Bingkisan Istimewa di Hari Anak Nasional
loading...
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Konsultan di Lentera Anak Foundation
SEJAK tahun 2002, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak. Sejatinya, sejak berpuluh tahun sebelumnya, sudah ada serbaneka undang-undang (UU) yang juga memuat pasal-pasal tentang anak. Namun, Undang-Undang Perlindungan Anak, sebagaimana namanya, bisa disebut sebagai puncak legislasi yang memberikan tempat istimewa bagi anak-anak Indonesia.
Dalam perjalanannya, hingga kini UU Perlindungan Anak sudah dua kali mengalami revisi. Jika ditelisik, fokus revisi terhadap UU tersebut memberikan gambaran tentang kondisi anak-anak di Tanah Air yang --sayangnya-- tak begitu menyenangkan. Jadi ironis, betapapun Indonesia mempunyai UU Perlindungan Anak, namun tingkat kebahayaan yang dihadapi anak-anak Indonesia justru terus meninggi.
Tafsiran sedemikian rupa mengemuka karena revisi besar-besaran terutama dikenakan pada pasal-pasal UU Perlindungan Anak yang berurusan dengan tindak pidana terhadap anak. Jenis pidananya semakin bervariasi dan hukuman bagi pelakunya juga lebih berat. Bahkan, tanpa sama sekali menihilkan ketidakakuratan rumusan pasal di dalamnya, revisi pertama dan kedua atas UU Perlindungan Anak diperkaya dengan pemberatan sanksi, tindakan lainnya, dan rehabilitasi bagi pelaku.
Secara positif, revisi terhadap UU Perlindungan Anak yang menghasilkan UU Nomor 35/2014 dan UU Nomor 17/2016 merupakan sikap tanggap negara dalam merespons berbagai kejahatan terhadap anak. Tapi, pada saat yang sama, terpetik pemikiran bahwa respons pada titik hilir itu tidak memadai. Tidak memadai karena pada kurun yang sama tidak tersedia peraturan perundang-undangan yang setara berfokus di titik hulu.
Pelurusan Arti
Apabila diterjemahkan ke bahasa Inggris, semua kalangan menggunakan sebutan Child Protection Act sebagai padanan UU Perlindungan Anak. Itu tidak keliru, tapi di situ pula negara --disadari ataupun tidak-- terperangkap dalam pemikiran bahwa area utama perlindungan anak berada di ranah hukum pidana. Sekali lagi, faktanya adalah memang pada pasal-pasal itulah amendemen UU Perlindungan Anak dilakukan.
Penting kiranya semua pihak, terutama DPR (dan DPD) dan pemerintah, menginsafi bahwa di samping child protection sebagai perlindungan anak sesungguhnya, juga terdapat safe child guarding. Sederhananya, berbeda dengan child protection (CP) yang beroperasi "setelah kejadian", child safeguarding (CS) berfungsi "sebelum kejadian". CP berada di hilir, sedangkan CS terletak di hilir. CP menangani dan CS mencegah.
Dari rumusan tersebut bisa dipahami bahwa child protection tak bisa ditawar-tawar harus bersisian dengan child safeguarding . Tanpa terpisah secara mutlak, CP memberikan ruang terutama bagi alat-alat negara untuk melindungi anak setelah berlangsungnya kejadian yang merugikan anak. Sedangkan CS, sesuai ecological approach, menempatkan keluarga (khususnya orang tua) sebagai pihak di pusat perlindungan anak.
Narasi tentang revitalisasi peran keluarga sesungguhnya telah berkembang marak di tengah masyarakat. Suasana batiniah publik yang rindu akan kembalinya anak ke khitahnya (selaku tanggung jawab ayah dan bunda) dan pulang ke kampung halamannya --bernama keluarga-- itulah yang perlu dihayati lembaga pembuat undang-undang. Beruntung, saya bersyukur karenanya bahwa pada bulan peringatan Hari Anak Nasional tahun ini, RUU Ketahanan Keluarga masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (prolegnas).
