Kehidupan Hukum selama 78 Tahun Merdeka
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
TUJUH puluh delapan tahun yang lalu dideklarasikan Indonesia merdeka oleh Soekarno dan Hatta bebas dari belenggu penjajahan yang terjadi selama 350 tahun. Bukan saja penjajahan fisik melainkan juga non fisik antara lain penderitaan immaterial kaum pribumi yang jauh lebih buruk dari orang asing (Belanda) dan golongan timur asing serta golongan lannya.
Penderitaan non-fisik lain yang dirasakan adalah masyarakat tuna baca lebih dari 50%. Intelektualitas hukum di kalangan pribumi sangat rendah, hanya dengan kemampuan berbahasa Belanda kaum pribumi mengerti dan memahami hukum (Belanda). Semua lembaga negara terutama kepolisian, kehakiman dan pengadilan dikuasai orang-orang Belanda dan diberlakukan hukum Belanda baik dalam bidang hukum perdata maupun hukum pidana.
Ketika itu, tidak semua orang pribumi beruntung memperoleh pendidikan hukum di luar negeri khususnya di Belanda. Internalisasi hukum Belanda terjadi seiring dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia, tanpa kecuali dan diterima tanpa protes dan reaksi masyarakat khusus kaum cerdik orang pribumi.
Sebaliknya, hukum adat tumbuh berkembang dalam masyarakat adatnya bahkan pemerintah Kolonial Belanda membolehkan peradilan adat untuk mereka; tetapi khusus peradilan agama, pemerintah Belanda, mempersempit kewenangannya sebatas nikah, talak dan rujuk (NTR). Selebihya masalah di luar itu diadili oleh peradilan negeri (landraads), dan seiring dengan waktu, peradilan negeri menggantikan peradilan adat.
Lagipula sangat langka orang pribumi melakukan penelitian tentang hukum adat kecuali hanya Mr Van Vollenhoeven dikenal sebagai Guru Besar Hukum Adat (Belanda). Van Vollenhoeven juga dikenal penemu dan penulis buku tentang 19 (sembilan belas) daerah hukum adat yang terdapat di wilayah Nusantara (Indonesia). Proses internalisasi hukum asing (Belanda) dan kelembagaan hukum diadopsi dari sistem kekuasaan kehakiman Belanda yang kemuian ditahbiskan menjadi sistem kekuasaan kehakiman Indonesia.
Pemberlakuan hukum dan kelembagaan hukum di Belanda setelah Indonesia merdeka didasarkan pada Ketentuan Peralihan UUD45 sebagaimana tercantum dalam Pasal II Aturan Peralihan, UUD 45: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang. Berdasarkan Aturan Peralihan dalam UUD 45 tersebut hukum Belanda dan kelembagaan hukumnya telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.
Proses peralihan dimaksud terus berlangsung sampai diberlakukannya hukum nasional (yang baru) untuk beberapa hal yang dianggap perlu diubah sebagaimana terjadi dalam hal pemberlakuan KUHP sebagai berikut: Pasal 5 UU Nomor 1 tahun 1946, Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian, sementara tidak berlaku.
Era pembaruan hukum tidak pernah terjadi sampai dengan reformasi tahun 1998. Reformasi hukum ketika itu dibahas pada tiga bidang, khususnya hukum investasi seperti hukum penanaman modal dan hukum kepalitian; hukum tentang HAM, dan hukum dalam bidang politik antara lain Perubahan UUD 45. Namun reformasi hukum yang telah terjadi baru pada tataran pembentukan peraturan perundang-undangan belum memasuki lebih mendalam yaitu aspek filosofi bangsa Indonesia, Pancasila.
Hukum setelah Indonesia Merdeka 78 tahun yang lampau seharusnya dipahami sebagai sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai. Dalam kurun waktu 78 tahun ini, perlu dipertanyakan bagaimana fungsi dan peranan hukum di dalam perkembangan masyarakat yang tengah membangun Indonesia menuju Indonesia merdeka dan sejahtera.
Apakah para ahli hukum masih tetap saja akan sependapat dengan ahli hukum Jerman, Frederic Karl Von Savigny bahwa, “hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya; das recht wird nicht gemacht est is un wird dem volke atau Van Kan Guru Besar Belanda, yang mengemukakan pendapatnya bahwa, hukum selalu tertinggal dari masyarakatnya.
