Tukar Guling RUU HIP, Jalan Pintas Redam Emosi Massa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah desakan publik yang begitu kuat agar pemerintah dan DPR mencabut Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, tiba-tiba pemerintah menyodorkan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ke DPR. Tukar guling kedua RUU ini dinilai sebagai jalan pintas meredam emosi massa.
Penolakan terhadap RUU HIP datang dari berbagai kalangan. Untuk kesekian kalinya aksi massa menolak RUU HIP terjadi di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (16/7/2020). Bahkan dalam aksi demonstrasi tersebut polisi sampai harus menutup jalanan di depan gerbang utama Gedung DPR. Dari pagi hingga petang, aksi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat untuk mendesak pencabutan RUU HIP dari Prolegnas Prioritas 2020 terjadi. Polisi bahkan terpaksa mengamankan 20 perusuh setelah sempat terjadi aksi lempar botol ke arah polisi.
Di tengah panasnya aksi menolak RUU HIP tersebut, di dalam Gedung DPR Menko Polhukam Mahfud MD menemui Ketua DPR Puan Maharani dengan membawa surpres (surat presiden). Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu datang bersama Mensesneg Pramono Anung, Menkumham Yasonna Laoly, Menpan-RB Tjahjo Kumolo, dan Mendagri Tito Karnavian. Surpres tersebut berisi tiga dokumen. Satu dokumen surat resmi dari Presiden kepada Ketua DPR serta dua lampiran lain yang terkait dengan RUU BPIP sebagai ganti RUU HIP yang menjadi polemik panjang. (Baca: Anis Matta: Konten dan dan Konteks RUU HIP Tak Bisa Dibenarkan)
Langkah ini dipandang sebagai upaya pemerintah untuk menyelamatkan diri dari bulan-bulanan publik. Pemerintah hanya akan melakukan “bunuh diri” jika tetap memaksakan diri mendukung RUU HIP usulan sejumlah fraksi DPR yang dimotori PDI Perjuangan. Apalagi beberapa ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah terang-terangan menolak RUU HIP.
”Kita tahu pada periode kedua Pak Jokowi ini masyarakat kecewa terhadap kepemimpinannya terkait misalnya revisi UU KPK, revisi UU Minerba, kenaikan iuran BPJS. Ini sebenarnya yang memicu masyarakat memendam kekecewaan mendalam. RUU HIP ini adalah ujian berikutnya pemerintahan Jokowi,” ujar pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin kepada KORAN SINDO.
Di level nasional sebenarnya sudah ada kesepakatan bahwa Pancasila merupakan rumusan final sebagai dasar negara. Maka agak aneh jika kemudian dasar negara harus diatur dalam produk hukum sekelas undang-undang. Sikap pemerintah yang tidak segera merespons RUU HIP tersebut dinilai sudah tepat.
Apalagi isu itu telah ditunggangi berbagai narasi yang bisa memecah belah bangsa seperti RUU HIP menjadi pintu masuk berkembangnya ideologi komunis, RUU HIP tidak pro-umat Islam hingga RUU HIP terlalu Soekarno-sentris. ”Kalau isu ini diikuti atas kemauan PDIP maka makin hancurlah kredibilitas pemerintahan di mata publik. Oleh karena itu DPR hari ini hancur-hancuran ketika ingin memaksakan RUU HIP itu disahkan,” kata Ujang.
Resistensi terhadap RUU HIP memang begitu tinggi. Ketakutan akan munculnya polarisasi kaum agamais di satu sisi dan kaum nasionalis di sisi lain seperti di masa lalu dengan mudah terbayang. Apalagi ada kabar bahwa RUU HIP memperbolehkan adanya pemerasan Pancasila menjadi trisila dan kemudian menjadi ekasila begitu kencang di masyarakat. (Baca juga: Januari, Warga Hong Kong Bisa Jadi Warga Negara Inggris)
"Pemerintah akan memperdalam citra buruknya di tengah masyarakat jika membiarkan kondisi ini terus terjadi. Oleh karena itu sangat wajar ketika sekarang pemerintah mengubah judul dan pasal-pasal kontroversial di dalamnya," katanya.