Draf RUU Ketahanan Keluarga tentu perlu terus disempurnakan. Tapi, saya optimis, proses untuk itu tidak akan mementahkan RUU dimaksud. Beberapa catatan saya yang boleh jadi layak dibahas sebagai penguatan terhadap RUU Ketahanan Keluarga. Pertama, sinkron dengan UU Perlindungan Anak. RUU Ketahanan Keluarga sepatutnya menghapus dikotomi ayah dan ibu dalam peran pengasuhan mereka. Baik ayah maupun ibu pastinya sama-sama memiliki kekuatan yang bisa melengkapi satu sama lain. Semangat kesatuan dalam mengasuh anak itu sejatinya juga sudah dimuat pada UU Perkawinan. Nah , jangan sampai terjadi langkah mundur yang memosisikan ibu sebagai pengasuh primer dan ayah sebatas pengasuh sekunder. Rumusan pasal-pasal RUU Ketahanan Keluarga perlu meneguhkan ayah dan ibu dalam bingkai komplementer, bukan kompetitif apalagi dominansi. Kedudukan setara ayah dan ibu dengan peran khasnya yang saling melengkapi, juga akan meletakkan fondasi psikologis bagi penyelesaian pertikaian di seputar masalah kuasa asuh anak pascaperceraian kedua orang tuanya.
Kedua, RUU Ketahanan Keluarga harus memperkokoh kodrat kemanusiaan yang memandang perkawinan sebagai satu-satunya produk absah yang hanya bisa diciptakan oleh lelaki dan perempuan dalam ikatan suami istri. Bagi anak yang lahir sebagai produk biologis orang tua kandungnya, penekanan tersebut tampaknya tidak terlalu urgen. Tapi, untuk mencegah terjadinya proses adopsi anak oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai keluarga, namun bertentangan dengan kodrat kemanusiaan, maka pengokohan itu akan memberikan daya tangkal bagi berbagai bentuk penyimpangan adopsi yang membahayakan fisik terlebih psikologi anak.
Ketiga, masalah yang berhubungan dengan keluarga poligami. Memahami kompleksitas syarat pernikahan poligami, saya tidak sedang meng-endorse pernikahan semacam itu. Namun, menyadari bahwa pernikahan poligami merupakan realitas yang hidup di berbagai suku dan agama di nusantara, maka hal ini patut masuk dalam RUU Ketahanan Keluarga.
Spesifik terkait pernikahan dengan lebih dari satu istri, UU Perkawinan sudah memuat ketentuan memadai. Dengan kata lain, pada aspek prosedur, ihwal pernikahan poligami sudah selesai. Namun, yang tersisih dari semua UU adalah kenyataan bahwa pernikahan atau keluarga dari istri kedua (dan seterusnya) masih acap kali disikapi tidak adil oleh sebagian kalangan. Terlepas dari sikap pro maupun kontra, ketika pernikahan poligami sudah dilangsungkan dan --apalagi-- telah melahirkan anak, maka keluarga tersebut tidak boleh didiskriminasi. Anak-anak dari keluarga poligami juga harus dilindungi dari stigma tak baik yang secara semena-mena dilekatkan pada keluarga mereka.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, sungguh penting bagi RUU Ketahanan Keluarga untuk memberikan perlindungan bagi keluarga poligami termasuk anak-anak mereka. RUU Ketahanan Keluarga patut menjadi pengayom bagi keluarga poligami agar tetap bisa berfungsi normal, membahagiakan, menyejahterakan, dan menjadi tempat tumbuh kembang anak laiknya keluarga monogami.
Pada bulan Juli 2020 ini, sebuah bingkisan telah diletakkan tepat di hadapan kita. Bingkisan yang masih terikat pita. Insya Allah, selambat-lambatnya pada Hari Anak Nasional tahun depan, bingkisan indah itu sudah bisa kita nikmati bersama. Bingkisan istimewa bernama Undang-Undang Ketahanan Keluarga.
Konsultan di Lentera Anak Foundation
SEJAK tahun 2002, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak. Sejatinya, sejak berpuluh tahun sebelumnya, sudah ada serbaneka undang-undang (UU) yang juga memuat pasal-pasal tentang anak. Namun, Undang-Undang Perlindungan Anak, sebagaimana namanya, bisa disebut sebagai puncak legislasi yang memberikan tempat istimewa bagi anak-anak Indonesia.
Dalam perjalanannya, hingga kini UU Perlindungan Anak sudah dua kali mengalami revisi. Jika ditelisik, fokus revisi terhadap UU tersebut memberikan gambaran tentang kondisi anak-anak di Tanah Air yang --sayangnya-- tak begitu menyenangkan. Jadi ironis, betapapun Indonesia mempunyai UU Perlindungan Anak, namun tingkat kebahayaan yang dihadapi anak-anak Indonesia justru terus meninggi.
