Dua Perusahaan Besar Lolos, DPR Minta POP Dihentikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih menilai tidak pantas dana APBN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud ) dalam Program Organisasi Penggerak (POP) diberikan kepada perusahaan besar yang sudah berlimpah dana yakni, yakni Tanoto Foundation dan Sampoerna untuk pelatihan guru. Untuk itu, dia mendesak baiknya POP itu dihentikan.
"Mereka melaksanakan kewajiban undang-undang, yakni menyisihkan pendapatan untuk tanggung jawab sosial, artinya memberi, bukan malah diberi, jangan jadi akal-akalan," kata Fikri kepada wartawan, Jumat (24/7/2020).
Karena itu, Fikri mendesak agar dalam Program Organisasi Penggerak (POP) dievaluasi dan ditarik kembali. Karena, banyaknya organisasi kemasyarakat (ormas) keagamaan besar yang tersinggung dan menyatakan mundur dari POP. ( )
“Kisruh ini sudah melukai banyak elemen masyarakat, NU dan Muhammadiyah, dua ormas terbesar di negeri ini sudah mundur dari penerima program, kalau diteruskan saya tidak jamin akan terus jadi bola salju yang membesar ke isu lain," katanya.
Selain itu, Fikri menyoroti adanya ketidakadilan anggaran di Kemendikbud karena dana sebesar Rp20 miliar yang diberikan kepada 2 organisasi swasta yakni Tanoto Foundation dan Sampoerna untuk pelatihan guru, justru terbalik dengan tunjangan guru yang terus-menerus dipangkas.
"Setelah kemarin marak guru yang protes karena tunjangannya disetop, sekarang anggaran gajah malah dikasih buat melatih guru, tapi melalui perusahaan besar, ini ironi," katanya.( )
Fikri melihat, kekisruhan ini akan memicu protes para guru yang lebih besar lagi karena dianggap mengusik rasa keadilan dan nurani publik. Sebab, belum lama ini tunjangan profensi guru di daerah juga dipotong. "Belum selesai masalah pemotongan anggaran tunjangan profesi guru di daerah, kemudian kemarin penghapusan tunjangan guru di satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), tapi malah anggaran pelatihan guru dialihkan untuk perusahaan besar," ucapnya.
Menurut politikus PKS ini, keresahan masyarakat soal nasib dan kesejahteraan guru belakangan ini seharusnya direspons dengan lebih bijak oleh pemerintah pusat, bukannya malah terus menambah kontroversi baru.
"Karena alasan Pandemi, efisiensi anggaran Rp3,3 triliun diarahkan untuk memangkas tunjangan guru, tetapi kita lihat isu kartu pra-kerja Rp5,4 triliun buat siapa, lalu ada isu pelatihan guru dikasih ke perusahaan juga," katanya.
"Mereka melaksanakan kewajiban undang-undang, yakni menyisihkan pendapatan untuk tanggung jawab sosial, artinya memberi, bukan malah diberi, jangan jadi akal-akalan," kata Fikri kepada wartawan, Jumat (24/7/2020).
Karena itu, Fikri mendesak agar dalam Program Organisasi Penggerak (POP) dievaluasi dan ditarik kembali. Karena, banyaknya organisasi kemasyarakat (ormas) keagamaan besar yang tersinggung dan menyatakan mundur dari POP. ( )
“Kisruh ini sudah melukai banyak elemen masyarakat, NU dan Muhammadiyah, dua ormas terbesar di negeri ini sudah mundur dari penerima program, kalau diteruskan saya tidak jamin akan terus jadi bola salju yang membesar ke isu lain," katanya.
Selain itu, Fikri menyoroti adanya ketidakadilan anggaran di Kemendikbud karena dana sebesar Rp20 miliar yang diberikan kepada 2 organisasi swasta yakni Tanoto Foundation dan Sampoerna untuk pelatihan guru, justru terbalik dengan tunjangan guru yang terus-menerus dipangkas.
"Setelah kemarin marak guru yang protes karena tunjangannya disetop, sekarang anggaran gajah malah dikasih buat melatih guru, tapi melalui perusahaan besar, ini ironi," katanya.( )
Fikri melihat, kekisruhan ini akan memicu protes para guru yang lebih besar lagi karena dianggap mengusik rasa keadilan dan nurani publik. Sebab, belum lama ini tunjangan profensi guru di daerah juga dipotong. "Belum selesai masalah pemotongan anggaran tunjangan profesi guru di daerah, kemudian kemarin penghapusan tunjangan guru di satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), tapi malah anggaran pelatihan guru dialihkan untuk perusahaan besar," ucapnya.
Menurut politikus PKS ini, keresahan masyarakat soal nasib dan kesejahteraan guru belakangan ini seharusnya direspons dengan lebih bijak oleh pemerintah pusat, bukannya malah terus menambah kontroversi baru.
"Karena alasan Pandemi, efisiensi anggaran Rp3,3 triliun diarahkan untuk memangkas tunjangan guru, tetapi kita lihat isu kartu pra-kerja Rp5,4 triliun buat siapa, lalu ada isu pelatihan guru dikasih ke perusahaan juga," katanya.
(abd)