Bingkisan Istimewa di Hari Anak Nasional
loading...
A
A
A
Kedua, RUU Ketahanan Keluarga harus memperkokoh kodrat kemanusiaan yang memandang perkawinan sebagai satu-satunya produk absah yang hanya bisa diciptakan oleh lelaki dan perempuan dalam ikatan suami istri. Bagi anak yang lahir sebagai produk biologis orang tua kandungnya, penekanan tersebut tampaknya tidak terlalu urgen. Tapi, untuk mencegah terjadinya proses adopsi anak oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai keluarga, namun bertentangan dengan kodrat kemanusiaan, maka pengokohan itu akan memberikan daya tangkal bagi berbagai bentuk penyimpangan adopsi yang membahayakan fisik terlebih psikologi anak.
Ketiga, masalah yang berhubungan dengan keluarga poligami. Memahami kompleksitas syarat pernikahan poligami, saya tidak sedang meng-endorse pernikahan semacam itu. Namun, menyadari bahwa pernikahan poligami merupakan realitas yang hidup di berbagai suku dan agama di nusantara, maka hal ini patut masuk dalam RUU Ketahanan Keluarga.
Spesifik terkait pernikahan dengan lebih dari satu istri, UU Perkawinan sudah memuat ketentuan memadai. Dengan kata lain, pada aspek prosedur, ihwal pernikahan poligami sudah selesai. Namun, yang tersisih dari semua UU adalah kenyataan bahwa pernikahan atau keluarga dari istri kedua (dan seterusnya) masih acap kali disikapi tidak adil oleh sebagian kalangan. Terlepas dari sikap pro maupun kontra, ketika pernikahan poligami sudah dilangsungkan dan --apalagi-- telah melahirkan anak, maka keluarga tersebut tidak boleh didiskriminasi. Anak-anak dari keluarga poligami juga harus dilindungi dari stigma tak baik yang secara semena-mena dilekatkan pada keluarga mereka.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, sungguh penting bagi RUU Ketahanan Keluarga untuk memberikan perlindungan bagi keluarga poligami termasuk anak-anak mereka. RUU Ketahanan Keluarga patut menjadi pengayom bagi keluarga poligami agar tetap bisa berfungsi normal, membahagiakan, menyejahterakan, dan menjadi tempat tumbuh kembang anak laiknya keluarga monogami.
Pada bulan Juli 2020 ini, sebuah bingkisan telah diletakkan tepat di hadapan kita. Bingkisan yang masih terikat pita. Insya Allah, selambat-lambatnya pada Hari Anak Nasional tahun depan, bingkisan indah itu sudah bisa kita nikmati bersama. Bingkisan istimewa bernama Undang-Undang Ketahanan Keluarga.
Ketiga, masalah yang berhubungan dengan keluarga poligami. Memahami kompleksitas syarat pernikahan poligami, saya tidak sedang meng-endorse pernikahan semacam itu. Namun, menyadari bahwa pernikahan poligami merupakan realitas yang hidup di berbagai suku dan agama di nusantara, maka hal ini patut masuk dalam RUU Ketahanan Keluarga.
Spesifik terkait pernikahan dengan lebih dari satu istri, UU Perkawinan sudah memuat ketentuan memadai. Dengan kata lain, pada aspek prosedur, ihwal pernikahan poligami sudah selesai. Namun, yang tersisih dari semua UU adalah kenyataan bahwa pernikahan atau keluarga dari istri kedua (dan seterusnya) masih acap kali disikapi tidak adil oleh sebagian kalangan. Terlepas dari sikap pro maupun kontra, ketika pernikahan poligami sudah dilangsungkan dan --apalagi-- telah melahirkan anak, maka keluarga tersebut tidak boleh didiskriminasi. Anak-anak dari keluarga poligami juga harus dilindungi dari stigma tak baik yang secara semena-mena dilekatkan pada keluarga mereka.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, sungguh penting bagi RUU Ketahanan Keluarga untuk memberikan perlindungan bagi keluarga poligami termasuk anak-anak mereka. RUU Ketahanan Keluarga patut menjadi pengayom bagi keluarga poligami agar tetap bisa berfungsi normal, membahagiakan, menyejahterakan, dan menjadi tempat tumbuh kembang anak laiknya keluarga monogami.
Pada bulan Juli 2020 ini, sebuah bingkisan telah diletakkan tepat di hadapan kita. Bingkisan yang masih terikat pita. Insya Allah, selambat-lambatnya pada Hari Anak Nasional tahun depan, bingkisan indah itu sudah bisa kita nikmati bersama. Bingkisan istimewa bernama Undang-Undang Ketahanan Keluarga.
(ras)