Pendapat Von Savigny tentang hukum menggambarkan hukum selalu dinamis tidak bersifat status-quo/statis yang berbeda dengan pendapat Van Kan tersebut. Dalam konteks ini Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum Indonesia terkemuka, telah mengemukakan pendapatnya, bahwa di tengah perubahan dan perkembangan masyarakat yang sedang membangun, hukum seyogyanya turut berperanan, bagaimana seharusnya mengawal perkembangan masyarakat agar hukum dapat mengubah pemikiran masyarakat lebih maju daripada sebelumnya.
Hukum harus dimaknai perubahan pemikiran masyarakat ke arah masa depan sehingga hukum dapat berperan memastikan bahwa, hukum harus dapat memberikan tempat yang layak bagi manusia dalam kehidupannya; tidak sebaliknya.
Untuk mencapai tujuan hukum dalam pembangunan masyarakat sedemikian maka hukum haruslah dilihat bukan sebagai norma yang mengatur kebolehan dan larangan atas perilaku manusia saja. Hukum harus dipandang sebagai wujud nyata dari etika dan moral kehidupan kesusilaan masyarakat Indonesia sebagai salah satu bangsa timur yang menganut Pancasila sebagai sumber nilai kesusilaan sekaligus idiologi negara.
Diakui para ahli hukum juga ahli sosiologi bahwa, hukum tidak dapat mengatur segalanya mengenai tingkah laku manusia mengingat sangat luasnya aspek kehidupan masyarakat. Saat ini etika dan kesusilaan masyarakat diakui telah semakin memudar seiring dengan tumbuh pesatnya pemikiran demokrasi modern ala Barat terutama di era globalisasi abad 20-21.
Kebebasan berpendapat di muka umum, keterbukaan (transparansi) diidentikkan dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa tanggung jawab sosial yang besar; sedangkan perihal pembatasan atas kebebasan dan hak asasi manusia secara jelas dan nyata dicantumkan dalam Pasal 28 UUD 1945: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Secara ekplisit dinyatakan dalam ketentuan tersebut, kebebasan berpendapat dibatasi oleh pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
TUJUH puluh delapan tahun yang lalu dideklarasikan Indonesia merdeka oleh Soekarno dan Hatta bebas dari belenggu penjajahan yang terjadi selama 350 tahun. Bukan saja penjajahan fisik melainkan juga non fisik antara lain penderitaan immaterial kaum pribumi yang jauh lebih buruk dari orang asing (Belanda) dan golongan timur asing serta golongan lannya.
Penderitaan non-fisik lain yang dirasakan adalah masyarakat tuna baca lebih dari 50%. Intelektualitas hukum di kalangan pribumi sangat rendah, hanya dengan kemampuan berbahasa Belanda kaum pribumi mengerti dan memahami hukum (Belanda). Semua lembaga negara terutama kepolisian, kehakiman dan pengadilan dikuasai orang-orang Belanda dan diberlakukan hukum Belanda baik dalam bidang hukum perdata maupun hukum pidana.
Ketika itu, tidak semua orang pribumi beruntung memperoleh pendidikan hukum di luar negeri khususnya di Belanda. Internalisasi hukum Belanda terjadi seiring dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia, tanpa kecuali dan diterima tanpa protes dan reaksi masyarakat khusus kaum cerdik orang pribumi.
Sebaliknya, hukum adat tumbuh berkembang dalam masyarakat adatnya bahkan pemerintah Kolonial Belanda membolehkan peradilan adat untuk mereka; tetapi khusus peradilan agama, pemerintah Belanda, mempersempit kewenangannya sebatas nikah, talak dan rujuk (NTR). Selebihya masalah di luar itu diadili oleh peradilan negeri (landraads), dan seiring dengan waktu, peradilan negeri menggantikan peradilan adat.
Lagipula sangat langka orang pribumi melakukan penelitian tentang hukum adat kecuali hanya Mr Van Vollenhoeven dikenal sebagai Guru Besar Hukum Adat (Belanda). Van Vollenhoeven juga dikenal penemu dan penulis buku tentang 19 (sembilan belas) daerah hukum adat yang terdapat di wilayah Nusantara (Indonesia). Proses internalisasi hukum asing (Belanda) dan kelembagaan hukum diadopsi dari sistem kekuasaan kehakiman Belanda yang kemuian ditahbiskan menjadi sistem kekuasaan kehakiman Indonesia.
