Penjelasan MUI Terkait Niat Menag Permudah Pendirian Rumah Ibadah
loading...
A
A
A
"Dalam implementasinya PBM ini sering dianggap menjadi bantu sandung dalam hal pendirian Rumah Ibadah karena ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuh dan tidak semaunya agar kerukunan antar Umat bergama terpelihara baik," ucapnya.
Karena itu kata Ikhsan, demi terjaganya peace and harmony. Demi menjaga keutuhan NKRI, namun demikian di beberapa daerah tertentu sering terjadi gesekan yang memantik keributan karena diabaikanya isi PBM tersebut baik dilakukan oleh oknum kepala daerah maupun oleh masyarakat.
"Lebih-lebih sering dipergunakan sebagai politik balas jasa jelang dan setelah Pilkada. Isu ini sering menjadi komoditas yang efektif untuk mendulang suara untuk memenangkan Pilkada," tuturnya.
Menanggapi keinginan Menag yang berniat menyederhanakan izin pendirian rumah ibadah cukup dalam adalah niat yang sungguh perlu diapresiasi demi bertujuan mempertinggi Ketakwaan umat kepada Tuhannya.
"Namun Ketentuan yang hendak disusun haruslah tetap memperhatikan PBM Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 sebagai landasan, karena Pembangunan Rumah ibadah itu sangat berkelindan dengan Kewenangan administratif yang berbasis Kewilayahan yang menjadi otoritas Kementerian Dalam Negeri," ungkapnya.
"Dalam rezim UU Otonomi daerah Nomor 23 Tahun 2014 menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah dari Tingkat Gubernur, Bupati dan Wali kota. Sekali pun dari sisi Rumah Ibadah sendiri betul berelasi dengan Kementerian agama," sambungnya.
Di sinilah kata dia, diperlukan kepatuhan Pemerintah dalam hal ini Kementerian terkait khususnya dalam menyusun aturan atau regulasi apa pun bila di dalamnya hendak mengatur Pendirian Rumah Ibadah.
"Tidak dibenarkan ada satu pun peraturan yang dapat menegasikan Ketentuan yang terdapat di dalam PBM tersebut," tegasnya.
"Siapa pun termasuk Presiden sekali pun tidak boleh mengubah isi dari PBM bila tidak ada mandat dari Majelis Agama-agama," tambahnya.
Kecuali kata Ikhsan, ada mandat dari Majelis agama melalui kesepakatan baru. Karena apabila tetap dipaksakan Pemerintah membuat Aturan baru di luar PBM maka dalam pelaksanaan di Masyarakat harus bersiap menghadapi reaksi berupa kegaduhan yang akan memunculkan disharmoni antar Umat beragama.
Karena itu kata Ikhsan, demi terjaganya peace and harmony. Demi menjaga keutuhan NKRI, namun demikian di beberapa daerah tertentu sering terjadi gesekan yang memantik keributan karena diabaikanya isi PBM tersebut baik dilakukan oleh oknum kepala daerah maupun oleh masyarakat.
"Lebih-lebih sering dipergunakan sebagai politik balas jasa jelang dan setelah Pilkada. Isu ini sering menjadi komoditas yang efektif untuk mendulang suara untuk memenangkan Pilkada," tuturnya.
Menanggapi keinginan Menag yang berniat menyederhanakan izin pendirian rumah ibadah cukup dalam adalah niat yang sungguh perlu diapresiasi demi bertujuan mempertinggi Ketakwaan umat kepada Tuhannya.
"Namun Ketentuan yang hendak disusun haruslah tetap memperhatikan PBM Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 sebagai landasan, karena Pembangunan Rumah ibadah itu sangat berkelindan dengan Kewenangan administratif yang berbasis Kewilayahan yang menjadi otoritas Kementerian Dalam Negeri," ungkapnya.
"Dalam rezim UU Otonomi daerah Nomor 23 Tahun 2014 menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah dari Tingkat Gubernur, Bupati dan Wali kota. Sekali pun dari sisi Rumah Ibadah sendiri betul berelasi dengan Kementerian agama," sambungnya.
Di sinilah kata dia, diperlukan kepatuhan Pemerintah dalam hal ini Kementerian terkait khususnya dalam menyusun aturan atau regulasi apa pun bila di dalamnya hendak mengatur Pendirian Rumah Ibadah.
"Tidak dibenarkan ada satu pun peraturan yang dapat menegasikan Ketentuan yang terdapat di dalam PBM tersebut," tegasnya.
"Siapa pun termasuk Presiden sekali pun tidak boleh mengubah isi dari PBM bila tidak ada mandat dari Majelis Agama-agama," tambahnya.
Kecuali kata Ikhsan, ada mandat dari Majelis agama melalui kesepakatan baru. Karena apabila tetap dipaksakan Pemerintah membuat Aturan baru di luar PBM maka dalam pelaksanaan di Masyarakat harus bersiap menghadapi reaksi berupa kegaduhan yang akan memunculkan disharmoni antar Umat beragama.