Sekilas Pajak Hiburan Film
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Mendengar kata “pajak”, bagi sebagian orang, memang bisa bikin bulu kuduk merinding. Sebab pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Pajak tidak memberikan imbalan langsung kepada wajib pajak sebab uangnya akan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian juga pajak daerah. Karena sifatnya memaksa, suka tak suka harus bayar. Para wajib pajak tidak bisa menuntut imbalan langsung dari pajak yang dibayarakan, tetapi rakyat berhak untuk mendapatkan pelayanan umum yang maksimal.
Hal ini berbeda dengan retribusi. Pembayar retribusi berhak atas imbalan dari nilai yang dibayarakan sebab retribusi merupakan pungutan atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Soal pajak inilah yang kadang masih menjadi bahan pembicaraan di kalangan sebagian insan perfilman Indonesia. Apa saja jenis pajak yang berkaitan dengan tontonan film ini dan berapa besarannya?
Misalnya, apakah menonton film di bioskop dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)? Jawabnya: Tidak. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan MK No. 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak Dikenai PPN, penonton film tidak dikenai PPN. Peraturan tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan PMK Nomor 70/PMK.03/2022 tentang Kriteria dan/atau Rincian Makanan dan Minuman, Jasa Kesenian dan Hiburan, Jasa Perhotelan, Jasa Penyediaan Tempat Parkir, Serta Jasa Boga atau Katering, yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Berdasarkan Pasal 3, bahwa jasa kesenian dan hiburan yang merupakan objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Dalam pasal 5 ayat (1), jenis jasa hiburan dan kesenian yang tidak dikenakan PPN meliputi tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu seperti di pergelaran musik, pergelaran kesenian, pergelaran tari, diskotek, kontes kecantikan, kelab malam, dan lain-lain.
Perubahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) itu juga karena adanya perubahan undang-undang. Sebelumnya, mengenai hal ini diatur dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNdan PPnBM). Dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Apa argumentasinya sehingga menonton film tidak dikenai PPN? Hal ini untuk menghindari pajak berganda (double taxation), sebab pemerintah daerah juga memungut pajak hiburan tontotan film.
Pajak berganda bisa terjadi apabila pajak yang dikenakan oleh dua atau lebih yurisdiksi pada objek pajak yang sama, subjek pajak yang sama, dasar pengenaan pajak yang sama, dan periode yang identik, yang mengakibatkan pajak yang dibebankan kepada wajib pajak lebih besar dari tarif pajak yang seharusnya ditanggung.
Misalnya, jika tontonan film di bioskop menjadi objek PPN yang merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, dan pada saat yang sama juga menjadi objek pajak hiburan yang merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintahan daerah, maka penonton film akan terkena 2 (dua) kali beban pajak. Selain itu, tujuan lain pengecualian pengenaan PPN atas tontonan film di bioskop ini adalah untuk mendukung perkembangan industri film.
Pajak Hiburan
Sekarang kita “meloncat” langsung pada “pajak hiburan” yang dikelola oleh pemerintah daerah (Pemda). Selama bertahun-tahun, pajak hiburan yang dikelola oleh pemerintah daerah ini mengenakan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan peraturan daerahnya masing-masing.
Dasar hukum pajak daerah ini diatur dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Atas dasar undang-undang itu, setiap daerah kemudian menerbitkan peraturan daerah (Perda) untuk menentukan besar-kecilnya pajak hiburan di daerahnya masing-masing (antara 10 persen sampai 35 persen). Untuk DKI Jakarta, misalnya, menetapkan tarif sebesar 10 persen. Sedangkan Bantul pernah mengenakan tarif sebesar 35 persen.
Khusus DKI Jakarta, terjadi hal yang unik atau tidak umum. Konon untuk mendukung kemajuan perfilman nasional, Gubernur DKI Fauzi Bowo mengeluarkan Pergub DKI Nomor 115 Tahun 2012 yang intinya membebaskan sebagian pajak hiburan untuk produksi film nasional. Bentuknya adalah pengembalian sebagian pajak (75%) dari setiap harga tanda masuk (HTM atau karcis). Maka, dari nilai 10 persen pajak hiburan yang masuk ke kas Pemda, 75 persennya dikembalikan kepada pemilik film. Tujuannya agar dapat membantu produser untuk terus memproduksi film.
Persentase pengembalian atau pembebasan itu kemudian dikoreksi pada masa Gubernur DKI Joko Widodo. Melalui Perda DKI Nomor 148 Tahun 2014, pembebasan yang tadinya 75 persen itu diubah menjadi 50 persen. Kebijakan itu terus dilanjutkan pada era Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok).
Kini, melalui UU No. 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, telah dicabut kewenangan daerah dalam menentukan besaran pajak hiburan. Sebelumnya, mengenai pajak hiburan ini ada dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 45). Dengan undang-undang yang baru diharapkan pengenaan tarif pajak hiburan ini dapat disamakan untuk seluruh wilayah Indonesia.
Demikian gambaran besar mengenai perpajakan yang berkaitan dengan hiburan atau tontonan film.
