Haji dan Humanisme
loading...
A
A
A
Harapan untuk bertamu ke Rumah Allah senantiasa menggelora di dada orang tua kita. Mereka rela menyisihkan sebagian pendapatannnya untuk pergi haji suatu saat nanti.
Tentu, di benak mereka senantiasa hidup asa untuk dapat berangkat haji kapanpun. Namun, melihat pada kondisi kekinian, maka berangkat haji dengan nomor antrean yang sudah ditetapkan, bak menunggu takdir yang datang pada mereka dalam waktu yang tidak dapat diprediksi.
Dalam benak mereka hanya muncul satu kepercayaan bahwa mereka akan menjadi tamu Tuhan di kala mereka siap, apapun keadaannya. Jika menengok ke belakang, keinginan untuk berangkat haji memang merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat Islam di nusantara.
Henry Chambert-Lloir dalam triloginya Naik Haji di Masa Silam (2013), menukil cerita-cerita orang yang berangkat haji mulai dari Abad Pertengahan (sekitar abad XV M) hingga masa Orde Baru. Terlihat, betapa orang-orang yang naik haji menghadapi kerumitan tersendiri pada setiap kurun waktu.
Di zaman Wali Songo, berangkat haji senantiasa dinisbatkan dengan kegiatan pelayaran rempah antar benua, di mana para jamaah haji menghadapi kesulitan saat kapal layar harus bertarung melawan ombak.
Memasuki periode kolonial Hindia Belanda, para jamaah haji diuji kesabarannya, dikarenakan meraka kerap mendapat tekanan-tekanan secara sosial dan politik. Saat itu, orang yang pergi haji harus dipastikan tidak membawa motif untuk menentang kebijakan Pemerintah Kulit Putih.
Setelah mereka pulang ibadah tahunan ini, gerak-gerik mereka senantiasa diperhatikan, bahkan kerapkali dituduh sebagai sosok yang gemar menyulut kekisruhan sosial yang membahayakan kepentingan Kompeni. Memasuki era Kemerdekaan Indonesia, rintangan jamaah haji juga tidak kalah hebat.
Mereka dihadapkan pada pilihan hidup atau mati, dikarenakan kondisi keamanan dalam negeri dan luar negeri yang masih tidak menentu, akibat adanya revolusi yang dilakukan banyak anak negeri di Asia Tenggara dalam usaha menjungkalkan pengaruh pemerintahan Eropa di daerahnya.
Saat mereka di kapal uap, kesulitan pun belum berhenti. Wabah penyakit mematikan seperti cacar, pes dan Flu Spanyol senantiasa siap melumpuhkan tubuh mereka, sehingga membuat perjalanan haji tidak ubahnya sebagai perjalanan menuju kematian.
Kilasan-kilasan kisah haji di masa silam di atas, dalam porsi dan varian yang beragam, agaknya masih hidup di benak para orang tua yang pernah berhaji. Mereka akan senang membagikan kisahnya pada teman sebaya, anak, cucu hingga kenalan mereka tentang hal tersebut.
Tentu, di benak mereka senantiasa hidup asa untuk dapat berangkat haji kapanpun. Namun, melihat pada kondisi kekinian, maka berangkat haji dengan nomor antrean yang sudah ditetapkan, bak menunggu takdir yang datang pada mereka dalam waktu yang tidak dapat diprediksi.
Dalam benak mereka hanya muncul satu kepercayaan bahwa mereka akan menjadi tamu Tuhan di kala mereka siap, apapun keadaannya. Jika menengok ke belakang, keinginan untuk berangkat haji memang merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat Islam di nusantara.
Henry Chambert-Lloir dalam triloginya Naik Haji di Masa Silam (2013), menukil cerita-cerita orang yang berangkat haji mulai dari Abad Pertengahan (sekitar abad XV M) hingga masa Orde Baru. Terlihat, betapa orang-orang yang naik haji menghadapi kerumitan tersendiri pada setiap kurun waktu.
Di zaman Wali Songo, berangkat haji senantiasa dinisbatkan dengan kegiatan pelayaran rempah antar benua, di mana para jamaah haji menghadapi kesulitan saat kapal layar harus bertarung melawan ombak.
Memasuki periode kolonial Hindia Belanda, para jamaah haji diuji kesabarannya, dikarenakan meraka kerap mendapat tekanan-tekanan secara sosial dan politik. Saat itu, orang yang pergi haji harus dipastikan tidak membawa motif untuk menentang kebijakan Pemerintah Kulit Putih.
Setelah mereka pulang ibadah tahunan ini, gerak-gerik mereka senantiasa diperhatikan, bahkan kerapkali dituduh sebagai sosok yang gemar menyulut kekisruhan sosial yang membahayakan kepentingan Kompeni. Memasuki era Kemerdekaan Indonesia, rintangan jamaah haji juga tidak kalah hebat.
Mereka dihadapkan pada pilihan hidup atau mati, dikarenakan kondisi keamanan dalam negeri dan luar negeri yang masih tidak menentu, akibat adanya revolusi yang dilakukan banyak anak negeri di Asia Tenggara dalam usaha menjungkalkan pengaruh pemerintahan Eropa di daerahnya.
Saat mereka di kapal uap, kesulitan pun belum berhenti. Wabah penyakit mematikan seperti cacar, pes dan Flu Spanyol senantiasa siap melumpuhkan tubuh mereka, sehingga membuat perjalanan haji tidak ubahnya sebagai perjalanan menuju kematian.
Kilasan-kilasan kisah haji di masa silam di atas, dalam porsi dan varian yang beragam, agaknya masih hidup di benak para orang tua yang pernah berhaji. Mereka akan senang membagikan kisahnya pada teman sebaya, anak, cucu hingga kenalan mereka tentang hal tersebut.