Film dan Representasi Sistem Hukum
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Film dan Representasi Sistem Hukum
Film klasik. Twelve Angry Man (1957) memang bukan film hukum terbaik yang pernah diproduksi di Amerika Serikat. Masih banyak film yang berkaitan dengan hukum yang juga menarik. Sebut, misalnya, Kramer Vs. Kramer (1979); To Kill a Mockingbird (1962); My Cousin Vinny (1992); Philadelphia (1993); Erin Brockovich (2000); dan masih banyak lagi. Tetapi, Twelve Angry Man ini sangat jelas memberikan gambaran sistem hukum yang khas Amerika Serikat, khususnya peradilan pidananya.
Maka, film semacam itu nyaris tidak mungkin diproduksi oleh sineas di Prancis, Belanda atau Indonesia, misalnya. Kenapa? Apa alasannya? Baiklah, sebelum membicarakan lebih jauh soal filmnya, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa perbedaan utama sistem hukum common law yang dianut Amerika Serikat dan civil law yang dianut Indonesia. Sekali lagi, kita hanya fokus pada proses peradilannya.
Di Indonesia, seorang terdakwa dinyatakan bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty), ditentukan oleh panel hakim yang jumlahnya minimal tiga orang. Sedangkan di Amerika Serikat, seorang terdakwa ditentukan bersalah atau tidak, diputuskan oleh sekelompok “orang luar” (bukan hakim) yang disebut majelis juri atau juror. Jumlah juror ini biasanya 12 orang.
Di sana, terdakwa yang diancam hukuman lebih dari enam bulan berhak atas persidangan dengan majelis juri. Para juri dengan berbagai latar belakang itu dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum persidangan dimulai dan diseleksi. Misalnya, harus dipastikan bahwa mereka tidak mengenal terdakwa dan saksi.
Para juror itulah yang memberikan keputusan mutlak apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika diputuskan bersalah oleh juror, maka hakim (judge) mencarikan pasal yang tepat sesuai kasusnya. Hakim berfungsi menentukan berat-ringannya hukuman (sentence). Tetapi hakim mula-mula harus melihat dan memberikan putusan yang sama dengan kasus yang sama yang pernah terjadi sebelumnya (preseden/yurisprudensi)..
Kemudian, dalam proses persidangan di pengadilan, para pihak menggunakan lawyer-nya masing-masing yang saling berhadapan di depan hakim dan juri. Para pihak menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Hakim bertindak sebagai wasit.
Mungkinkah hal semacam itu dilakukan dalam peradilan di Indonesia? Jelas tidak. Maka nyaris tidak mungkin pula cerita film semacam itu diproduksi di sini. Jika dipaksakan juga, maka hasilnya adalah sebuah karya seni yang tercerabut atau di luar dari akar budayanya.
Para sineas, mulai dari penulis cerita, penulis skenario, sutradara, dan produser, tidak hidup dalam ruang hampa. Kita hidup dalam suatu pranata sosial tertentu, falsasah hidup tertentu, sistem hukum tertentu, ideologi tertentu, kepentingan tertentu, dan seterusnya. Pendeknya, manusia hidup dalam kebudayaan tertentu. Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan. Dan salah satu wujud nyata kebudayaan modern adalah film.
Karena itu pula, meski feature film adalah fiksi (antara lain karena banyaknya unsur tambahan mulai dari tokoh dan dialog, teknologi, hingga dramatisasi), tetap saja –kalau mau – ada beberapa elemen yang bisa kita pelajari. Sebagai penonton, kita tidak hanya bisa menikmati seni peran yang menawan, pemandangan yang indah, cerita yang bagus, tetapi kita juga bisa belajar kondisi sosial, politik, budaya, hukum, atau apa saja yang mungkin muncul dalam film tersebut.
Sistem hukum common law yang dianut Amerika Serikat itu pada dasarnya berpijak pada konsep preseden atau stare decisis. Dalam sistem ini, hukum lebih banyak berasal dari berbagai putusan pengadilan sebelumnya ketimbang dari produk badan legislatif. Pada mulanya, putusan-putusan itu didasarkan pada tradisi dan adat kebiasaan, tetapi pada akhirnya berpijak pada preseden. Princip stare decisis itu menuntut pengadilan mengikuti putusan-putusan sebelumnya, baik yang pernah ia buat sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa.