Pemberlakuan hukum dan kelembagaan hukum di Belanda setelah Indonesia merdeka didasarkan pada Ketentuan Peralihan UUD45 sebagaimana tercantum dalam Pasal II Aturan Peralihan, UUD 45: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang. Berdasarkan Aturan Peralihan dalam UUD 45 tersebut hukum Belanda dan kelembagaan hukumnya telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.
Proses peralihan dimaksud terus berlangsung sampai diberlakukannya hukum nasional (yang baru) untuk beberapa hal yang dianggap perlu diubah sebagaimana terjadi dalam hal pemberlakuan KUHP sebagai berikut: Pasal 5 UU Nomor 1 tahun 1946, Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian, sementara tidak berlaku.
Era pembaruan hukum tidak pernah terjadi sampai dengan reformasi tahun 1998. Reformasi hukum ketika itu dibahas pada tiga bidang, khususnya hukum investasi seperti hukum penanaman modal dan hukum kepalitian; hukum tentang HAM, dan hukum dalam bidang politik antara lain Perubahan UUD 45. Namun reformasi hukum yang telah terjadi baru pada tataran pembentukan peraturan perundang-undangan belum memasuki lebih mendalam yaitu aspek filosofi bangsa Indonesia, Pancasila.
Hukum setelah Indonesia Merdeka 78 tahun yang lampau seharusnya dipahami sebagai sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai. Dalam kurun waktu 78 tahun ini, perlu dipertanyakan bagaimana fungsi dan peranan hukum di dalam perkembangan masyarakat yang tengah membangun Indonesia menuju Indonesia merdeka dan sejahtera.
Apakah para ahli hukum masih tetap saja akan sependapat dengan ahli hukum Jerman, Frederic Karl Von Savigny bahwa, “hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya; das recht wird nicht gemacht est is un wird dem volke atau Van Kan Guru Besar Belanda, yang mengemukakan pendapatnya bahwa, hukum selalu tertinggal dari masyarakatnya.
Pendapat Von Savigny tentang hukum menggambarkan hukum selalu dinamis tidak bersifat status-quo/statis yang berbeda dengan pendapat Van Kan tersebut. Dalam konteks ini Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum Indonesia terkemuka, telah mengemukakan pendapatnya, bahwa di tengah perubahan dan perkembangan masyarakat yang sedang membangun, hukum seyogyanya turut berperanan, bagaimana seharusnya mengawal perkembangan masyarakat agar hukum dapat mengubah pemikiran masyarakat lebih maju daripada sebelumnya.
Hukum harus dimaknai perubahan pemikiran masyarakat ke arah masa depan sehingga hukum dapat berperan memastikan bahwa, hukum harus dapat memberikan tempat yang layak bagi manusia dalam kehidupannya; tidak sebaliknya.
Untuk mencapai tujuan hukum dalam pembangunan masyarakat sedemikian maka hukum haruslah dilihat bukan sebagai norma yang mengatur kebolehan dan larangan atas perilaku manusia saja. Hukum harus dipandang sebagai wujud nyata dari etika dan moral kehidupan kesusilaan masyarakat Indonesia sebagai salah satu bangsa timur yang menganut Pancasila sebagai sumber nilai kesusilaan sekaligus idiologi negara.
Diakui para ahli hukum juga ahli sosiologi bahwa, hukum tidak dapat mengatur segalanya mengenai tingkah laku manusia mengingat sangat luasnya aspek kehidupan masyarakat. Saat ini etika dan kesusilaan masyarakat diakui telah semakin memudar seiring dengan tumbuh pesatnya pemikiran demokrasi modern ala Barat terutama di era globalisasi abad 20-21.
Kebebasan berpendapat di muka umum, keterbukaan (transparansi) diidentikkan dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa tanggung jawab sosial yang besar; sedangkan perihal pembatasan atas kebebasan dan hak asasi manusia secara jelas dan nyata dicantumkan dalam Pasal 28 UUD 1945: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Secara ekplisit dinyatakan dalam ketentuan tersebut, kebebasan berpendapat dibatasi oleh pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
(poe)