Film dan Representasi Sistem Hukum
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Film dan Representasi Sistem Hukum
Film klasik. Twelve Angry Man (1957) memang bukan film hukum terbaik yang pernah diproduksi di Amerika Serikat. Masih banyak film yang berkaitan dengan hukum yang juga menarik. Sebut, misalnya, Kramer Vs. Kramer (1979); To Kill a Mockingbird (1962); My Cousin Vinny (1992); Philadelphia (1993); Erin Brockovich (2000); dan masih banyak lagi. Tetapi, Twelve Angry Man ini sangat jelas memberikan gambaran sistem hukum yang khas Amerika Serikat, khususnya peradilan pidananya.
Maka, film semacam itu nyaris tidak mungkin diproduksi oleh sineas di Prancis, Belanda atau Indonesia, misalnya. Kenapa? Apa alasannya? Baiklah, sebelum membicarakan lebih jauh soal filmnya, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa perbedaan utama sistem hukum common law yang dianut Amerika Serikat dan civil law yang dianut Indonesia. Sekali lagi, kita hanya fokus pada proses peradilannya.
Di Indonesia, seorang terdakwa dinyatakan bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty), ditentukan oleh panel hakim yang jumlahnya minimal tiga orang. Sedangkan di Amerika Serikat, seorang terdakwa ditentukan bersalah atau tidak, diputuskan oleh sekelompok “orang luar” (bukan hakim) yang disebut majelis juri atau juror. Jumlah juror ini biasanya 12 orang.
Di sana, terdakwa yang diancam hukuman lebih dari enam bulan berhak atas persidangan dengan majelis juri. Para juri dengan berbagai latar belakang itu dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum persidangan dimulai dan diseleksi. Misalnya, harus dipastikan bahwa mereka tidak mengenal terdakwa dan saksi.
Para juror itulah yang memberikan keputusan mutlak apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika diputuskan bersalah oleh juror, maka hakim (judge) mencarikan pasal yang tepat sesuai kasusnya. Hakim berfungsi menentukan berat-ringannya hukuman (sentence). Tetapi hakim mula-mula harus melihat dan memberikan putusan yang sama dengan kasus yang sama yang pernah terjadi sebelumnya (preseden/yurisprudensi)..
Kemudian, dalam proses persidangan di pengadilan, para pihak menggunakan lawyer-nya masing-masing yang saling berhadapan di depan hakim dan juri. Para pihak menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Hakim bertindak sebagai wasit.
Mungkinkah hal semacam itu dilakukan dalam peradilan di Indonesia? Jelas tidak. Maka nyaris tidak mungkin pula cerita film semacam itu diproduksi di sini. Jika dipaksakan juga, maka hasilnya adalah sebuah karya seni yang tercerabut atau di luar dari akar budayanya.
Para sineas, mulai dari penulis cerita, penulis skenario, sutradara, dan produser, tidak hidup dalam ruang hampa. Kita hidup dalam suatu pranata sosial tertentu, falsasah hidup tertentu, sistem hukum tertentu, ideologi tertentu, kepentingan tertentu, dan seterusnya. Pendeknya, manusia hidup dalam kebudayaan tertentu. Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan. Dan salah satu wujud nyata kebudayaan modern adalah film.
Karena itu pula, meski feature film adalah fiksi (antara lain karena banyaknya unsur tambahan mulai dari tokoh dan dialog, teknologi, hingga dramatisasi), tetap saja –kalau mau – ada beberapa elemen yang bisa kita pelajari. Sebagai penonton, kita tidak hanya bisa menikmati seni peran yang menawan, pemandangan yang indah, cerita yang bagus, tetapi kita juga bisa belajar kondisi sosial, politik, budaya, hukum, atau apa saja yang mungkin muncul dalam film tersebut.
Film dan Representasi Sistem Hukum
Film klasik. Twelve Angry Man (1957) memang bukan film hukum terbaik yang pernah diproduksi di Amerika Serikat. Masih banyak film yang berkaitan dengan hukum yang juga menarik. Sebut, misalnya, Kramer Vs. Kramer (1979); To Kill a Mockingbird (1962); My Cousin Vinny (1992); Philadelphia (1993); Erin Brockovich (2000); dan masih banyak lagi. Tetapi, Twelve Angry Man ini sangat jelas memberikan gambaran sistem hukum yang khas Amerika Serikat, khususnya peradilan pidananya.
Maka, film semacam itu nyaris tidak mungkin diproduksi oleh sineas di Prancis, Belanda atau Indonesia, misalnya. Kenapa? Apa alasannya? Baiklah, sebelum membicarakan lebih jauh soal filmnya, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa perbedaan utama sistem hukum common law yang dianut Amerika Serikat dan civil law yang dianut Indonesia. Sekali lagi, kita hanya fokus pada proses peradilannya.
Di Indonesia, seorang terdakwa dinyatakan bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty), ditentukan oleh panel hakim yang jumlahnya minimal tiga orang. Sedangkan di Amerika Serikat, seorang terdakwa ditentukan bersalah atau tidak, diputuskan oleh sekelompok “orang luar” (bukan hakim) yang disebut majelis juri atau juror. Jumlah juror ini biasanya 12 orang.
Di sana, terdakwa yang diancam hukuman lebih dari enam bulan berhak atas persidangan dengan majelis juri. Para juri dengan berbagai latar belakang itu dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum persidangan dimulai dan diseleksi. Misalnya, harus dipastikan bahwa mereka tidak mengenal terdakwa dan saksi.
Para juror itulah yang memberikan keputusan mutlak apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika diputuskan bersalah oleh juror, maka hakim (judge) mencarikan pasal yang tepat sesuai kasusnya. Hakim berfungsi menentukan berat-ringannya hukuman (sentence). Tetapi hakim mula-mula harus melihat dan memberikan putusan yang sama dengan kasus yang sama yang pernah terjadi sebelumnya (preseden/yurisprudensi)..
Kemudian, dalam proses persidangan di pengadilan, para pihak menggunakan lawyer-nya masing-masing yang saling berhadapan di depan hakim dan juri. Para pihak menyusun strategi sedemikian rupa dan mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Hakim bertindak sebagai wasit.
Mungkinkah hal semacam itu dilakukan dalam peradilan di Indonesia? Jelas tidak. Maka nyaris tidak mungkin pula cerita film semacam itu diproduksi di sini. Jika dipaksakan juga, maka hasilnya adalah sebuah karya seni yang tercerabut atau di luar dari akar budayanya.
Para sineas, mulai dari penulis cerita, penulis skenario, sutradara, dan produser, tidak hidup dalam ruang hampa. Kita hidup dalam suatu pranata sosial tertentu, falsasah hidup tertentu, sistem hukum tertentu, ideologi tertentu, kepentingan tertentu, dan seterusnya. Pendeknya, manusia hidup dalam kebudayaan tertentu. Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan. Dan salah satu wujud nyata kebudayaan modern adalah film.
Karena itu pula, meski feature film adalah fiksi (antara lain karena banyaknya unsur tambahan mulai dari tokoh dan dialog, teknologi, hingga dramatisasi), tetap saja –kalau mau – ada beberapa elemen yang bisa kita pelajari. Sebagai penonton, kita tidak hanya bisa menikmati seni peran yang menawan, pemandangan yang indah, cerita yang bagus, tetapi kita juga bisa belajar kondisi sosial, politik, budaya, hukum, atau apa saja yang mungkin muncul dalam film tersebut.