Kendati begitu persoalan yang harus disoroti bukan hanya mengenai pergantian judul atau pasal-pasalnya saja. Lebih penting dari itu, kata Ujang, jangan sampai pemerintah mengubah judul dan pasal-pasalnya saja, tetapi tidak mengubah isi substansinya karena hal itu akan menambah penolakan dari publik.
"Kalau mengubah judul tentu harus mengubah isinya juga. Termasuk soal trisila dan ekasila, ketuhanan yang berkebudayan juga harus hilang. Sesuai usulan saya, ubah saja menjadi UU BPIP kalau mereka berkeinginan menguatkan BPIP. Jadi tidak lagi mengutak-atik Pancasila yang sudah final. Pemerintah dan DPR jangan main-main soal Pancasila ini," kata Ujang.
Menurutnya keberadaan BPIP sebenarnya tidak harus ada landasan UU karena sudah ada perpres, tetapi pemerintah menginginkan dasar hukum berupa UU yang sifatnya lebih kuat. "Kalau perpres kan presiden ganti bisa diubah lagi," tuturnya. (Baca juga: Sadis! Hanya Gara-gara Pagar, Kakak-Beradik Tewas Dibantai Tetangganya)
Pemerintah, kata Ujang, menganggap keberadaan dan fungsi BPIP sangat penting sehingga harus dilestarikan dalam membumikan Pancasila. "Saya melihat BPIP itu kalaupun ada, jangan jadi lembaga yang melegitimasi kebenaran kekuasaan. Jangan menjadi kumpulan dari orang-orang partai tertentu juga. BPIP ini kan usulannya PDIP yang dieksekusi oleh Jokowi. Artinya oke lembaganya ada, namanya apa pun; menjaga, mengawal, dan melestarikan Pancasila. Tapi jangan sampai lembaga ini dikuasai, orang-orangnya, strukturnya partai tertentu dan menjadi alat legitimasi kekuasaan tertentu, ini yang harus kita kawal dan tidak boleh," katanya.
Sayangnya Ujang menilai sejauh ini keberadaan BPIP belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. "Masyarakat tidak merasakan kehadiran BPIP. Nggak ada. Saya ini narsum sosialisasi Empat Pilar MPR di mana-mana. BPIP ini kalau istilah agamanya, wujuduhu ka adamihi, wujudnya ada, tapi nggak bisa dirasakan. Ini harus menjadi koreksi. Jangan sampai anggarannya besar, tapi fungsinya tidak ada," katanya.
Sementara itu pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan cara berpikir dan bertindak pemerintah dalam mengajukan RUU BPIP sangat konyol. Alasannya UU BPIP diciptakan untuk memberikan legitimasi bagi BPIP agar eksis secara kelembagaan dengan fungsi sosialisasi Pancasila. Tapi pada saat yang sama pemerintah merevisi UU Minerba dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang keduanya dinilai sangat kapitalistik dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
"Di situ letak konyolnya. Anda mau bikin BPIP untuk sosialisasikan Pancasila untuk apa? Kalau mau bereskan negara ini kan mesti tertulis lewat undang-undang yang berpihak pada Pancasila. Misalnya berpihak kepada rakyat banyak. Tidak memberikan karpet merah kepada pekerja asing dan memberikan proteksi yang luar biasa kepada pekerja kita," tuturnya. (Baca juga: Siap Siaga, Badai Resesi Tidak Lama Lagi Tiba di Indonesia)
Kekonyolan kedua, kata Margarito, terletak pada prosedur hukumnya. Di saat RUU HIP masih ada di meja Badan Legislasi (Baleg) DPR dan belum dihapus dari daftar Prolegnas Prioritas 2020, tiba-tiba muncul RUU BPIP. "Ini gimana prosedurnya? RUU BIPP yang diusulkan itu barang apa itu? Kan prosedurnya nggak begitu. Kan mesti diusulkan di Baleg menjadi Prolegnas. Sekarang ini suka atau tidak RUU BPIP itu nggak bisa diapa-apakan saat ini, yang bisa diapa-apakan adalah RUU HIP karena sudah berproses. Kalau mau diganti harus dicabut dari Prolegnas. Itu konyol. Itu akal-akalan saja. Penyesatan yang murahan," tuturnya.