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Mendengar kata “pajak”, bagi sebagian orang, memang bisa bikin bulu kuduk merinding. Sebab pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Pajak tidak memberikan imbalan langsung kepada wajib pajak sebab uangnya akan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian juga pajak daerah. Karena sifatnya memaksa, suka tak suka harus bayar. Para wajib pajak tidak bisa menuntut imbalan langsung dari pajak yang dibayarakan, tetapi rakyat berhak untuk mendapatkan pelayanan umum yang maksimal.
Hal ini berbeda dengan retribusi. Pembayar retribusi berhak atas imbalan dari nilai yang dibayarakan sebab retribusi merupakan pungutan atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Soal pajak inilah yang kadang masih menjadi bahan pembicaraan di kalangan sebagian insan perfilman Indonesia. Apa saja jenis pajak yang berkaitan dengan tontonan film ini dan berapa besarannya?
Misalnya, apakah menonton film di bioskop dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)? Jawabnya: Tidak. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan MK No. 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak Dikenai PPN, penonton film tidak dikenai PPN. Peraturan tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan PMK Nomor 70/PMK.03/2022 tentang Kriteria dan/atau Rincian Makanan dan Minuman, Jasa Kesenian dan Hiburan, Jasa Perhotelan, Jasa Penyediaan Tempat Parkir, Serta Jasa Boga atau Katering, yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Berdasarkan Pasal 3, bahwa jasa kesenian dan hiburan yang merupakan objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Dalam pasal 5 ayat (1), jenis jasa hiburan dan kesenian yang tidak dikenakan PPN meliputi tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu seperti di pergelaran musik, pergelaran kesenian, pergelaran tari, diskotek, kontes kecantikan, kelab malam, dan lain-lain.
Perubahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) itu juga karena adanya perubahan undang-undang. Sebelumnya, mengenai hal ini diatur dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNdan PPnBM). Dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Apa argumentasinya sehingga menonton film tidak dikenai PPN? Hal ini untuk menghindari pajak berganda (double taxation), sebab pemerintah daerah juga memungut pajak hiburan tontotan film.
Pajak berganda bisa terjadi apabila pajak yang dikenakan oleh dua atau lebih yurisdiksi pada objek pajak yang sama, subjek pajak yang sama, dasar pengenaan pajak yang sama, dan periode yang identik, yang mengakibatkan pajak yang dibebankan kepada wajib pajak lebih besar dari tarif pajak yang seharusnya ditanggung.
Misalnya, jika tontonan film di bioskop menjadi objek PPN yang merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, dan pada saat yang sama juga menjadi objek pajak hiburan yang merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintahan daerah, maka penonton film akan terkena 2 (dua) kali beban pajak. Selain itu, tujuan lain pengecualian pengenaan PPN atas tontonan film di bioskop ini adalah untuk mendukung perkembangan industri film.
Pajak Hiburan
Sekarang kita “meloncat” langsung pada “pajak hiburan” yang dikelola oleh pemerintah daerah (Pemda). Selama bertahun-tahun, pajak hiburan yang dikelola oleh pemerintah daerah ini mengenakan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan peraturan daerahnya masing-masing.
Dasar hukum pajak daerah ini diatur dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Atas dasar undang-undang itu, setiap daerah kemudian menerbitkan peraturan daerah (Perda) untuk menentukan besar-kecilnya pajak hiburan di daerahnya masing-masing (antara 10 persen sampai 35 persen). Untuk DKI Jakarta, misalnya, menetapkan tarif sebesar 10 persen. Sedangkan Bantul pernah mengenakan tarif sebesar 35 persen.
Khusus DKI Jakarta, terjadi hal yang unik atau tidak umum. Konon untuk mendukung kemajuan perfilman nasional, Gubernur DKI Fauzi Bowo mengeluarkan Pergub DKI Nomor 115 Tahun 2012 yang intinya membebaskan sebagian pajak hiburan untuk produksi film nasional. Bentuknya adalah pengembalian sebagian pajak (75%) dari setiap harga tanda masuk (HTM atau karcis). Maka, dari nilai 10 persen pajak hiburan yang masuk ke kas Pemda, 75 persennya dikembalikan kepada pemilik film. Tujuannya agar dapat membantu produser untuk terus memproduksi film.
Persentase pengembalian atau pembebasan itu kemudian dikoreksi pada masa Gubernur DKI Joko Widodo. Melalui Perda DKI Nomor 148 Tahun 2014, pembebasan yang tadinya 75 persen itu diubah menjadi 50 persen. Kebijakan itu terus dilanjutkan pada era Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok).
Kini, melalui UU No. 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, telah dicabut kewenangan daerah dalam menentukan besaran pajak hiburan. Sebelumnya, mengenai pajak hiburan ini ada dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 45). Dengan undang-undang yang baru diharapkan pengenaan tarif pajak hiburan ini dapat disamakan untuk seluruh wilayah Indonesia.
Demikian gambaran besar mengenai perpajakan yang berkaitan dengan hiburan atau tontonan film.
(wur)