Selebrasi Demokrasi Indonesia

Kamis, 16 Februari 2017 - 13:05 WIB
Selebrasi Demokrasi Indonesia
Selebrasi Demokrasi Indonesia
A A A
SUDAH selayaknya kita mengucapkan selamat kepada diri kita sendiri sebagai rakyat Indonesia yang sukses berpesta demokrasi dalam pilkada 101 daerah pada 15 Februari kemarin. Kita sungguh layak untuk berbangga karena melaksanakan 101 pilkada dengan damai bukanlah pekerjaan ringan.

Ini adalah kesuksesan kita yang kedua kali melaksanakan pilkada serentak setelah pada 9 Februari 2015 melaksanakannya di 269 daerah meskipun pada akhirnya lima daerah ditunda.

Dari segi teknis saja melaksanakan 101 pilkada adalah aktivitas yang rumit. Belum lagi jika melihat dari segi politisnya karena berarti ada 101 daerah yang terfragmentasi sedemikian rupa. Skalanya sangat berbeda dengan Pilpres 2014 yang fragmentasinya ada pada dua kutub besar.

Sementara pada pilkada serentak ini fragmentasinya tergantung pada daerah masing-masing. Tidak ada kutub besar yang bisa memudahkan untuk menggeneralisasi dan mencerna arah politik yang terjadi.

Merujuk pada tensi pilkada di beberapa daerah yang selama ini sangat tinggi seperti yang paling terasa di DKI Jakarta, rupanya segala kekhawatiran yang menyeruak tak terbukti.

Sekalipun beberapa daerah dikategorikan rawan konflik, rakyat Indonesia sudah bisa menempatkan demokrasi pada tempat yang tinggi dan menjaganya dengan baik. Memang riak-riak masalah sempat muncul dalam hal teknis pelaksanaan pilkada serentak ini.

Masalah itu mulai dari beberapa pemilih yang tidak bisa memilih karena kurang pahamnya panitia di TPS akan aturan pemilu hingga beberapa daerah yang surat suaranya telat datang. Namun secara umum bisa dikatakan gelaran pesta demokrasi ini cukup sukses.

Kesuksesan pilkada serentak di 101 wilayah ini juga membuktikan kedewasaan demokrasi bangsa Indonesia. Kita semua sudah kian terbiasa menyelesaikan perbedaan melalui mekanisme demokrasi. Kita juga kian baik dalam menghargai perbedaan pilihan.

Lihat saja dalam Pilkada DKI Jakarta, terlihat ketiga kubu bertarung sedemikian keras dalam perbedaan posisinya. Karena itu banyak yang memperkirakan konflik akan tak terhindarkan.

Namun rupanya warga DKI Jakarta memilih jalan demokratis dalam menentukan pilihan politiknya dengan berbondong-bondong menuju TPS. Siapa pun pilihannya, baik nomor 1, 2 ataupun 3 semuanya diselesaikan di TPS.

Kedewasaan berdemokrasi di level elite pun bisa kita lihat dari sikap legawa para calon dalam menghadapi kekalahan dan tidak jemawa ketika menang.

Terlihat misalnya di DKI Jakarta pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dengan terbuka menyatakan menerima kekalahannya dengan baik dan mengucapkan selamat kepada pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang oleh berbagai lembaga pelaksana quickcount diprediksi akan maju ke putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.

Begitu pun kedua calon yang maju ke putaran kedua tidak jemawa yang bisa saja menyakiti yang kalah dan memanasi level grass root. Kedewasaan berdemokrasi di tingkat elite ini sangat baik untuk ditransmisikan ke seluruh tingkatan demi demokrasi yang teduh dan efisien di Indonesia.

Kesuksesan pilkada serentak yang kedua ini juga dengan sendirinya menjawab tudingan miring yang terus muncul terhadap pilkada yang oleh beberapa pihak tidak kompatibel dengan kultur Indonesia.

Kita semua mampu membuktikan bahwa demokrasi bisa berjalan dengan baik dalam gelaran pilkada dan bisa menghasilkan pemimpin yang diinginkan rakyat. Dalam pilkada ini keinginan rakyat akan perubahan di tempatnya tinggal dan beraktivitas bisa diakomodasi.

Tidak ada jalan mundur bagi demokrasi kita. Keinginan untuk mengeliminasi pilkada sudah selayaknya dibuang jauh-jauh.

Mari kita jaga kebahagiaan yang tercipta dalam pilkada yang demokratis ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2987 seconds (0.1#10.140)