Merdeka dari Polusi Udara
loading...
A
A
A
Anis Masykhur
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Peneliti pada Alhikmah Institut for Islamic Studies
BARUlewat dua pekan, bangsa ini merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya ke 78, di mana semua elemen bangsa merayakannya dengan gelap gempita dan penuh bahagia. Setidaknya hal itu terlihat pada saat peringatan kemerdekaan RI di berbagai tempat bahkan terlihat juga di Istana Negara, meski tidak bebas dari kritik. Mereka layak berbahagia karena kebebasannya dari penjajahan.
baca juga: Terungkap! Ini Sumber Utama Polusi Udara di Jabodetabek
Memang, bangsa ini sudah merdeka secara lahiriah dari penjajahan, namun di sisi lain bangsa ini terancam oleh "penjajah" baru yang diciptakan oleh dirinya, yakni (di antaranya) polusi udara. Polusi udara yang bersumber dari knalpot kendaraan dan di beberapa daerah lain akibat ke(pem)bakaran hutan. Polusi udara , terlihat lembut tanpa daya, tapi sangat mematikan jika dibiarkan.
Selama sepekan terakhir, pelbagai media mengulas fenomena polusi udara di beberapa kota besar Indonesia, dengan dua sebab tersebut. Kementerian terkait mulai disibukkan untuk mencari solusi cepatnya. Ternyata polusi udara yang melampaui ambang bahaya tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga Bandung, Surabaya, Pontianak, Palangkaraya, dan kota-kota besar lainnya.
Namun yang paling populer adalah Jakarta, karena polusi sudah "digoreng" dengan isu politik. Memang, segala sesuatu yang bersentuhan dengan politik, kebesarannya akan melampaui kenyataannya. Terlebih menjelang tahun pemilu setiap isu (termasuk) bencana akan selalu "dilekatkan" dengan politik.
Padahal, udara kotor itu tidak hanya dirasakan oleh pendukung salah satu tokoh politik baik yang disukai atau dibenci. Seperti halnya di ibu kota Jakarta. Siapa pun yang tinggal di dalamnya, pasti merasakan dampaknya. Yang mesti dipikirkan dan dilakukan adalah mencari solusi cepatnya dengan menghentikan polusi itu, bukan bertengkar berebut suara keberuntungan.
baca juga: Pengendalian Polusi Udara Jabodetabek, KLHK Inspeksi Satgas Lapangan
Pada pekan lalu (bahkan bisa juga hari ini), keadaan udara Jakarta pagi dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) tercatat berada di sekitar angka 161 AQI US atau masuk kategori tidak sehat sebesar 74,6 mikrogram per meter kubik. Daerah lain yang juga masuk kategori tidak sehat adalah Kota Pontianak Kalimantan Barat dengan 191 AQI, Tangerang Selatan dengan 185 AQI, Terentang Kuburaya 168 AQI, Kota Bandung 165 AQI, Mempawah 152 AQI, Serang Banten 152 AQI, Denpasar Bali 151 AQI, dan Sintang Kalbar 140 AQI. Di semua daerah tersebut, sama-sama berada pada kondisi yang tidak sehat.
Pemerintah berdiskusi intens untuk mencarikan jalan keluar. Minggu (27/8) kemarin dilakukan modifikasi cuaca yang selanjutnya pada kisaran jam 18.00 turun hujan dan dipandang efektif. Alternatif kebijakan lain adalah penerbitan pilihan jam kerja dari rumah (WFH) ataupun kerja di kantor (WFO). Kebijakan tersebut sudah diimplementasikan oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Apakah masalah selesai? Tentu saja tidak, dan bahkan kepekatan polusi tidak berkurang signifikan. Membebaskan masyarakat dari polusi udara jauh lebih sulit dari memerdekakan dari penjajahan sebuah bangsa. Karena ia melawan dirinya. "Penjajah Baru" ini dilahirkan dari diri warganya yang berharap selalu menikmati kehidupannya dengan kendaraannya.
Mengubah Mind Set
Pembebasan dari jenis penjajahan polusi di atas tidak akan pernah berhasil tanpa disertai dengan perubahan "mind set" warganya yang diikuti dengan perubahan perilaku kehidupannya. Perubahan "mind set" tidak akan pernah terjadi jika pola pendidikan yang ada saat ini tidak ada perubahan. Karena, implementasi pendidikan sampai saat ini belum serius menumbuhkan kesadaran dan kepedulian (awareness skill). Bahkan, justru yang diperkuat malahan kesadaran kebekerjaan.
