Penjelasan MUI Terkait Niat Menag Permudah Pendirian Rumah Ibadah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Langkah Menteri Agama ( Menag ) Yaqut Cholil Qoumas yang akan mempermudah izin pendirian rumah ibadah direspons Majelis Ulama Indonesia ( MUI ). Wakil Sekjen MUI dan Katib Syuriah PBNU, Ikhsan Abdullah memberikan pandangannya.
Menurut Ikhsan, sebenarnya isu ini muncul lebih disebabkan oleh pihak-pihak yang hendak membangun rumah ibadah akan tetapi tidak mau patuh dan mentaati ketentuan atau aturan/regulasi yang ada.
"Yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan Nomor 9 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat," kata Ikhsan dalam keterangannya, Rabu (7/6/2023).
Pihak-pihak dimaksud kata Ikhsan, bisa dari gubernur, bupati atau wali kota, dapat juga berasal dari masyarakat antar pemeluk agama.
Menurutnya, materi dari PBM adalah hasil permufakatan Majelis Agama-agama yang resmi yang telah diakui Negara di Indonesia yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah
"Dalam memelihara Kerukunan Umat dan Pendirian Rumah Ibadah Majelis Agama dimaksud adalah perwakilan pimpinan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)," ucapnya.
"Gereja, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Isi dari Permufakatan Majelis Agama tersebut secara administratif kemudian dituangkan dalam bentuk PBM Nomor 8 dan PBM Nomor 9 Tahun 2006," jelasnya.
Isi ketentuan inilah kata Ikhsan, sebagai dasar pendirian rumah ibadah sekaligus menjadi fondasi pemeliharaan kerukunan antar umat beragama.
"Dalam implementasinya PBM ini sering dianggap menjadi bantu sandung dalam hal pendirian Rumah Ibadah karena ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuh dan tidak semaunya agar kerukunan antar Umat bergama terpelihara baik," ucapnya.
Karena itu kata Ikhsan, demi terjaganya peace and harmony. Demi menjaga keutuhan NKRI, namun demikian di beberapa daerah tertentu sering terjadi gesekan yang memantik keributan karena diabaikanya isi PBM tersebut baik dilakukan oleh oknum kepala daerah maupun oleh masyarakat.
"Lebih-lebih sering dipergunakan sebagai politik balas jasa jelang dan setelah Pilkada. Isu ini sering menjadi komoditas yang efektif untuk mendulang suara untuk memenangkan Pilkada," tuturnya.
Menanggapi keinginan Menag yang berniat menyederhanakan izin pendirian rumah ibadah cukup dalam adalah niat yang sungguh perlu diapresiasi demi bertujuan mempertinggi Ketakwaan umat kepada Tuhannya.
"Namun Ketentuan yang hendak disusun haruslah tetap memperhatikan PBM Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 sebagai landasan, karena Pembangunan Rumah ibadah itu sangat berkelindan dengan Kewenangan administratif yang berbasis Kewilayahan yang menjadi otoritas Kementerian Dalam Negeri," ungkapnya.
"Dalam rezim UU Otonomi daerah Nomor 23 Tahun 2014 menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah dari Tingkat Gubernur, Bupati dan Wali kota. Sekali pun dari sisi Rumah Ibadah sendiri betul berelasi dengan Kementerian agama," sambungnya.
Di sinilah kata dia, diperlukan kepatuhan Pemerintah dalam hal ini Kementerian terkait khususnya dalam menyusun aturan atau regulasi apa pun bila di dalamnya hendak mengatur Pendirian Rumah Ibadah.
"Tidak dibenarkan ada satu pun peraturan yang dapat menegasikan Ketentuan yang terdapat di dalam PBM tersebut," tegasnya.
"Siapa pun termasuk Presiden sekali pun tidak boleh mengubah isi dari PBM bila tidak ada mandat dari Majelis Agama-agama," tambahnya.
Kecuali kata Ikhsan, ada mandat dari Majelis agama melalui kesepakatan baru. Karena apabila tetap dipaksakan Pemerintah membuat Aturan baru di luar PBM maka dalam pelaksanaan di Masyarakat harus bersiap menghadapi reaksi berupa kegaduhan yang akan memunculkan disharmoni antar Umat beragama.
"Perlu kita ketahui bersama, bahwa PBM Nomor 8 dan Nomor 9 ini pernah diuji beberapa kali dan terakhir diuji materi di Mahkamah Agung pada bulan maret Tahun 2016 di mana Keputusan MA Nomor 25 P/HUM/2020 adalah Menolak permohonan Uji Materi tersebut. Dengan Putusan MA yang terahir ini secara Yuridis kedudukan Norma PBM Nomor 8 dan Nomor 9 semakin mengikat menguat," tutupnya.