Meski begitu, bukan berarti tidak dimungkinkan adanya “penyimpangan” dengan membuat putusan baru atau melakukan distinguishing. Hal itu boleh saja asalkan pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang sedang dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu. Fakta yang baru itu harus dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai preseden.
Sejarah common law ini cukup panjang. Ia berasal dari Inggris Abad Pertengahan dan masih bisa dijumpai di banyak negara yang pernah diduduki oleng Inggris. Karena Amerika Serikat pada mulanya adalah koloni Inggris, tidak mengherankan bahwa dalam banyak hal sistem hukum di Amerika Serikat mengikuti prinsip-prinsip common law.
Di luar urusan proses peradilan, Amerika Serikat juga memiliki Konstutusi tertulis dan kode-kode tertulis juga. Tetapi, khusunya dalam persidangan di pengadilan, semuanya tunduk pada interpretasi pengadilan dan putusan-putusan itu kemudian menjadi preseden.
Jadi, meski preseden memainkan peran penting, tidak semua hukum yang ada di Amerika Serikat dihasilkan dari kasus yang diputuskan oleh hakim. Sistem hukum Amerika Serikat diatur pula oleh Konstitusi tertulis dan juga oleh undang-undang yang ditetapkan oleh segenap anggota perwakilan yang terpilih. Undang-undang ini dikenal dengan nama Himpunan Undang-Undang atau Hukum Undang-Undang.
Secara umum, peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat digolongkan sesuai dengan sumbernya, yakni Hukum Konstitusi, Hukum Kasus, Hukum Undang-Undang, atau berbagai peraturan administrasi lainnya. Sumber-sumber hukum ini dapat dijumpai dalam pemerintahan federal dan sistem hukum yang berlaku di negara bagian.
Sedangkan Indonesia, yang menganut civil law (berasal dari Hukum Kekaisaran Romawi), juga mempunyai ciri-ciri khusus. Pertama, adanya kodifikasi berupa undang-undang tertulis seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang tertulis lainnya. Kodifikasi dianggap perlu untuk menciptakan keseragaman dan kepastian hukum di tengah-tengah keberagaman masyarakat dan persoalannya.
Kedua, hakim tidak terikat dengan preseden sehingga undang-undanglah yang menjadi rujukan utama. Ketiga, sistem peradilannya bersifat inkuisitorial. Maksudnya, hakim pidana mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan harus cermat dalam menilai bukti. Hal ini agar hakim memperoleh gambaran yang lengkap dalam menilai alat bukti dan menerapkan pasal yang tepat.
Dengan karakter yang “hanya” menggunakan kitab undang-undang sebagai sumber hukum utama, maka harus ada peraturan yang telah dibuat terlebih dahulu sebelum adanya kasus. Seseorang hanya boleh dihukum apabila hal itu sudah diatur dalam undang-undang. Sistem ini merencanakan, mensistematiskan, dan mengatur persoalan sehari-hari dengan cara membentuk aturan-aturan hukum tertulis. Di Indonesia, pembuatan undang-undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah.
Ada kritik bahwa menempatkan undang-undang tertulis sebagai acuan utama bisa mengandung bahaya.. Kenapa? Karena aturan undang-undang itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagipula, dengan berjalannya waktu, undang-undang itu bisa tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, sehingga memerlukan intrepretasi pengadilan atau menggantinya.
Syukurlah, kita baru saja mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru setelah ratusan tahun menggunakan kitab bikinan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Semoga saja KUHP yang baru diundangkan pada awal 2023 itu dapat menjawab tantangan zaman sekarang dan beberapa tahun ke depan.
Film 12 Angry Man arahan Sidney Lumet ini merupakan film drama persidangan yang sangat baik dan mengesankan. Henry Fonda memproduseri dan membintangi adaptasi dari drama panggung Reginald Rose yang diakui sangat kritis dalam dialog-dialognya. Alih-alih mengikuti cerita persidangan, penonton malah diajak untuk mengamati kejadian di balik pintu tertutup, yakni ruangan sidang para juri.
