Memerangi Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial

Selasa, 14 Maret 2017 - 08:20 WIB
Memerangi Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial
Memerangi Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial
A A A
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS
Guru Besar IPB, Ketua Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI)

KITA bersyukur bahwa sejak merdeka 71 tahun lalu, bangsa Indonesia secara umum mengalami perbaikan di berbagai bidang kehidupan, mulai dari infrastruktur, kesehatan, pendidikan, sampai ekonomi.

Namun, hingga kini Indonesia masih berstatus sebagai negara berkembang berpendapatan-menengah bawah dengan PDB per kapita USD4.200 (Bank Dunia, 2017), dan kapasitas iptek hanya di kelas-3 (UNESCO, 2016). Padahal, suatu negara bisa dinobatkan sebagai negara maju dan makmur (berpendapatan tinggi), bila kapasitas ipteknya berada di kelas-1 dan PDB per kapitanya di atas USD11.750.

Akan tetapi, persoalannya adalah jumlah pengangguran dan rakyat miskin hingga kini masih tinggi. Data BPS mengungkapkan bahwa jumlah pengangguran terbuka pada Februari 2016 sekitar 7,02 juta orang (5,5% total angkatan kerja sebanyak 127 juta orang) dan pengangguran semi-terbuka (disguished unemployment) sekitar 30 juta orang.

Banyaknya rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan (Rp361.000/orang/bulan) mencapai 27,76 juta jiwa (10,7% total penduduk). Bila kita menggunakan garis kemiskinan Bank Dunia, yakni USD2/orang/hari (USD60/orang/bulan), maka rakyat Indonesia yang miskin sekitar 120 juta orang atau 47% total penduduk.

Dan, yang lebih mencemaskan bahwa kesenjangan antara kelompok penduduk kaya vs miskin kian melebar. Hal ini dapat dilihat dari rasio GINI yang pada 2004 sebesar 0,31 meningkat menjadi 0,41 pada 2014 dan 2015, lalu sedikit turun menjadi 0,397 tahun lalu.

Itu pun karena perhitungannya berdasarkan pada pengeluaran individu. Bila perhitungannya atas dasar pendapatan, maka rasio GINI tahun lalu sekitar 0,46.

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2016, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kue ekonomi nasional. Dalam hal kesenjangan kaya vs miskin, Indonesia merupakan negara terburuk keempat di dunia.

Rusia merupakan negara terburuk, di mana 1% orang terkayanya menguasai 74,5% total kekayaan negaranya, diikuti oleh India dan Thailand di mana 1% orang terkayanya menguasai 58,4% dan 58% dari total kekayaan negaranya.

Implikasi Buruk
Sejumlah data dan fakta sosial-ekonomi di atas menunjukkan dua kesimpulan yang sangat penting. Pertama, meskipun PDB Indonesia saat ini menempati peringkat 10 di dunia, tetapi karena penduduknya banyak, 256 juta jiwa (terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan AS), maka PDB per kapitanya masih rendah (USD4.200).

Kedua,
kue pertumbuhan ekonomi selama ini rupanya sebagian besar (lebih dari 75%) hanya bisa dinikmati sekitar 20% penduduk kaya dan superkaya yang umumnya tinggal di kota-kota besar dan Jabodetabek.

Menurut Oxfam (2017), saat ini kekayaan kolektif dari empat orang terkaya di Indonesia sekitar USD25 miliar (Rp335 triliun) melampaui total kekayaan 40 persen penduduk termiskin, sekitar 100 juta orang.

Tingginya pengangguran dan kemiskinan dipastikan merupakan penyebab utama dari masalah gizi buruk dan rendahnya kualitas SDM yang terus menghantui bangsa ini.

Penderita gizi buruk kronis atau stunting growth, jika tidak segera ditolong, fisiknya akan lemah, mudah sakit, dan perkembangan otaknya terganggu. Dengan begitu akan melahirkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan inovatif (a lost generation).

Selain rendahnya kualitas sistem pendidikan dan belum terwujudnya masyarakat meritokrasi, gizi buruk dan rendahnya status kesehatan mayoritas rakyat Indonesia akibat kemiskinan telah menyebabkan produktivitas dan kapasitas inovasi bangsa Indonesia berada di papan bawah di antara bangsa-bangsa di dunia.

Di kawasan ASEAN, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya setara dengan USD9.200/tahun. Sementara itu, produktivitas tertinggi diraih Singapura sekitar USD92.000/tahun, diikuti oleh Malaysia (USD33.000/tahun).

Rata-rata produktivitas tenaga kerja di tingkat ASEAN sebesar USD10.700/tahun. Kapasitas inovasi bangsa Indonesia hanya berada di peringkat 97 dari 141 negara yang disurvei.

Sebagai perbandingan, Singapura menempati peringkat 7, Malaysia ke-32, Thailand ke-55, Brunei Darussalam ke-62, Filipina ke-83, dan Kamboja ke-83 (Cornel University, INSEAD dan Wipo, 2015).

Apabila buruknya kualitas SDM dan rendahnya kapasitas inovasi akibat pengangguran dan kemiskinan yang masif itu tidak segera diperbaiki, maka peluang kita untuk dapat mengapitalisasi bonus demografi pada 2020–2032 bakal terbuang percuma.

Alih-alih, Indonesia bakal terjebak terus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap), alias tidak bisa naik kelas menjadi negara yang maju, sejahtera, dan berdaulat.

Membumikan Kebijakan
Sangat tepat bila Presiden Jokowi pada Rapat Kabinet Terbatas 7 Februari lalu memutuskan bahwa pemerintah akan memprioritaskan upaya mengurangi ketimpangan ekonomi.

