ARUN Yakin MK Tidak Akan Kabulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN) Bob Hasan meyakini Mahkamah Konstitusi (MK) tidak akan mengabulkan sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup.
Hal itu diungkapkan Bob menanggapi kebocoran informasi soal putusan MK yang mengabulkan sistem pemilu proporsional tertutup. Bocoran putusan MK itu kini menuai banyak pro dan kontra.
Menurutnya, apabila sistem pemilu proporsional tertutup dikabulkan akan menjadi catatan hitam demokrasi di Indonesia. Terlebih, sistem ini sudah pernah diterapkan sebelum reformasi tahun 1998.
“Kami menganalisis tidak mungkin MK itu memutuskan proporsional tertutup, karena kalau dari sudut pandang tata negara, MK itu melakukan perubahan dari tertutup menjadi terbuka pada masa lalu,” kata Bob Hasan, dalam keterangannya Selasa (30/5/2023).
Melihat sejarah panjang itu, Bob menilai Bangsa Indonesia sejak lama menginginkan adanya sistem pemilihan terbuka yang selama ini tidak pernah diprotes masyarakat.
“Pemilihan langsung sudah menjadi tren di era reformasi, karena amanah dan perjuangan dari reformasi itu adalah transparan dan akuntabilitas termasuk dalam memilih wakil rakyat itu sendiri,” tegas Bob Hasan.
Ia menjelaskan, salah satu keunggulan sistem proporsional terbuka masyarakat dalam melakukan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Terlebih bisa melihat foto caleg dalam kertas suara.
“Sekarang Bupati, Wali Kota dan Gubernur itu secara langsung dipilih rakyat melalui pemilu, bukan lewat Dewan (DPRD) lagi. Kemudian pemilihan presiden, juga bukan lewat Dewan (MPR RI) lagi, tapi masyarakat langsung,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Hasan, alangkah anehnya apabila hakim MK mengabulkan sistem proporsional tertutup dan kembali lagi ke era sebelum reformasi.
"Saya kira segenap bangsa tidak berkeinginan kembali ke orde baru," kata Bob Hasan
Terlebih, tidak ada peristiwa penting dan mendesak bagi hakim MK untuk mengabulkan sistem proporsional tertutup saat pemilu nanti.
“Saya yakin betul bahwa MK tidak mungkin memutuskan proporsional tertutup, karena tidak ada peristiwa politik yang penting di situ. Cuma karena ada ujaran bahwa dalilnya pemohon itu menyatakan, politik uang makin kencang dan segala macam,” ucapnya.
Justru sebaliknya, lanjut Hasan, jika MK mengabulkan sistem proporsional tertutup untuk Pileg, akan menjadi yurisprudensi untuk diajukan kembali dalam Pilkada hingga Pilpres.
“Jadi putusan MK kalau dibuat tertutup, ini menjadi yurisprudensi pemilihan-pemilihan lainnya, nggak mungkin MK menjadi dualistis," pungkasnya.
Hal itu diungkapkan Bob menanggapi kebocoran informasi soal putusan MK yang mengabulkan sistem pemilu proporsional tertutup. Bocoran putusan MK itu kini menuai banyak pro dan kontra.
Menurutnya, apabila sistem pemilu proporsional tertutup dikabulkan akan menjadi catatan hitam demokrasi di Indonesia. Terlebih, sistem ini sudah pernah diterapkan sebelum reformasi tahun 1998.
“Kami menganalisis tidak mungkin MK itu memutuskan proporsional tertutup, karena kalau dari sudut pandang tata negara, MK itu melakukan perubahan dari tertutup menjadi terbuka pada masa lalu,” kata Bob Hasan, dalam keterangannya Selasa (30/5/2023).
Melihat sejarah panjang itu, Bob menilai Bangsa Indonesia sejak lama menginginkan adanya sistem pemilihan terbuka yang selama ini tidak pernah diprotes masyarakat.
“Pemilihan langsung sudah menjadi tren di era reformasi, karena amanah dan perjuangan dari reformasi itu adalah transparan dan akuntabilitas termasuk dalam memilih wakil rakyat itu sendiri,” tegas Bob Hasan.
Ia menjelaskan, salah satu keunggulan sistem proporsional terbuka masyarakat dalam melakukan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Terlebih bisa melihat foto caleg dalam kertas suara.
“Sekarang Bupati, Wali Kota dan Gubernur itu secara langsung dipilih rakyat melalui pemilu, bukan lewat Dewan (DPRD) lagi. Kemudian pemilihan presiden, juga bukan lewat Dewan (MPR RI) lagi, tapi masyarakat langsung,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Hasan, alangkah anehnya apabila hakim MK mengabulkan sistem proporsional tertutup dan kembali lagi ke era sebelum reformasi.
"Saya kira segenap bangsa tidak berkeinginan kembali ke orde baru," kata Bob Hasan
Terlebih, tidak ada peristiwa penting dan mendesak bagi hakim MK untuk mengabulkan sistem proporsional tertutup saat pemilu nanti.
“Saya yakin betul bahwa MK tidak mungkin memutuskan proporsional tertutup, karena tidak ada peristiwa politik yang penting di situ. Cuma karena ada ujaran bahwa dalilnya pemohon itu menyatakan, politik uang makin kencang dan segala macam,” ucapnya.
Justru sebaliknya, lanjut Hasan, jika MK mengabulkan sistem proporsional tertutup untuk Pileg, akan menjadi yurisprudensi untuk diajukan kembali dalam Pilkada hingga Pilpres.
“Jadi putusan MK kalau dibuat tertutup, ini menjadi yurisprudensi pemilihan-pemilihan lainnya, nggak mungkin MK menjadi dualistis," pungkasnya.
(thm)