Sebelumnya Menko Polhukam Mahfud MD memaparkan, isi RUU BPIP ini memang merespons perkembangan masyarakat tentang ideologi Pancasila. Karena RUU ini berbicara tentang pengembangan ideologi Pancasila, TAP MPRS XXV/1966 menjadi salah satu pijakan penting dan ada di dalam RUU ini serta menjadi konsideran “menimbang” pada butir 2 setelah UUD 1945. Butir keduanya TAP MPRS Nomor XXV/1966.
Sementara itu rumusan Pancasila sama seperti apa yang dibacakan Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 lalu atau Pancasila yang sekarang tertuang di dalam pembukaan dan dipedomani selama ini tanpa ada perubahan makna. "Itu dalam satu kesatuan makna dan satu tarikan napas pemahaman," tegas Mahfud. (Lihat videonya: Viral di Media Sosial, Bocah di Bali Terjepit Kepalanya di Tiang Listrik)
Sementara itu Ketua DPR Puan Maharani menjelaskan, konsep RUU BPIP yang disampaikan pemerintah berisikan substansi yang berbeda dengan RUU HIP. Menurut Puan, RUU BPIP itu berisikan ketentuan yang ada dalam peraturan presiden (perpres) yang mengatur perihal BPIP yang akan diperkuat menjadi substansi RUU BPIP.
Konsep yang disampaikan pemerintah berisikan substansi RUU BPIP yang terdiri atas 7 bab dan 17 pasal yang berbeda dengan RUU HIP. RUU HIP berisikan 10 bab dan 60 pasal. "Substansi pasal-pasal BPIP hanya memuat ketentuan tentang tugas, fungsi, wewenang, dan struktur kelembagaan BPIP. Sementara pasal-pasal kontroversial seperti penafsiran filsafat dan sejarah Pancasila dan lain-lain sudah tidak ada lagi," katanya.
Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan, penggantian RUU HIP menjadi RUU BPIP sebenarnya preseden baru dalam proses pembentukan perundang-undangan. Sebab RUU HIP awalnya menjadi inisiatif DPR yang diserahkan ke pemerintah. “Respons pemerintah disampaikan dalam bentuk DIM, biasanya hanya mengubah pasal-pasal, tapi ini menghadirkan RUU baru,” kata Arsul. (Abdul Rochim/Kiswondari/Rico Afrido Simanjuntak)
Penolakan terhadap RUU HIP datang dari berbagai kalangan. Untuk kesekian kalinya aksi massa menolak RUU HIP terjadi di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (16/7/2020). Bahkan dalam aksi demonstrasi tersebut polisi sampai harus menutup jalanan di depan gerbang utama Gedung DPR. Dari pagi hingga petang, aksi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat untuk mendesak pencabutan RUU HIP dari Prolegnas Prioritas 2020 terjadi. Polisi bahkan terpaksa mengamankan 20 perusuh setelah sempat terjadi aksi lempar botol ke arah polisi.
Di tengah panasnya aksi menolak RUU HIP tersebut, di dalam Gedung DPR Menko Polhukam Mahfud MD menemui Ketua DPR Puan Maharani dengan membawa surpres (surat presiden). Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu datang bersama Mensesneg Pramono Anung, Menkumham Yasonna Laoly, Menpan-RB Tjahjo Kumolo, dan Mendagri Tito Karnavian. Surpres tersebut berisi tiga dokumen. Satu dokumen surat resmi dari Presiden kepada Ketua DPR serta dua lampiran lain yang terkait dengan RUU BPIP sebagai ganti RUU HIP yang menjadi polemik panjang. (Baca: Anis Matta: Konten dan dan Konteks RUU HIP Tak Bisa Dibenarkan)
Langkah ini dipandang sebagai upaya pemerintah untuk menyelamatkan diri dari bulan-bulanan publik. Pemerintah hanya akan melakukan “bunuh diri” jika tetap memaksakan diri mendukung RUU HIP usulan sejumlah fraksi DPR yang dimotori PDI Perjuangan. Apalagi beberapa ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah terang-terangan menolak RUU HIP.
”Kita tahu pada periode kedua Pak Jokowi ini masyarakat kecewa terhadap kepemimpinannya terkait misalnya revisi UU KPK, revisi UU Minerba, kenaikan iuran BPJS. Ini sebenarnya yang memicu masyarakat memendam kekecewaan mendalam. RUU HIP ini adalah ujian berikutnya pemerintahan Jokowi,” ujar pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin kepada KORAN SINDO.