Model-model pendidikan yang komitmen dalam membangunkan kesadaran warganya harus digalakkan. Paradigma critical thinking (berpikir kritis) dalam lembaga pendidkan formal harus terus ditanamkan. Paulo Freire, seorang kritikus pendidikan sering mengingatkan bahwa pendidikan jangan sampai "mengabdi" kepada kapital. Artinya, pendidikan agar tidak diorientasikan pada dunia kerja atau yang bersifat material lainnya.
Dave Meier, seorang ahli pendidikan supercamp mengingatkan bahwa belajar harus mampu menumbuhkan peserta didik cinta dan bahagia terhadap ilmu pengetahuan. Seorang filosof muslim seperti Imam Al Ghazali mengingatkan bahwa hakikat pendidikan adalah untuk menemukan jati dirinya sebagai manusia sehingga ia dengan mudah dapat menggapai derajat kemanusiaan yang paripurna (insan kamil). Rumusan kebijakan pendidikan di atas lah yang seyogyanya dipikirkan lebih serius. Namun disayangkan, rujukan ilmuwan di atas nyaris tidak pernah dijadikan landasan.
Kurikulum Merdeka yang Menjanjikan
Mulai akhir tahun 2019 pemerintah menggagas kurikulum alternatif, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan kurikulum merdeka berparadigma merdeka belajar - merdeka mengajar. Dengan mengadopsi spirit konsep pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara, penyelenggaraan pendidikan ditingkatkan "dosis" keseriusannya. Apakah periode sebelumnya dipandang "tidak serius"? Tidaklah juga demikian, hanya saja aksentuasinya saja yang kurang tepat.
Kurikulum merdeka yang mendorong agar para pendidik memiliki "kemerdekaan" dalam mengajar, sedangkan siswa "merdeka" dalam belajar, memiliki harapan akan terjadi perubahan pola pikir yang fundamental. Jangan dipahami kata "merdeka" di sini identik dengan kebebasan bertindak, tapi merdeka karena mengajar atau belajar karena memang menjadi kebutuhan dasar aspek kemanusiaannya. Seyogyanya sebuah pendidikan itu mampu menyadarkan "siapa dirinya". Sebab dia adalah manusia yang menempati alam yang rapuh (fana), yang jika kita tidak menjaganya akan mempercepat kerusakannya.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Peneliti pada Alhikmah Institut for Islamic Studies
BARUlewat dua pekan, bangsa ini merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya ke 78, di mana semua elemen bangsa merayakannya dengan gelap gempita dan penuh bahagia. Setidaknya hal itu terlihat pada saat peringatan kemerdekaan RI di berbagai tempat bahkan terlihat juga di Istana Negara, meski tidak bebas dari kritik. Mereka layak berbahagia karena kebebasannya dari penjajahan.
baca juga: Terungkap! Ini Sumber Utama Polusi Udara di Jabodetabek
Memang, bangsa ini sudah merdeka secara lahiriah dari penjajahan, namun di sisi lain bangsa ini terancam oleh "penjajah" baru yang diciptakan oleh dirinya, yakni (di antaranya) polusi udara. Polusi udara yang bersumber dari knalpot kendaraan dan di beberapa daerah lain akibat ke(pem)bakaran hutan. Polusi udara , terlihat lembut tanpa daya, tapi sangat mematikan jika dibiarkan.
Selama sepekan terakhir, pelbagai media mengulas fenomena polusi udara di beberapa kota besar Indonesia, dengan dua sebab tersebut. Kementerian terkait mulai disibukkan untuk mencari solusi cepatnya. Ternyata polusi udara yang melampaui ambang bahaya tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga Bandung, Surabaya, Pontianak, Palangkaraya, dan kota-kota besar lainnya.
Namun yang paling populer adalah Jakarta, karena polusi sudah "digoreng" dengan isu politik. Memang, segala sesuatu yang bersentuhan dengan politik, kebesarannya akan melampaui kenyataannya. Terlebih menjelang tahun pemilu setiap isu (termasuk) bencana akan selalu "dilekatkan" dengan politik.
