Bicara Geopolitik Soekarno di Kampus UIR, Hasto Dorong Penguasaan Selat Malaka
loading...
A
A
A
PEKANBARU - Doktor Ilmu Pertahanan Hasto Kristiyanto mengajak akademisi dan mahasiswa di Provinsi Riau untuk memikirkan apa yang harus dilakukan demi Indonesia bisa menjaga kepentingan nasional di Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan dunia.
Hal itu disampaikan Hasto di hadapan sivitas akademika Universitas Islam Riau (UIR) dan tokoh masyarakat Riau dalam kuliah umum bertema geopolitik Soekarno di Kampus UIR, Pekanbaru, Jumat (18/8/2023).
Hasto menjelaskan teori geopolitik Soekarno, dimana dua indikator paling penting kepentingan nasional adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, serta politik dan diplomasi.
“Artinya apa? Artinya kita hanya bisa menjadi bangsa yang maju kalau kita mengembangkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset dan inovasi, sebagai jalan berdikari. Tanpa itu jangan pernah berangan-angan kita akan menjadi negara besar,” ujar Hasto.
“Untuk itu kampus memiliki peran yang sentral dalam mengembangkan teknologi sebagai variabel yang paling signifikan, paling berpengaruh dalam memperjuangkan kepentingan nasional kita,” sambungnya.
Sementara politik dan diplomasi adalah bagaimana kepentingan nasional Indonesia diperjuangkan melalui penciptaan hukum-hukum internasional. Maka itu, mahasiswa saat ini harus outward looking, dimana pergerakannya tidak hanya di dalam kampus. Mahasiswa dituntut berpikir untuk Indonesia dan dunia.
Bagaimana implementasinya? Pada titik itu, Hasto mengajak akademisi dan mahasiswa untuk merancang institusi pendidikan sebagai city of intellect. Bahwa pengembangan sebuah wilayah, harus ditopang secara intelektual oleh kampus-kampus di wilayah itu.
Di Riau, jelas Hasto, mahasiswa dan kampus harus berpikir membangun wilayahnya dengan arah menguasai Selat Malaka.
“Kampus dan mahasiswa harus bisa menjawab mengapa Selat Malaka hanya dikuasai, dikontrol oleh negara tertentu. Bagaimana kita mengendalikan seluruh jalur perdagangan di selat Malaka, sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia. Maka apa yang kita bangun di selat Malaka? Apa yang kita lakukan dengan Bengkalis?” urai Hasto.
Dengan mengarahkan kampus-kampus di Riau sebagai city of intellect, maka akan terbangun kompetensi untuk mengembangkan selat Malaka menjadi bagian dari pilar-pilar kekuatan ekonomi Indonesia. Dan ini sejalan dengan konektografi yang telah dibangun oleh Presiden Joko Widodo.
“Tentu ke depan penting sekali dilakukan pembenahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional agar melihat Indonesia dengan cara geopolitik,” kata Hasto.
Selain Selat Malaka, menurut Hasto, kampus-kampus di Riau juga memahami koridor strategis Indonesia, dimana dulu Sumatera dirancang menjadi wilayah perkebunan. Maka perguruan tinggi harus melakukan riset-riset untuk hilirisasi dari perkebunan itu.
“Downstream dari CPO apa, oleochemical, apakah kita sudah punya sumber daya manusia yang menguasai pengembangan oleochemical? Proses sistemnya bagaimana? Jadi kampus itu menopang perencanaan koridor-koridor strategis yang ada di wilayahnya,” tegas Hasto.
Dari sisi politik dan diplomasi, Hasto memberi contoh bagaimana perguruan tinggi dan mahasiswa seharusnya memikirkan cara agar Indonesia mampu melindungi kepentingan nasional melalui penciptaan hukum internasional baru.
“Dengan melihat teori geopolitik Soekarno, harusnya kita bisa menginisiasi kerja sama antara negara-negara yang dilintasi oleh jalur-jalur perdagangan strategis, termasuk Mesir dengan terusan Suez-nya. Kita bikin konferensi misalnya, demi membuat hukum internasional. Misal, manakala ada suatu negara yang memperlakukan secara tidak adil terhadap negara yang dilalui jalur-jalur perdagangan dunia itu, maka negara itu bisa menutup jalurnya dari pelayaran kapal mereka,” beber Hasto.
“Jadi ke depan kita tak perlu ragu-ragu. Kalau kita dipojokkan soal produk kita, kita bisa menutup ALKI kita kalau kita diperlakukan tidak adil oleh bangsa asing,” sambungnya.
Menurut Hasto, cara pandang geopolitik ini sangat penting. Selama ini, sudah terlalu lama orang Indonesia, termasuk kalangan dunia pendidikan, tidak menatap peta. Sehingga seperti di Riau, orang lupa bahwa di depan wilayajnya ada potensi perdagangan dunia luar biasa, yakni jalur Malaka.
“Dan sebaliknya malah pembangunan kota kita lebih berorientasi pada daratan sebagai negara kontinental, bukan negara kelautan. Maka teori geopolitik Soekarno sebenarnya menempatkan suatu paradigma yang penting, bahwa kita bukan negara daratan. Kita adalah sekali lagi, laut yang ditebari oleh pulau-pulau. Maka ini yang harus kita lakukan ke depan,” tutupnya.
Hadir di acara tersebut adalah sivitas akademika UIR yang dipimpin rektornya Prof Dr H Syafrinaldi. Ia mengatakan kuliah umum Hasto itu terasa lebih istimewa, apalagi dilakukan sehari setelah perayaan HUT ke-78 RI.
“Semoga kemerdekaan yang diraih ini disyukuri dengan meningkatkan hal bermanfaat bagi kesejahteraan umum seluruh rakyat Indonesia,” kata Prof Syafrinaldi.