Ditampilkan para juri bermusyawarah atau mempertimbangkan sebuah kasus yang bisa berujung hukuman mati pada terdakwa. Pemungutan suara awal diambil dalam ruangan tertutup. Hasilnya, 11 (sebelas) menyatakan terdakwa bersalah. Hanya 1 (satu) juri yang masih ragu-ragu, yakni juri nomor 8 Ia masih ingin agar para juri lain mendiskusikan kembali putusan terhadap seorang pemuda yang didakwa telah membunuh ayahnya sendiri.
Juri No. 8 itu diperankan oleh Henry Fonda, yang juga membintangi On Golden Pond, dan Wanda Nevada. Dia seorang pria yang penuh rasa kepedulian, dan memikirkan kasus ini lebih serius dibanding anggota juri lainnya. Dia berusaha melakukan yang terbaik. Seiring berjalannya waktu, beberapa juri mulai ragu-ragu dengan keputusannya dan mengubah pikiran mereka. Mereka mulai merasa perlu untuk tidak terburu-burun dalam mengambil keputusan bersalah atas perbuatan terdakwa.
Plot film ini sangat menarik. Hal-hal kecil yang bisa memengaruhi keputusan diperlihatkan dengan baik. Film ini juga berhasil dalam menghadirkan 12 karakter juri yang sedang berdebat itu. Karakter masing-masing juri muncul secara meyakinkan (believable) kepada penonton.
Film ini sesekali masih digunakan sebagi contoh kasus di sekolah-sekolah bisnis dan seminar-seminar hukum untuk menggambarkan dinamika sebuah tim dan teknik resolusi konflik. Dinominasikan untuk meraih tiga Oscar, namun film ini kalah dan tak membawa pulang satu pun piala Oscar. Sebagai bisnis, film ini juga tidak menghasilkan keuntungan. Henry Fonda tidak pernah menerima honornya.
Dalam kontrak ia sedianya menerima honor dengan besaran tertentu yang dihitung sesuai keuntungan film di tangga box office. Meski begitu, ia selalu menganggap bahwa 12 Angry Men merupakan salah satu dari tiga film terbaiknya, dua lainnya yakni The Grapes of Wrath (1940) dan The Ox-Bow Incident (1943).
Zaman berkembang, dunia terus bergerak maju. Globalisasi membuat kerjasama antar-negara semakin erat. Berbagai perjanjian internasional ditandangani bersama. Bahkan kajian tentang pluralisme hukum, misalnya, telah diredefinisi. Pluralisme dalam hukum tidak lagi dipahami hanya sebagai pemetaan keanekaragaman sistem hukum di dunia, tetapi telah dipahami sebagai “hukum dinamis” di ranah global.
Saat ini, hukum dari berbagai belahan dunia berpindah ke wilayah yang tidak terbatas, terjadi kontak, interaksi, kontestasi, dan saling adopsi antara hukum internasional, nasional, dan lokal. Hasilnya, terciptalah hukum transnasional. Penciptaan hukum transnasionalisasi ini merupakan konsekuensi dari kontak, penyesuaian, dan pemenuhan kebutuhan kerjasama global seperti dalam kasus perdagangan internasional, penanganan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, hak cipta, dan lain-lain. Jadi globalisasi tidak hanya menghasilkan negara tanpa batas, tetapi juga memperkenalkan hukum tanpa batas.
Demikian juga dalam hukum perdata. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, juga telah mengadopsi beberapa konsep yang berasal dari Amerika Serikat seperti Fiduciary Duties, Business Judgment Rule (BJR), Piercing Corporate Veil (PCV), Ultra Vires vs Intra Vires, Shareholders Derivative Action, Corporate Social Responsibility (CSR), dan lain-lain.
Jadi, Indonesia yang semula hanya dikenal sebagai negara yang menganut tiga sistem hukum (civil law, hukum adat, hukum Islam), kini boleh juga ditambah satu lagi, yakni hukum transnasional, yang lahir atas perkembangan baru atau dari berbagai perjanjian internasional. Maka, bolehlah disebut bahwa Indonesia adalah kawah candradimuka tempat bercampurnya berbagai sistem hukum yang berjalan secara harmonis. Semoga.
