Pancasila dan Ulama di Era Post Truth
loading...
A
A
A
Purnama Dhedhy Styawan
Sekretaris Bidang Keuangan dan Perbankan DPP PKB
KEMAJUAN teknologi , terutama internet dan media sosial, memungkinkan penyebaran informasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Pada saat yang bersamaan muncul fenomena post truth yang sangat memudahkan penyebaran informasi yang salah dan tidak terverifikasi dengan cepat, sehingga masyarakat dengan mudah terpapar pada disinformasi.
Tetapi sebenarnya kemajuan teknologi tersebut juga memungkinkan munculnya respons terhadap fenomena post truth sendiri. Kemajuan teknologi yang tidak secara inheren mengarah pada penyebaran disinformasi atau kecenderungan terhadap fenomena post truth. Hanya penggunaan yang tidak bertanggung jawab atau manipulatif dari teknologi dapat memperkuat dan memperluas dampaknya di era post truth.
Istilah post truth pertama kali digunakan pada tahun 1992 oleh Steve Tesich di majalah The Nation,. Istilah tersebut dipakainya ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi di periode tersebut. Tesich menggarisbawahi bahwa “sebagai manusia yang bebas, memiliki kebebasan untuk menentukan ingin hidup di dunia post truth”. Pada 2016, istilah post truth dipopulerkan setelah referendum Brexit di Inggris, maupun pemilihan presiden di Amerika Serikat antara Donald Trump versus Hillary Clinton.
Era post truth mengacu pada periode waktu ketika fakta objektif menjadi kurang penting dalam membentuk opini publik. Emosi, keyakinan personal, serta narasi subjektif memiliki pengaruh yang besar terhadap persepsi dan opini masyarakat. Di era post truth, opini publik cenderung dipengaruhi oleh narasi dan pemikiran yang sesuai dengan keyakinannya sendiri, terlepas dari kebenaran maupun keabsahannya.
Beberapa fakta yang tidak sesuai dengan pandangan atau keyakinan personal seringkali diabaikan, dianggap tidak relevan, atau secara aktif disangkal dengan argumen yang tidak berdasar pada realita yang logis. Di era post truth, terdapat fenomena terjadinya penurunan kepercayaan masyarakat pada sumber informasi yang dapat diandalkan, seperti media tradisional atau pendapat ahli, ketika kehadiran platform media sosial telah mempercepat penyebaran informasi yang tidak diverifikasi.
Era post truth dapat menghambat berbagai upaya dalam membangun kesepakatan dan kepercayaan publik secara luas. Ketika fakta dan kebenaran diabaikan atau dipertanyakan, maka proses negosiasi dan dialog yang konstruktif menjadi lebih sulit terlaksana, sehingga dapat menghambat kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan masalah bersama dan membangun kerangka kerja yang inklusif dan berkelanjutan berdasarkan pada fakta dan bukti otentik.
Era post truth memiliki dampak terhadap karakteristik berbangsa dan bernegara, yaitu identitas jati diri yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Indonesia memiliki Pancasila yang menjadi dasar fundamental dalam berbangsa dan bernegara. Fundamental Pancasila menggarisbawahi pentingnya untuk menjaga keberagaman, membangun kesatuan, mengutamakan kepentingan bersama, dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki peran penting sebagai penjaga integritas bangsa Indonesia di era post truth. Pancasila melalui nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya telah mendorong masyarakat untuk menjadi individu yang kritis, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi kebenaran. Pancasila menjadi pijakan yang kokoh dalam menghadapi tantangan disinformasi dan menjaga keutuhan serta integritas bangsa Indonesia di era post truth.
Sekretaris Bidang Keuangan dan Perbankan DPP PKB
KEMAJUAN teknologi , terutama internet dan media sosial, memungkinkan penyebaran informasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Pada saat yang bersamaan muncul fenomena post truth yang sangat memudahkan penyebaran informasi yang salah dan tidak terverifikasi dengan cepat, sehingga masyarakat dengan mudah terpapar pada disinformasi.
Tetapi sebenarnya kemajuan teknologi tersebut juga memungkinkan munculnya respons terhadap fenomena post truth sendiri. Kemajuan teknologi yang tidak secara inheren mengarah pada penyebaran disinformasi atau kecenderungan terhadap fenomena post truth. Hanya penggunaan yang tidak bertanggung jawab atau manipulatif dari teknologi dapat memperkuat dan memperluas dampaknya di era post truth.
Istilah post truth pertama kali digunakan pada tahun 1992 oleh Steve Tesich di majalah The Nation,. Istilah tersebut dipakainya ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi di periode tersebut. Tesich menggarisbawahi bahwa “sebagai manusia yang bebas, memiliki kebebasan untuk menentukan ingin hidup di dunia post truth”. Pada 2016, istilah post truth dipopulerkan setelah referendum Brexit di Inggris, maupun pemilihan presiden di Amerika Serikat antara Donald Trump versus Hillary Clinton.
Era post truth mengacu pada periode waktu ketika fakta objektif menjadi kurang penting dalam membentuk opini publik. Emosi, keyakinan personal, serta narasi subjektif memiliki pengaruh yang besar terhadap persepsi dan opini masyarakat. Di era post truth, opini publik cenderung dipengaruhi oleh narasi dan pemikiran yang sesuai dengan keyakinannya sendiri, terlepas dari kebenaran maupun keabsahannya.
Beberapa fakta yang tidak sesuai dengan pandangan atau keyakinan personal seringkali diabaikan, dianggap tidak relevan, atau secara aktif disangkal dengan argumen yang tidak berdasar pada realita yang logis. Di era post truth, terdapat fenomena terjadinya penurunan kepercayaan masyarakat pada sumber informasi yang dapat diandalkan, seperti media tradisional atau pendapat ahli, ketika kehadiran platform media sosial telah mempercepat penyebaran informasi yang tidak diverifikasi.
Era post truth dapat menghambat berbagai upaya dalam membangun kesepakatan dan kepercayaan publik secara luas. Ketika fakta dan kebenaran diabaikan atau dipertanyakan, maka proses negosiasi dan dialog yang konstruktif menjadi lebih sulit terlaksana, sehingga dapat menghambat kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan masalah bersama dan membangun kerangka kerja yang inklusif dan berkelanjutan berdasarkan pada fakta dan bukti otentik.
Era post truth memiliki dampak terhadap karakteristik berbangsa dan bernegara, yaitu identitas jati diri yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Indonesia memiliki Pancasila yang menjadi dasar fundamental dalam berbangsa dan bernegara. Fundamental Pancasila menggarisbawahi pentingnya untuk menjaga keberagaman, membangun kesatuan, mengutamakan kepentingan bersama, dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki peran penting sebagai penjaga integritas bangsa Indonesia di era post truth. Pancasila melalui nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya telah mendorong masyarakat untuk menjadi individu yang kritis, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi kebenaran. Pancasila menjadi pijakan yang kokoh dalam menghadapi tantangan disinformasi dan menjaga keutuhan serta integritas bangsa Indonesia di era post truth.