Di level nasional sebenarnya sudah ada kesepakatan bahwa Pancasila merupakan rumusan final sebagai dasar negara. Maka agak aneh jika kemudian dasar negara harus diatur dalam produk hukum sekelas undang-undang. Sikap pemerintah yang tidak segera merespons RUU HIP tersebut dinilai sudah tepat.
Apalagi isu itu telah ditunggangi berbagai narasi yang bisa memecah belah bangsa seperti RUU HIP menjadi pintu masuk berkembangnya ideologi komunis, RUU HIP tidak pro-umat Islam hingga RUU HIP terlalu Soekarno-sentris. ”Kalau isu ini diikuti atas kemauan PDIP maka makin hancurlah kredibilitas pemerintahan di mata publik. Oleh karena itu DPR hari ini hancur-hancuran ketika ingin memaksakan RUU HIP itu disahkan,” kata Ujang.
Resistensi terhadap RUU HIP memang begitu tinggi. Ketakutan akan munculnya polarisasi kaum agamais di satu sisi dan kaum nasionalis di sisi lain seperti di masa lalu dengan mudah terbayang. Apalagi ada kabar bahwa RUU HIP memperbolehkan adanya pemerasan Pancasila menjadi trisila dan kemudian menjadi ekasila begitu kencang di masyarakat. (Baca juga: Januari, Warga Hong Kong Bisa Jadi Warga Negara Inggris)
"Pemerintah akan memperdalam citra buruknya di tengah masyarakat jika membiarkan kondisi ini terus terjadi. Oleh karena itu sangat wajar ketika sekarang pemerintah mengubah judul dan pasal-pasal kontroversial di dalamnya," katanya.
Kendati begitu persoalan yang harus disoroti bukan hanya mengenai pergantian judul atau pasal-pasalnya saja. Lebih penting dari itu, kata Ujang, jangan sampai pemerintah mengubah judul dan pasal-pasalnya saja, tetapi tidak mengubah isi substansinya karena hal itu akan menambah penolakan dari publik.
"Kalau mengubah judul tentu harus mengubah isinya juga. Termasuk soal trisila dan ekasila, ketuhanan yang berkebudayan juga harus hilang. Sesuai usulan saya, ubah saja menjadi UU BPIP kalau mereka berkeinginan menguatkan BPIP. Jadi tidak lagi mengutak-atik Pancasila yang sudah final. Pemerintah dan DPR jangan main-main soal Pancasila ini," kata Ujang.
Menurutnya keberadaan BPIP sebenarnya tidak harus ada landasan UU karena sudah ada perpres, tetapi pemerintah menginginkan dasar hukum berupa UU yang sifatnya lebih kuat. "Kalau perpres kan presiden ganti bisa diubah lagi," tuturnya. (Baca juga: Sadis! Hanya Gara-gara Pagar, Kakak-Beradik Tewas Dibantai Tetangganya)
Pemerintah, kata Ujang, menganggap keberadaan dan fungsi BPIP sangat penting sehingga harus dilestarikan dalam membumikan Pancasila. "Saya melihat BPIP itu kalaupun ada, jangan jadi lembaga yang melegitimasi kebenaran kekuasaan. Jangan menjadi kumpulan dari orang-orang partai tertentu juga. BPIP ini kan usulannya PDIP yang dieksekusi oleh Jokowi. Artinya oke lembaganya ada, namanya apa pun; menjaga, mengawal, dan melestarikan Pancasila. Tapi jangan sampai lembaga ini dikuasai, orang-orangnya, strukturnya partai tertentu dan menjadi alat legitimasi kekuasaan tertentu, ini yang harus kita kawal dan tidak boleh," katanya.
Sayangnya Ujang menilai sejauh ini keberadaan BPIP belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. "Masyarakat tidak merasakan kehadiran BPIP. Nggak ada. Saya ini narsum sosialisasi Empat Pilar MPR di mana-mana. BPIP ini kalau istilah agamanya, wujuduhu ka adamihi, wujudnya ada, tapi nggak bisa dirasakan. Ini harus menjadi koreksi. Jangan sampai anggarannya besar, tapi fungsinya tidak ada," katanya.