Film dan Representasi Sistem Hukum
Film klasik. Twelve Angry Man (1957) memang bukan film hukum terbaik yang pernah diproduksi di Amerika Serikat. Masih banyak film yang berkaitan dengan hukum yang juga menarik. Sebut, misalnya, Kramer Vs. Kramer (1979); To Kill a Mockingbird (1962); My Cousin Vinny (1992); Philadelphia (1993); Erin Brockovich (2000); dan masih banyak lagi. Tetapi, Twelve Angry Man ini sangat jelas memberikan gambaran sistem hukum yang khas Amerika Serikat, khususnya peradilan pidananya.
Maka, film semacam itu nyaris tidak mungkin diproduksi oleh sineas di Prancis, Belanda atau Indonesia, misalnya. Kenapa? Apa alasannya? Baiklah, sebelum membicarakan lebih jauh soal filmnya, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa perbedaan utama sistem hukum common law yang dianut Amerika Serikat dan civil law yang dianut Indonesia. Sekali lagi, kita hanya fokus pada proses peradilannya.
Di Indonesia, seorang terdakwa dinyatakan bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty), ditentukan oleh panel hakim yang jumlahnya minimal tiga orang. Sedangkan di Amerika Serikat, seorang terdakwa ditentukan bersalah atau tidak, diputuskan oleh sekelompok “orang luar” (bukan hakim) yang disebut majelis juri atau juror. Jumlah juror ini biasanya 12 orang.
Di sana, terdakwa yang diancam hukuman lebih dari enam bulan berhak atas persidangan dengan majelis juri. Para juri dengan berbagai latar belakang itu dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum persidangan dimulai dan diseleksi. Misalnya, harus dipastikan bahwa mereka tidak mengenal terdakwa dan saksi.
Para juror itulah yang memberikan keputusan mutlak apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika diputuskan bersalah oleh juror, maka hakim (judge) mencarikan pasal yang tepat sesuai kasusnya. Hakim berfungsi menentukan berat-ringannya hukuman (sentence). Tetapi hakim mula-mula harus melihat dan memberikan putusan yang sama dengan kasus yang sama yang pernah terjadi sebelumnya (preseden/yurisprudensi)..
Kemudian, dalam proses persidangan di pengadilan, para pihak menggunakan lawyer-nya masing-masing yang saling berhadapan di depan hakim dan juri. Para pihak menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Hakim bertindak sebagai wasit.
Mungkinkah hal semacam itu dilakukan dalam peradilan di Indonesia? Jelas tidak. Maka nyaris tidak mungkin pula cerita film semacam itu diproduksi di sini. Jika dipaksakan juga, maka hasilnya adalah sebuah karya seni yang tercerabut atau di luar dari akar budayanya.
Para sineas, mulai dari penulis cerita, penulis skenario, sutradara, dan produser, tidak hidup dalam ruang hampa. Kita hidup dalam suatu pranata sosial tertentu, falsasah hidup tertentu, sistem hukum tertentu, ideologi tertentu, kepentingan tertentu, dan seterusnya. Pendeknya, manusia hidup dalam kebudayaan tertentu. Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan. Dan salah satu wujud nyata kebudayaan modern adalah film.
Karena itu pula, meski feature film adalah fiksi (antara lain karena banyaknya unsur tambahan mulai dari tokoh dan dialog, teknologi, hingga dramatisasi), tetap saja –kalau mau – ada beberapa elemen yang bisa kita pelajari. Sebagai penonton, kita tidak hanya bisa menikmati seni peran yang menawan, pemandangan yang indah, cerita yang bagus, tetapi kita juga bisa belajar kondisi sosial, politik, budaya, hukum, atau apa saja yang mungkin muncul dalam film tersebut.
Sistem hukum common law yang dianut Amerika Serikat itu pada dasarnya berpijak pada konsep preseden atau stare decisis. Dalam sistem ini, hukum lebih banyak berasal dari berbagai putusan pengadilan sebelumnya ketimbang dari produk badan legislatif. Pada mulanya, putusan-putusan itu didasarkan pada tradisi dan adat kebiasaan, tetapi pada akhirnya berpijak pada preseden. Princip stare decisis itu menuntut pengadilan mengikuti putusan-putusan sebelumnya, baik yang pernah ia buat sendiri atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa.
