Tidak aneh jika muncul adagium, politic is filthy, politik itu kotor, karena banyak cara dan jalan yang "kotor" untuk mencapai tujuan.

Berpolitik menjadi tidak asyik, karena harus mencari peluang-peluang agar mendapatkan suara signifikan, bahkan cenderung menghalalkan segala cara. Baik buruk tidak menjadi perhatian, halal haram tidak menjadi pertimbangan, asal simpati ataupun suara didapatkan. Politik identik dengan spekulasi, yang bagi orang yang memilih jalur ini membutuhkan "keberanian"-untuk mengganti istilah kenekatan.

Gaya Politik "Slenge'an" Kaesang

Tim Relawan Kaesang Menang ketika mendeklarasikan sebagai bakal calon wali kota dengan istilah "Depok Pertama", media mempertanyakan sebagai tanda "tidak percaya" dan "menuduh"-nya sebagai ajang gimmick. Memang tidak bisa dibedakan antara serius atau bercanda, karena keduanya sama ada pada diri Kaesang.

Apalagi ketika bersama group lawak difasiltiasi dalam PDP (Podkaesang Depan Pintu), yang dalam pengantarnya sebenarnya sudah ada Disclaimer sebagai wahana promosi produk UMKM. Tapi, sebenarnya tujuan akhirnya dapat ditebak, yakni ajang promosi menuju Depok Pertama. Sebab, setiap sesi selalu memunculkan secara berulang jargon "Depok Pertama" dan menanyakan kepada narasumber tentang kelayakan Kaesang merebut posisi Depok 1.

Politik "slenge'an" ditunjukkan ketika keluar statemen "kalau tidak suka, gak usah memilih." Atau komentarnya ketika direncanakan akan ada nonton bareng kompetisin Piala AFF Indonesia vs Vietnam, lalu "diserang" netizen akan dijadikan ajang kampanye.

Gibran merespon, "Yo wis, lain kali gini aja. Kalau ada event, saya akan bilang ke pengunjung, tidak usah nyoblos Gibran. Gampang to!" Padahal itu adalah kata-kata yang tabu diungkapkan seorang politisi, yang mendeklarasikan untuk tidak dipilih. Tapi baginya tidak masalah.

baca juga: Analis Komunikasi Politik Beberkan Cara Maksimalkan Peran Anak Muda di Dunia Politik

Hal yang sama respon Kaesang ketika ditanya kenapa milih Depok, juga dijawab dengan santainya, bahwa kalau di Solo dan sekitarnya khawatir menjadi pesaing kakaknya, Gibran Rakabuming, yang saat ini menjabat wali kota Solo. Dan banyak lagi kata-kata slenge'an lainnya. Ini akan menjadi gaya baru cara berpolitik generasi millenial, yang tidak bisa ditiru oleh generasi tua. Generasi muda harus mulai belajar cara berpolitik yang asyik ini.

Politik Serius

Beberapa pandangan para ahli termasuk filosof dan sufi, bahwa humor itu identik dengan ketidakseriusan sehingga dianggap membawa energi negatif. Dalam bahasa sufi ataupun bahasa agama, orang yang banyak tawa akan mematikan hati, dan jika hati mati maka tidak akan bisa menerima cahaya kebenaran, dan jika kebenaran tidak bisa memasuki hatinya, maka akan muncul selalu perilaku jahat, ujung-ujungnya akan masuk neraka. Maka, tidak aneh jika humor termasuk laghwun (kesia-siaan).

Ada beberapa pandangan filosof yang menempatkan humor di median negatif, di antaranya adalah Plato. Menurutnya, tawa sebagai emosi yang dapat mengurangi pengendalian diri dan pikiran rasional. Karena itulah, dia berpendapat bahwa wali negara (baca: pemimpin) wajib menghindari tawa. Bahkan dia juga berpendapat, bahwa jika ada orang yang digambarkan dikuasai oleh tawa, tidak boleh diterima, termasuk pandangan dan pemikirannya.

Menurutnya, tawa harus dikontrol dengan ketat. Tertawa dianggap sebagai tradisi di kalangan budak atau pekerja asing. Sementara orang-orang bebas, orang-orang terhormat baik laki-laki maupun perempuan harus menghindarinya. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa tertawa berarti mencemooh.

Orang-orang Stoa, dengan penekanan mereka pada pengendalian diri, setuju dengan Plato bahwa tawa mengurangi kontrol diri. Epictetus, seorang filsuf dari Stoa, menasihati: "Janganlah anda tertawa keras, terlalu sering, atau tidak terkendali." Karena celaan terhadap tertawa inilah, para pengikutnya mengatakan bahwa Epictetus tidak pernah tertawa sama sekali.

baca juga: Dinamika Politik dan Kebijakan

Penilaian negatif para pemikir Yunani kuno terhadap tawa dan humor memengaruhi pemikir Kristen pada periode awal, dan kemudian juga mempengaruhi kultur Eropa. Sikap ini diperkuat oleh pernyataan negatif Alkitab tentang tawa dan humor yang menarasikan tawa sebagai ekspresi permusuhan. Pandangan ini juga diwarisi para sufi muslim yang lahir dan berkembang belakangan.

Belajar Berpolitik Sejak Dini

Generasi muda perlu belajar politik sejak dini. Paradigma Merdeka Belajar Merdeka Mengajar menjadi paradigma kurikulum baru memfasilitasi pendidikan politik sejak dini. Politik tidak dimaknai sebagai "perebutan kekuasaan", namun politik adiluhung.

Dalam implementasi kurikulum merdeka, guru harus memberikan pendidikan dasar politik adiluhung tersebut. Melalui penguatan nalar kritis, nalar kreatif, semangat berkolabotasi dan optimalisasi kompetensi komunikasi adalah capaian luaran dari proses pendidikan. Semua target tersebut diaktualisasikan dalam garapan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Strategi-strategi komunikasi tingkat tinggi harus ditempuh, karena ia harus "belajar" melobi orang lain, belajar berpendapat dan mempertahankan argumennya, dan mampu bekerja sama. Keempat hal tersebut adalah modal dasar berpolitik santun dan adiluhung dengan komitmen pada nilai-nilai moralitas yang tinggi.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2125 seconds (0.1#10.140)