Sementara itu pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan cara berpikir dan bertindak pemerintah dalam mengajukan RUU BPIP sangat konyol. Alasannya UU BPIP diciptakan untuk memberikan legitimasi bagi BPIP agar eksis secara kelembagaan dengan fungsi sosialisasi Pancasila. Tapi pada saat yang sama pemerintah merevisi UU Minerba dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang keduanya dinilai sangat kapitalistik dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
"Di situ letak konyolnya. Anda mau bikin BPIP untuk sosialisasikan Pancasila untuk apa? Kalau mau bereskan negara ini kan mesti tertulis lewat undang-undang yang berpihak pada Pancasila. Misalnya berpihak kepada rakyat banyak. Tidak memberikan karpet merah kepada pekerja asing dan memberikan proteksi yang luar biasa kepada pekerja kita," tuturnya. (Baca juga: Siap Siaga, Badai Resesi Tidak Lama Lagi Tiba di Indonesia)
Kekonyolan kedua, kata Margarito, terletak pada prosedur hukumnya. Di saat RUU HIP masih ada di meja Badan Legislasi (Baleg) DPR dan belum dihapus dari daftar Prolegnas Prioritas 2020, tiba-tiba muncul RUU BPIP. "Ini gimana prosedurnya? RUU BIPP yang diusulkan itu barang apa itu? Kan prosedurnya nggak begitu. Kan mesti diusulkan di Baleg menjadi Prolegnas. Sekarang ini suka atau tidak RUU BPIP itu nggak bisa diapa-apakan saat ini, yang bisa diapa-apakan adalah RUU HIP karena sudah berproses. Kalau mau diganti harus dicabut dari Prolegnas. Itu konyol. Itu akal-akalan saja. Penyesatan yang murahan," tuturnya.
Sebelumnya Menko Polhukam Mahfud MD memaparkan, isi RUU BPIP ini memang merespons perkembangan masyarakat tentang ideologi Pancasila. Karena RUU ini berbicara tentang pengembangan ideologi Pancasila, TAP MPRS XXV/1966 menjadi salah satu pijakan penting dan ada di dalam RUU ini serta menjadi konsideran “menimbang” pada butir 2 setelah UUD 1945. Butir keduanya TAP MPRS Nomor XXV/1966.
Sementara itu rumusan Pancasila sama seperti apa yang dibacakan Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 lalu atau Pancasila yang sekarang tertuang di dalam pembukaan dan dipedomani selama ini tanpa ada perubahan makna. "Itu dalam satu kesatuan makna dan satu tarikan napas pemahaman," tegas Mahfud. (Lihat videonya: Viral di Media Sosial, Bocah di Bali Terjepit Kepalanya di Tiang Listrik)
Sementara itu Ketua DPR Puan Maharani menjelaskan, konsep RUU BPIP yang disampaikan pemerintah berisikan substansi yang berbeda dengan RUU HIP. Menurut Puan, RUU BPIP itu berisikan ketentuan yang ada dalam peraturan presiden (perpres) yang mengatur perihal BPIP yang akan diperkuat menjadi substansi RUU BPIP.
Konsep yang disampaikan pemerintah berisikan substansi RUU BPIP yang terdiri atas 7 bab dan 17 pasal yang berbeda dengan RUU HIP. RUU HIP berisikan 10 bab dan 60 pasal. "Substansi pasal-pasal BPIP hanya memuat ketentuan tentang tugas, fungsi, wewenang, dan struktur kelembagaan BPIP. Sementara pasal-pasal kontroversial seperti penafsiran filsafat dan sejarah Pancasila dan lain-lain sudah tidak ada lagi," katanya.
Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan, penggantian RUU HIP menjadi RUU BPIP sebenarnya preseden baru dalam proses pembentukan perundang-undangan. Sebab RUU HIP awalnya menjadi inisiatif DPR yang diserahkan ke pemerintah. “Respons pemerintah disampaikan dalam bentuk DIM, biasanya hanya mengubah pasal-pasal, tapi ini menghadirkan RUU baru,” kata Arsul. (Abdul Rochim/Kiswondari/Rico Afrido Simanjuntak)
(ysw)