Pemerintah Bakal Permudah Kepulangan Eksil Korban Pelanggaran HAM Berat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jumlah eksil korban pelanggaran HAM berat bertambah dari 39 menjadi 136 orang dalam waktu tiga pekan. Hal itu diungkap Sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Sesmenko Polhukam) Letjen TNI Teguh Pudjo Rumekso.
Teguh yang ditunjuk sebagai ketua pelaksana pemantau penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat menjelaskan bahwa, pemerintah akan mempermudah kepulangan eksil korban pelanggaran HAM berat ke tanah air melalui Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkumham) serta Kementerian Luar Negeri.
"Ya, jadi (para korban dan keturunannya) akan diberikan second home visa (visa rumah kedua), golden visa, KITAS (kartu izin tinggal terbatas). Tapi kalau dwi kewarganegaraan kita kan tidak menganut dua kewarganegaraan. Ini memang sudah disiapkan untuk korban yang luar negeri," katanya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (23/6/2023).
Program pemulihan hak korban yang akan diberikan Kemenkumham dan Kemlu merupakan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).
Selain Golden Visa, Secondhome Visa, Relaksasi masa kunjungan atau masa tinggal, dan KITAS, pemerintah juga akan mempermudah kartu izin tinggal tetap (KITAP) untuk korban di luar negeri. Ini merupakan kemudahan dalam pindah kewarganegaraan menjadi WNI dan melepas status kewarganegaraan yang lain (WNA).
Sebagai informasi, berdasarkan data sementara terdapat 136 eksil atau warga Indonesia terasing yang merupakan korban pelanggaran HAM berat masa lalu, 134 di antaranya adalah korban peristiwa 1965.
Ratusan eksil itu tersebar di berbagai negara kawasan Eropa dan Asia. Dengan rincian 65 orang di Belanda, 1 orang dan 37 keturunannya di Rusia, 14 di Ceko, 8 di Swedia, 2 orang dan 1 keturunannya di Slovenia, 1 orang di Albania, 1 di Bulgaria, 1 di Inggris, 1 di Jerman, 1 di Suriah dan 2 orang Malaysia.
Sebanyak 134 orang merupakan korban peristiwa 1965. Sedangkan 2 orang lainnya berada di Malaysia, masing-masing korban Kerusuhan Mei 1998 dan korban Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
Teguh Pudjo mengatakan, jumlah eksil saat ini merupakan data sementara. Ia tidak menutup kemungkinan angka tersebut akan bertambah. Terlebih setelah Presiden Jokowi mengumumkan program-program pemulihan, melalui kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu pada 27 Juni 2023 di Romah Geudong Aceh.
"Dan di Aceh sendiri ini saya punya keyakinan akan terus bertambah setelah pelaksanaan kick off, karena di beberapa peristiwa juga mereka selama ini merasa bahwa didata saja tapi tidak ada realisasi. Tapi saya yakin melalui kick off ini mereka akan mendaftarkan diri sebagai korban," katanya.
"Ini kan terus berlanjut. Misalnya nanti program ini, pemulihan hak korban ini, mereka melihat ini. Ada perwakilan yang datang ke sini, mereka akan bercerita. Saya lihat itu menjadi magnet bagi mereka yang belum terdata," sambungnya.
Teguh yang ditunjuk sebagai ketua pelaksana pemantau penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat menjelaskan bahwa, pemerintah akan mempermudah kepulangan eksil korban pelanggaran HAM berat ke tanah air melalui Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkumham) serta Kementerian Luar Negeri.
"Ya, jadi (para korban dan keturunannya) akan diberikan second home visa (visa rumah kedua), golden visa, KITAS (kartu izin tinggal terbatas). Tapi kalau dwi kewarganegaraan kita kan tidak menganut dua kewarganegaraan. Ini memang sudah disiapkan untuk korban yang luar negeri," katanya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (23/6/2023).
Program pemulihan hak korban yang akan diberikan Kemenkumham dan Kemlu merupakan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).
Selain Golden Visa, Secondhome Visa, Relaksasi masa kunjungan atau masa tinggal, dan KITAS, pemerintah juga akan mempermudah kartu izin tinggal tetap (KITAP) untuk korban di luar negeri. Ini merupakan kemudahan dalam pindah kewarganegaraan menjadi WNI dan melepas status kewarganegaraan yang lain (WNA).
Sebagai informasi, berdasarkan data sementara terdapat 136 eksil atau warga Indonesia terasing yang merupakan korban pelanggaran HAM berat masa lalu, 134 di antaranya adalah korban peristiwa 1965.
Ratusan eksil itu tersebar di berbagai negara kawasan Eropa dan Asia. Dengan rincian 65 orang di Belanda, 1 orang dan 37 keturunannya di Rusia, 14 di Ceko, 8 di Swedia, 2 orang dan 1 keturunannya di Slovenia, 1 orang di Albania, 1 di Bulgaria, 1 di Inggris, 1 di Jerman, 1 di Suriah dan 2 orang Malaysia.
Sebanyak 134 orang merupakan korban peristiwa 1965. Sedangkan 2 orang lainnya berada di Malaysia, masing-masing korban Kerusuhan Mei 1998 dan korban Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
Teguh Pudjo mengatakan, jumlah eksil saat ini merupakan data sementara. Ia tidak menutup kemungkinan angka tersebut akan bertambah. Terlebih setelah Presiden Jokowi mengumumkan program-program pemulihan, melalui kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu pada 27 Juni 2023 di Romah Geudong Aceh.
"Dan di Aceh sendiri ini saya punya keyakinan akan terus bertambah setelah pelaksanaan kick off, karena di beberapa peristiwa juga mereka selama ini merasa bahwa didata saja tapi tidak ada realisasi. Tapi saya yakin melalui kick off ini mereka akan mendaftarkan diri sebagai korban," katanya.
"Ini kan terus berlanjut. Misalnya nanti program ini, pemulihan hak korban ini, mereka melihat ini. Ada perwakilan yang datang ke sini, mereka akan bercerita. Saya lihat itu menjadi magnet bagi mereka yang belum terdata," sambungnya.
(muh)