Dua Eksil Korban 1965 Mengaku Tetap Cinta NKRI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dua eksil korban peristiwa 1965 menghadiri kick off penyelesaian nonyudisial untuk 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Rumah Geudong, Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023). Keduanya mengaku tetap cinta kepada Negara Republik Indonesia (NKRI) meski cukup lama tidak bisa pulang ke Tanah Air.
Sudaryanto Priyono, eksil dari Moskow, Rusia mengaku sengaja datang ke Indonesia untuk menjadi bukti bahwa rasa cintanya terhadap NKRI tak berkurang setelah peristiwa 1965 silam.
"Cinta NKRI bagi kami yang di luar negeri walaupun paspornya sudah asing itu harga mati," kata pria yang akrab dipanggil Yanto ini.
Pria berusia 81 ini menilai, langkah pemerintah melalui penyelesaian nonyudisial, memperlihatkan bahwa negara tidak mengabaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Saya tidak melihat diri saya itu sebagai orang yang berlebihan di dalam itu, tapi saya sebagai korban, saya ingin teman-teman saya yang juga sebagai korban itu nantinya bisa melihat, bahwa pemerintah dalam hal ini tidak mengabaikan," ujarnya.
"Bekerja untuk mencari keadilan, bekerja untuk meluruskan jalan dan artinya itu menurut hukum yang ada, menurut konstitusi yang ada terus berjalan membereskan soal ini," katanya.
Sementara itu, Jaroni Soejomartono yang merupakan eksil Ceko mengatakan, undangan kick off penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu merupakan sebuah penghargaan, dan membuktikan bahwa Indonesia mulai merealisasikan penyelesaian tersebut.
"Dan ini menurut saya sangat baik dan patut untuk didukung dan walaupun tidak bisa memuaskan mungkin semua pihak tapi harus dimulai," kata pria berumur 80 tahun ini.
"Jadi dimulai dengan humble, dengan tidak usah terlalu banyak menginginkan kesempurnaan tapi diperdalam terus supaya tidak terjadi lagi korban seperti tahun 65-66," katanya.
Sudaryanto Priyono, eksil dari Moskow, Rusia mengaku sengaja datang ke Indonesia untuk menjadi bukti bahwa rasa cintanya terhadap NKRI tak berkurang setelah peristiwa 1965 silam.
"Cinta NKRI bagi kami yang di luar negeri walaupun paspornya sudah asing itu harga mati," kata pria yang akrab dipanggil Yanto ini.
Pria berusia 81 ini menilai, langkah pemerintah melalui penyelesaian nonyudisial, memperlihatkan bahwa negara tidak mengabaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Saya tidak melihat diri saya itu sebagai orang yang berlebihan di dalam itu, tapi saya sebagai korban, saya ingin teman-teman saya yang juga sebagai korban itu nantinya bisa melihat, bahwa pemerintah dalam hal ini tidak mengabaikan," ujarnya.
"Bekerja untuk mencari keadilan, bekerja untuk meluruskan jalan dan artinya itu menurut hukum yang ada, menurut konstitusi yang ada terus berjalan membereskan soal ini," katanya.
Sementara itu, Jaroni Soejomartono yang merupakan eksil Ceko mengatakan, undangan kick off penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu merupakan sebuah penghargaan, dan membuktikan bahwa Indonesia mulai merealisasikan penyelesaian tersebut.
"Dan ini menurut saya sangat baik dan patut untuk didukung dan walaupun tidak bisa memuaskan mungkin semua pihak tapi harus dimulai," kata pria berumur 80 tahun ini.
"Jadi dimulai dengan humble, dengan tidak usah terlalu banyak menginginkan kesempurnaan tapi diperdalam terus supaya tidak terjadi lagi korban seperti tahun 65-66," katanya.
(abd)