Meski begitu, bukan berarti tidak dimungkinkan adanya “penyimpangan” dengan membuat putusan baru atau melakukan distinguishing. Hal itu boleh saja asalkan pengadilan dapat membuktikan bahwa fakta yang sedang dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu. Fakta yang baru itu harus dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai preseden.
Sejarah common law ini cukup panjang. Ia berasal dari Inggris Abad Pertengahan dan masih bisa dijumpai di banyak negara yang pernah diduduki oleng Inggris. Karena Amerika Serikat pada mulanya adalah koloni Inggris, tidak mengherankan bahwa dalam banyak hal sistem hukum di Amerika Serikat mengikuti prinsip-prinsip common law.
Di luar urusan proses peradilan, Amerika Serikat juga memiliki Konstutusi tertulis dan kode-kode tertulis juga. Tetapi, khusunya dalam persidangan di pengadilan, semuanya tunduk pada interpretasi pengadilan dan putusan-putusan itu kemudian menjadi preseden.
Jadi, meski preseden memainkan peran penting, tidak semua hukum yang ada di Amerika Serikat dihasilkan dari kasus yang diputuskan oleh hakim. Sistem hukum Amerika Serikat diatur pula oleh Konstitusi tertulis dan juga oleh undang-undang yang ditetapkan oleh segenap anggota perwakilan yang terpilih. Undang-undang ini dikenal dengan nama Himpunan Undang-Undang atau Hukum Undang-Undang.
Secara umum, peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat digolongkan sesuai dengan sumbernya, yakni Hukum Konstitusi, Hukum Kasus, Hukum Undang-Undang, atau berbagai peraturan administrasi lainnya. Sumber-sumber hukum ini dapat dijumpai dalam pemerintahan federal dan sistem hukum yang berlaku di negara bagian.
Sedangkan Indonesia, yang menganut civil law (berasal dari Hukum Kekaisaran Romawi), juga mempunyai ciri-ciri khusus. Pertama, adanya kodifikasi berupa undang-undang tertulis seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang tertulis lainnya. Kodifikasi dianggap perlu untuk menciptakan keseragaman dan kepastian hukum di tengah-tengah keberagaman masyarakat dan persoalannya.
Kedua, hakim tidak terikat dengan preseden sehingga undang-undanglah yang menjadi rujukan utama. Ketiga, sistem peradilannya bersifat inkuisitorial. Maksudnya, hakim pidana mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan harus cermat dalam menilai bukti. Hal ini agar hakim memperoleh gambaran yang lengkap dalam menilai alat bukti dan menerapkan pasal yang tepat.
Dengan karakter yang “hanya” menggunakan kitab undang-undang sebagai sumber hukum utama, maka harus ada peraturan yang telah dibuat terlebih dahulu sebelum adanya kasus. Seseorang hanya boleh dihukum apabila hal itu sudah diatur dalam undang-undang. Sistem ini merencanakan, mensistematiskan, dan mengatur persoalan sehari-hari dengan cara membentuk aturan-aturan hukum tertulis. Di Indonesia, pembuatan undang-undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah.
Ada kritik bahwa menempatkan undang-undang tertulis sebagai acuan utama bisa mengandung bahaya.. Kenapa? Karena aturan undang-undang itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang bukan tidak mungkin berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagipula, dengan berjalannya waktu, undang-undang itu bisa tidak sesuai lagi dengan keadaan yang ada, sehingga memerlukan intrepretasi pengadilan atau menggantinya.
Syukurlah, kita baru saja mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru setelah ratusan tahun menggunakan kitab bikinan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Semoga saja KUHP yang baru diundangkan pada awal 2023 itu dapat menjawab tantangan zaman sekarang dan beberapa tahun ke depan.
Film 12 Angry Man arahan Sidney Lumet ini merupakan film drama persidangan yang sangat baik dan mengesankan. Henry Fonda memproduseri dan membintangi adaptasi dari drama panggung Reginald Rose yang diakui sangat kritis dalam dialog-dialognya. Alih-alih mengikuti cerita persidangan, penonton malah diajak untuk mengamati kejadian di balik pintu tertutup, yakni ruangan sidang para juri.