Menurut Ikhsan, sebenarnya isu ini muncul lebih disebabkan oleh pihak-pihak yang hendak membangun rumah ibadah akan tetapi tidak mau patuh dan mentaati ketentuan atau aturan/regulasi yang ada.
"Yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan Nomor 9 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat," kata Ikhsan dalam keterangannya, Rabu (7/6/2023).
Baca Juga
Pihak-pihak dimaksud kata Ikhsan, bisa dari gubernur, bupati atau wali kota, dapat juga berasal dari masyarakat antar pemeluk agama.
Menurutnya, materi dari PBM adalah hasil permufakatan Majelis Agama-agama yang resmi yang telah diakui Negara di Indonesia yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah
"Dalam memelihara Kerukunan Umat dan Pendirian Rumah Ibadah Majelis Agama dimaksud adalah perwakilan pimpinan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)," ucapnya.
"Gereja, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Isi dari Permufakatan Majelis Agama tersebut secara administratif kemudian dituangkan dalam bentuk PBM Nomor 8 dan PBM Nomor 9 Tahun 2006," jelasnya.
Baca Juga
Isi ketentuan inilah kata Ikhsan, sebagai dasar pendirian rumah ibadah sekaligus menjadi fondasi pemeliharaan kerukunan antar umat beragama.
"Dalam implementasinya PBM ini sering dianggap menjadi bantu sandung dalam hal pendirian Rumah Ibadah karena ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuh dan tidak semaunya agar kerukunan antar Umat bergama terpelihara baik," ucapnya.
Karena itu kata Ikhsan, demi terjaganya peace and harmony. Demi menjaga keutuhan NKRI, namun demikian di beberapa daerah tertentu sering terjadi gesekan yang memantik keributan karena diabaikanya isi PBM tersebut baik dilakukan oleh oknum kepala daerah maupun oleh masyarakat.
"Lebih-lebih sering dipergunakan sebagai politik balas jasa jelang dan setelah Pilkada. Isu ini sering menjadi komoditas yang efektif untuk mendulang suara untuk memenangkan Pilkada," tuturnya.
Menanggapi keinginan Menag yang berniat menyederhanakan izin pendirian rumah ibadah cukup dalam adalah niat yang sungguh perlu diapresiasi demi bertujuan mempertinggi Ketakwaan umat kepada Tuhannya.
"Namun Ketentuan yang hendak disusun haruslah tetap memperhatikan PBM Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 sebagai landasan, karena Pembangunan Rumah ibadah itu sangat berkelindan dengan Kewenangan administratif yang berbasis Kewilayahan yang menjadi otoritas Kementerian Dalam Negeri," ungkapnya.
"Dalam rezim UU Otonomi daerah Nomor 23 Tahun 2014 menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah dari Tingkat Gubernur, Bupati dan Wali kota. Sekali pun dari sisi Rumah Ibadah sendiri betul berelasi dengan Kementerian agama," sambungnya.
Di sinilah kata dia, diperlukan kepatuhan Pemerintah dalam hal ini Kementerian terkait khususnya dalam menyusun aturan atau regulasi apa pun bila di dalamnya hendak mengatur Pendirian Rumah Ibadah.
"Tidak dibenarkan ada satu pun peraturan yang dapat menegasikan Ketentuan yang terdapat di dalam PBM tersebut," tegasnya.
"Siapa pun termasuk Presiden sekali pun tidak boleh mengubah isi dari PBM bila tidak ada mandat dari Majelis Agama-agama," tambahnya.
Kecuali kata Ikhsan, ada mandat dari Majelis agama melalui kesepakatan baru. Karena apabila tetap dipaksakan Pemerintah membuat Aturan baru di luar PBM maka dalam pelaksanaan di Masyarakat harus bersiap menghadapi reaksi berupa kegaduhan yang akan memunculkan disharmoni antar Umat beragama.
"Perlu kita ketahui bersama, bahwa PBM Nomor 8 dan Nomor 9 ini pernah diuji beberapa kali dan terakhir diuji materi di Mahkamah Agung pada bulan maret Tahun 2016 di mana Keputusan MA Nomor 25 P/HUM/2020 adalah Menolak permohonan Uji Materi tersebut. Dengan Putusan MA yang terahir ini secara Yuridis kedudukan Norma PBM Nomor 8 dan Nomor 9 semakin mengikat menguat," tutupnya.
(maf)