Padahal, udara kotor itu tidak hanya dirasakan oleh pendukung salah satu tokoh politik baik yang disukai atau dibenci. Seperti halnya di ibu kota Jakarta. Siapa pun yang tinggal di dalamnya, pasti merasakan dampaknya. Yang mesti dipikirkan dan dilakukan adalah mencari solusi cepatnya dengan menghentikan polusi itu, bukan bertengkar berebut suara keberuntungan.
baca juga: Pengendalian Polusi Udara Jabodetabek, KLHK Inspeksi Satgas Lapangan
Pada pekan lalu (bahkan bisa juga hari ini), keadaan udara Jakarta pagi dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) tercatat berada di sekitar angka 161 AQI US atau masuk kategori tidak sehat sebesar 74,6 mikrogram per meter kubik. Daerah lain yang juga masuk kategori tidak sehat adalah Kota Pontianak Kalimantan Barat dengan 191 AQI, Tangerang Selatan dengan 185 AQI, Terentang Kuburaya 168 AQI, Kota Bandung 165 AQI, Mempawah 152 AQI, Serang Banten 152 AQI, Denpasar Bali 151 AQI, dan Sintang Kalbar 140 AQI. Di semua daerah tersebut, sama-sama berada pada kondisi yang tidak sehat.
Pemerintah berdiskusi intens untuk mencarikan jalan keluar. Minggu (27/8) kemarin dilakukan modifikasi cuaca yang selanjutnya pada kisaran jam 18.00 turun hujan dan dipandang efektif. Alternatif kebijakan lain adalah penerbitan pilihan jam kerja dari rumah (WFH) ataupun kerja di kantor (WFO). Kebijakan tersebut sudah diimplementasikan oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Apakah masalah selesai? Tentu saja tidak, dan bahkan kepekatan polusi tidak berkurang signifikan. Membebaskan masyarakat dari polusi udara jauh lebih sulit dari memerdekakan dari penjajahan sebuah bangsa. Karena ia melawan dirinya. "Penjajah Baru" ini dilahirkan dari diri warganya yang berharap selalu menikmati kehidupannya dengan kendaraannya.
Mengubah Mind Set
Pembebasan dari jenis penjajahan polusi di atas tidak akan pernah berhasil tanpa disertai dengan perubahan "mind set" warganya yang diikuti dengan perubahan perilaku kehidupannya. Perubahan "mind set" tidak akan pernah terjadi jika pola pendidikan yang ada saat ini tidak ada perubahan. Karena, implementasi pendidikan sampai saat ini belum serius menumbuhkan kesadaran dan kepedulian (awareness skill). Bahkan, justru yang diperkuat malahan kesadaran kebekerjaan.
Model-model pendidikan yang komitmen dalam membangunkan kesadaran warganya harus digalakkan. Paradigma critical thinking (berpikir kritis) dalam lembaga pendidkan formal harus terus ditanamkan. Paulo Freire, seorang kritikus pendidikan sering mengingatkan bahwa pendidikan jangan sampai "mengabdi" kepada kapital. Artinya, pendidikan agar tidak diorientasikan pada dunia kerja atau yang bersifat material lainnya.
Dave Meier, seorang ahli pendidikan supercamp mengingatkan bahwa belajar harus mampu menumbuhkan peserta didik cinta dan bahagia terhadap ilmu pengetahuan. Seorang filosof muslim seperti Imam Al Ghazali mengingatkan bahwa hakikat pendidikan adalah untuk menemukan jati dirinya sebagai manusia sehingga ia dengan mudah dapat menggapai derajat kemanusiaan yang paripurna (insan kamil). Rumusan kebijakan pendidikan di atas lah yang seyogyanya dipikirkan lebih serius. Namun disayangkan, rujukan ilmuwan di atas nyaris tidak pernah dijadikan landasan.
Kurikulum Merdeka yang Menjanjikan
Mulai akhir tahun 2019 pemerintah menggagas kurikulum alternatif, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan kurikulum merdeka berparadigma merdeka belajar - merdeka mengajar. Dengan mengadopsi spirit konsep pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara, penyelenggaraan pendidikan ditingkatkan "dosis" keseriusannya. Apakah periode sebelumnya dipandang "tidak serius"? Tidaklah juga demikian, hanya saja aksentuasinya saja yang kurang tepat.
Kurikulum merdeka yang mendorong agar para pendidik memiliki "kemerdekaan" dalam mengajar, sedangkan siswa "merdeka" dalam belajar, memiliki harapan akan terjadi perubahan pola pikir yang fundamental. Jangan dipahami kata "merdeka" di sini identik dengan kebebasan bertindak, tapi merdeka karena mengajar atau belajar karena memang menjadi kebutuhan dasar aspek kemanusiaannya. Seyogyanya sebuah pendidikan itu mampu menyadarkan "siapa dirinya". Sebab dia adalah manusia yang menempati alam yang rapuh (fana), yang jika kita tidak menjaganya akan mempercepat kerusakannya.
(hdr)