Ditampilkan para juri bermusyawarah atau mempertimbangkan sebuah kasus yang bisa berujung hukuman mati pada terdakwa. Pemungutan suara awal diambil dalam ruangan tertutup. Hasilnya, 11 (sebelas) menyatakan terdakwa bersalah. Hanya 1 (satu) juri yang masih ragu-ragu, yakni juri nomor 8 Ia masih ingin agar para juri lain mendiskusikan kembali putusan terhadap seorang pemuda yang didakwa telah membunuh ayahnya sendiri.
Juri No. 8 itu diperankan oleh Henry Fonda, yang juga membintangi On Golden Pond, dan Wanda Nevada. Dia seorang pria yang penuh rasa kepedulian, dan memikirkan kasus ini lebih serius dibanding anggota juri lainnya. Dia berusaha melakukan yang terbaik. Seiring berjalannya waktu, beberapa juri mulai ragu-ragu dengan keputusannya dan mengubah pikiran mereka. Mereka mulai merasa perlu untuk tidak terburu-burun dalam mengambil keputusan bersalah atas perbuatan terdakwa.
Plot film ini sangat menarik. Hal-hal kecil yang bisa memengaruhi keputusan diperlihatkan dengan baik. Film ini juga berhasil dalam menghadirkan 12 karakter juri yang sedang berdebat itu. Karakter masing-masing juri muncul secara meyakinkan (believable) kepada penonton.
Film ini sesekali masih digunakan sebagi contoh kasus di sekolah-sekolah bisnis dan seminar-seminar hukum untuk menggambarkan dinamika sebuah tim dan teknik resolusi konflik. Dinominasikan untuk meraih tiga Oscar, namun film ini kalah dan tak membawa pulang satu pun piala Oscar. Sebagai bisnis, film ini juga tidak menghasilkan keuntungan. Henry Fonda tidak pernah menerima honornya.
Dalam kontrak ia sedianya menerima honor dengan besaran tertentu yang dihitung sesuai keuntungan film di tangga box office. Meski begitu, ia selalu menganggap bahwa 12 Angry Men merupakan salah satu dari tiga film terbaiknya, dua lainnya yakni The Grapes of Wrath (1940) dan The Ox-Bow Incident (1943).
Zaman berkembang, dunia terus bergerak maju. Globalisasi membuat kerjasama antar-negara semakin erat. Berbagai perjanjian internasional ditandangani bersama. Bahkan kajian tentang pluralisme hukum, misalnya, telah diredefinisi. Pluralisme dalam hukum tidak lagi dipahami hanya sebagai pemetaan keanekaragaman sistem hukum di dunia, tetapi telah dipahami sebagai “hukum dinamis” di ranah global.
Saat ini, hukum dari berbagai belahan dunia berpindah ke wilayah yang tidak terbatas, terjadi kontak, interaksi, kontestasi, dan saling adopsi antara hukum internasional, nasional, dan lokal. Hasilnya, terciptalah hukum transnasional. Penciptaan hukum transnasionalisasi ini merupakan konsekuensi dari kontak, penyesuaian, dan pemenuhan kebutuhan kerjasama global seperti dalam kasus perdagangan internasional, penanganan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, hak cipta, dan lain-lain. Jadi globalisasi tidak hanya menghasilkan negara tanpa batas, tetapi juga memperkenalkan hukum tanpa batas.
Demikian juga dalam hukum perdata. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, juga telah mengadopsi beberapa konsep yang berasal dari Amerika Serikat seperti Fiduciary Duties, Business Judgment Rule (BJR), Piercing Corporate Veil (PCV), Ultra Vires vs Intra Vires, Shareholders Derivative Action, Corporate Social Responsibility (CSR), dan lain-lain.
Jadi, Indonesia yang semula hanya dikenal sebagai negara yang menganut tiga sistem hukum (civil law, hukum adat, hukum Islam), kini boleh juga ditambah satu lagi, yakni hukum transnasional, yang lahir atas perkembangan baru atau dari berbagai perjanjian internasional. Maka, bolehlah disebut bahwa Indonesia adalah kawah candradimuka tempat bercampurnya berbagai sistem hukum yang berjalan secara harmonis. Semoga.
(wur)