Hadir juga Bupati Pelalawan H Zukri Misran, Bupati Bengkalis Kasmarni, dan Wakil Ketua DPRD Riau Syafaruddin Poti.
Hal itu disampaikan Hasto di hadapan sivitas akademika Universitas Islam Riau (UIR) dan tokoh masyarakat Riau dalam kuliah umum bertema geopolitik Soekarno di Kampus UIR, Pekanbaru, Jumat (18/8/2023).
Hasto menjelaskan teori geopolitik Soekarno, dimana dua indikator paling penting kepentingan nasional adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, serta politik dan diplomasi.
“Artinya apa? Artinya kita hanya bisa menjadi bangsa yang maju kalau kita mengembangkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset dan inovasi, sebagai jalan berdikari. Tanpa itu jangan pernah berangan-angan kita akan menjadi negara besar,” ujar Hasto.
“Untuk itu kampus memiliki peran yang sentral dalam mengembangkan teknologi sebagai variabel yang paling signifikan, paling berpengaruh dalam memperjuangkan kepentingan nasional kita,” sambungnya.
Sementara politik dan diplomasi adalah bagaimana kepentingan nasional Indonesia diperjuangkan melalui penciptaan hukum-hukum internasional. Maka itu, mahasiswa saat ini harus outward looking, dimana pergerakannya tidak hanya di dalam kampus. Mahasiswa dituntut berpikir untuk Indonesia dan dunia.
Bagaimana implementasinya? Pada titik itu, Hasto mengajak akademisi dan mahasiswa untuk merancang institusi pendidikan sebagai city of intellect. Bahwa pengembangan sebuah wilayah, harus ditopang secara intelektual oleh kampus-kampus di wilayah itu.
Di Riau, jelas Hasto, mahasiswa dan kampus harus berpikir membangun wilayahnya dengan arah menguasai Selat Malaka.
“Kampus dan mahasiswa harus bisa menjawab mengapa Selat Malaka hanya dikuasai, dikontrol oleh negara tertentu. Bagaimana kita mengendalikan seluruh jalur perdagangan di selat Malaka, sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia. Maka apa yang kita bangun di selat Malaka? Apa yang kita lakukan dengan Bengkalis?” urai Hasto.
Dengan mengarahkan kampus-kampus di Riau sebagai city of intellect, maka akan terbangun kompetensi untuk mengembangkan selat Malaka menjadi bagian dari pilar-pilar kekuatan ekonomi Indonesia. Dan ini sejalan dengan konektografi yang telah dibangun oleh Presiden Joko Widodo.
“Tentu ke depan penting sekali dilakukan pembenahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional agar melihat Indonesia dengan cara geopolitik,” kata Hasto.
Selain Selat Malaka, menurut Hasto, kampus-kampus di Riau juga memahami koridor strategis Indonesia, dimana dulu Sumatera dirancang menjadi wilayah perkebunan. Maka perguruan tinggi harus melakukan riset-riset untuk hilirisasi dari perkebunan itu.
“Downstream dari CPO apa, oleochemical, apakah kita sudah punya sumber daya manusia yang menguasai pengembangan oleochemical? Proses sistemnya bagaimana? Jadi kampus itu menopang perencanaan koridor-koridor strategis yang ada di wilayahnya,” tegas Hasto.
Dari sisi politik dan diplomasi, Hasto memberi contoh bagaimana perguruan tinggi dan mahasiswa seharusnya memikirkan cara agar Indonesia mampu melindungi kepentingan nasional melalui penciptaan hukum internasional baru.
“Dengan melihat teori geopolitik Soekarno, harusnya kita bisa menginisiasi kerja sama antara negara-negara yang dilintasi oleh jalur-jalur perdagangan strategis, termasuk Mesir dengan terusan Suez-nya. Kita bikin konferensi misalnya, demi membuat hukum internasional. Misal, manakala ada suatu negara yang memperlakukan secara tidak adil terhadap negara yang dilalui jalur-jalur perdagangan dunia itu, maka negara itu bisa menutup jalurnya dari pelayaran kapal mereka,” beber Hasto.
“Jadi ke depan kita tak perlu ragu-ragu. Kalau kita dipojokkan soal produk kita, kita bisa menutup ALKI kita kalau kita diperlakukan tidak adil oleh bangsa asing,” sambungnya.
Menurut Hasto, cara pandang geopolitik ini sangat penting. Selama ini, sudah terlalu lama orang Indonesia, termasuk kalangan dunia pendidikan, tidak menatap peta. Sehingga seperti di Riau, orang lupa bahwa di depan wilayajnya ada potensi perdagangan dunia luar biasa, yakni jalur Malaka.
“Dan sebaliknya malah pembangunan kota kita lebih berorientasi pada daratan sebagai negara kontinental, bukan negara kelautan. Maka teori geopolitik Soekarno sebenarnya menempatkan suatu paradigma yang penting, bahwa kita bukan negara daratan. Kita adalah sekali lagi, laut yang ditebari oleh pulau-pulau. Maka ini yang harus kita lakukan ke depan,” tutupnya.
Hadir di acara tersebut adalah sivitas akademika UIR yang dipimpin rektornya Prof Dr H Syafrinaldi. Ia mengatakan kuliah umum Hasto itu terasa lebih istimewa, apalagi dilakukan sehari setelah perayaan HUT ke-78 RI.
“Semoga kemerdekaan yang diraih ini disyukuri dengan meningkatkan hal bermanfaat bagi kesejahteraan umum seluruh rakyat Indonesia,” kata Prof Syafrinaldi.
Hadir juga Bupati Pelalawan H Zukri Misran, Bupati Bengkalis Kasmarni, dan Wakil Ketua DPRD Riau Syafaruddin Poti.
(kri)