Komitmen pemerintah ini ditegaskan kembali oleh Presiden Jokowi ketika dalam pidato sambutannya di acara pembukaan Tanwir Muhammadiyah di Ambon pada 24 Februari, yang mengusung tema ”Kedaulatan dan Kesenjangan Sosial Menuju Indonesia Yang Berkemajuan”.

Secara garis besar, kebijakan tersebut meliputi: (1) reformasi agraria (land reform) dan redistribusi aset, (2) peningkatan kesempatan berusaha bagi rakyat miskin untuk bisa hidup sejahtera, dan (3) peningkatan kapasitas SDM.

Secara umum, tiga kebijakan itu sudah baik. Namun, masih ada sejumlah kelemahan yang bisa mengganjal, bahkan menggagalkannya. Supaya sukses, perlu penajaman ketiga kebijakan itu sehingga lebih operasional dan mencapai tujuannya. Selain itu perlu penambahan substansi dan cakupan kebijakan.

Pertama, tiga paket kebijakan pemerintah itu jelas hanya menyasar warga negara miskin yang berwirausaha alias bekerja untuk dirinya sendiri. Padahal, dengan UMR tertinggi hanya Rp3,3 juta/bulan (di DKI Jakarta) dan besaran serta struktur gaji PNS seperti sekarang, rakyat Indonesia yang miskin itu juga banyak yang profesi (mata pencaharian)-nya sebagai PNS, pegawai (karyawan) perusahaan swasta nasional atau multinasional, pegawai koperasi atau UMKM, pembantu rumah tangga, atau pegiat LSM.

Pasalnya, berdasarkan pada garis kemiskinan versi Bank Dunia (pengeluaran sedikitnya USD2/orang/hari atau USD60/orang/bulan), maka seorang tenaga PNS atau profesi lainnya digolongkan sudah sejahtera (tidak miskin) bila pendapatannya minimal Rp4 juta/bulan.

Bagi pemerintah dan BUMN mestinya tidak sulit untuk meningkatkan gaji terendah bagi PNS dan karyawan BUMN sebesar Rp4 juta/bulan bagi yang sudah berkeluarga dan Rp2 juta/bulan bagi yang masih lajang. Pasalnya, banyak sekali dana APBN/APBD yang digunakan dengan efisien, efektif, dan produktif atau dikorupsi.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, tingkat korupsi itu diperkirakan sekitar 30% dari total APBN (Soemitro Djojhadikusumo, 1989). Pada masa reformasi, malah lebih parah, sekitar 45 persen. Artinya, uang negara yang dikorupsi atau digunakan secara tidak efisien ini sejatinya cukup untuk membuat seluruh PNS dan karyawan BUMN hidup sejahtera secara berkeadilan.

Kedua, para konglomerat (pengusaha besar) harus meningkatkan gaji (kesejahteraan) semua karyawannya secara berkeadilan, dan membayar pajak lebih besar dan patuh sesuai ketentuan yang berlaku. Sampai sekarang banyak sekali karyawan perusahaan besar, swasta nasional maupun asing, yang gajinya kurang dari Rp4 juta/bulan.

Pajak ini sangat penting, sebab berkontribusi sekitar 85 persen dari total pendapatan negara, dan diperlukan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan keperluan pembangunan lainnya.

Malangnya, sampai saat ini kinerja penerimaan pajak Indonesia masih di bawah rerata penerimaan pajak negara-negara berpendapatan menengah (middle-income countries) sebesar 25% PDB, dan jauh di bawah negara-negara maju sebesar 35% PDB.

Selanjutnya, sejalan dengan agenda pemerintah melakukan reformasi birokrasi dan revolusi mental di kalangan pemerintahan, gaji PNS dengan golongan yang lebih tinggi dan pejabat tinggi negara (bupati, wali kota, gubernur, menteri, wapres, dan presiden) pun sudah saatnya ditingkatkan. Dengan begitu, mereka bisa hidup sejahtera, berwibawa, dan tahan godaan untuk korupsi atau menerima sogokan.

Supaya reformasi birokrasi dan revolusi mental di lembaga pemerintahan berhasil, selain peningkatan gaji seperti diuraikan di atas, juga secara simultan harus dilakukan rewards and punishment (hukuman dan penghargaan) serta penegakan hukum yang keras, tegas, dan adil; serta keteladanan dari atasan, mulai dari presiden, menteri, anggota DPR, kepala daerah sampai kepala desa.

Melalui reformasi birokrasi dan revolusi mental semacam ini, niscaya etos kerja dan produktivitas birokrasi akan meningkat secara signifikan. Lebih dari itu, birokrasi pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah bakal lebih kreatif, inovatif, melayani masyarakat, dan mampu menciptakan iklim investasi dan kemudahaan berbisnis (ease of doing business).

Dengan demikian, mereka akan mampu melaksanakan dan menyukseskan kebijakan pemerintah untuk memerangi pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial ini serta kebijakan pemerintah lainnya.

Tanpa reformasi birokrasi dan reformasi mental berbasis peningkatan kesejahteraan secara adil semacam ini, maka negara ini hanya didominasi oleh para pemimpin, birokrasi, dan kehidupan yang serbapencitraan dan kemunafikan. Kinerja pemerintah tidak akan membaik seperti di negara-negara maju dan makmur.

Lihat skandal megakorupsi proyek e-KTP yang telah merugikan keuangan negara lebih dari Rp2,4 triliun (49% total nilai proyek), yang uangnya dijadikan bancakan oleh puluhan nama besar di DPR, Kementerian, dan pengusaha. Demikian juga, skandal mega korupsi kasus Bank Century, BLBI, Hambalang, IT KPU 2009, SKK Migas, dan lainnya. Mau bukti mana lagi, bahwa negara kita selama ini dipenuhi oleh kepura-puraan dan kemunafikan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3548 seconds (0.1#10.140)