Tafsiran sedemikian rupa mengemuka karena revisi besar-besaran terutama dikenakan pada pasal-pasal UU Perlindungan Anak yang berurusan dengan tindak pidana terhadap anak. Jenis pidananya semakin bervariasi dan hukuman bagi pelakunya juga lebih berat. Bahkan, tanpa sama sekali menihilkan ketidakakuratan rumusan pasal di dalamnya, revisi pertama dan kedua atas UU Perlindungan Anak diperkaya dengan pemberatan sanksi, tindakan lainnya, dan rehabilitasi bagi pelaku.
Secara positif, revisi terhadap UU Perlindungan Anak yang menghasilkan UU Nomor 35/2014 dan UU Nomor 17/2016 merupakan sikap tanggap negara dalam merespons berbagai kejahatan terhadap anak. Tapi, pada saat yang sama, terpetik pemikiran bahwa respons pada titik hilir itu tidak memadai. Tidak memadai karena pada kurun yang sama tidak tersedia peraturan perundang-undangan yang setara berfokus di titik hulu.
Pelurusan Arti
Apabila diterjemahkan ke bahasa Inggris, semua kalangan menggunakan sebutan Child Protection Act sebagai padanan UU Perlindungan Anak. Itu tidak keliru, tapi di situ pula negara --disadari ataupun tidak-- terperangkap dalam pemikiran bahwa area utama perlindungan anak berada di ranah hukum pidana. Sekali lagi, faktanya adalah memang pada pasal-pasal itulah amendemen UU Perlindungan Anak dilakukan.
Penting kiranya semua pihak, terutama DPR (dan DPD) dan pemerintah, menginsafi bahwa di samping child protection sebagai perlindungan anak sesungguhnya, juga terdapat safe child guarding. Sederhananya, berbeda dengan child protection (CP) yang beroperasi "setelah kejadian", child safeguarding (CS) berfungsi "sebelum kejadian". CP berada di hilir, sedangkan CS terletak di hilir. CP menangani dan CS mencegah.
Dari rumusan tersebut bisa dipahami bahwa child protection tak bisa ditawar-tawar harus bersisian dengan child safeguarding . Tanpa terpisah secara mutlak, CP memberikan ruang terutama bagi alat-alat negara untuk melindungi anak setelah berlangsungnya kejadian yang merugikan anak. Sedangkan CS, sesuai ecological approach, menempatkan keluarga (khususnya orang tua) sebagai pihak di pusat perlindungan anak.
Narasi tentang revitalisasi peran keluarga sesungguhnya telah berkembang marak di tengah masyarakat. Suasana batiniah publik yang rindu akan kembalinya anak ke khitahnya (selaku tanggung jawab ayah dan bunda) dan pulang ke kampung halamannya --bernama keluarga-- itulah yang perlu dihayati lembaga pembuat undang-undang. Beruntung, saya bersyukur karenanya bahwa pada bulan peringatan Hari Anak Nasional tahun ini, RUU Ketahanan Keluarga masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (prolegnas).
Draf RUU Ketahanan Keluarga tentu perlu terus disempurnakan. Tapi, saya optimis, proses untuk itu tidak akan mementahkan RUU dimaksud. Beberapa catatan saya yang boleh jadi layak dibahas sebagai penguatan terhadap RUU Ketahanan Keluarga. Pertama, sinkron dengan UU Perlindungan Anak. RUU Ketahanan Keluarga sepatutnya menghapus dikotomi ayah dan ibu dalam peran pengasuhan mereka. Baik ayah maupun ibu pastinya sama-sama memiliki kekuatan yang bisa melengkapi satu sama lain. Semangat kesatuan dalam mengasuh anak itu sejatinya juga sudah dimuat pada UU Perkawinan. Nah , jangan sampai terjadi langkah mundur yang memosisikan ibu sebagai pengasuh primer dan ayah sebatas pengasuh sekunder. Rumusan pasal-pasal RUU Ketahanan Keluarga perlu meneguhkan ayah dan ibu dalam bingkai komplementer, bukan kompetitif apalagi dominansi. Kedudukan setara ayah dan ibu dengan peran khasnya yang saling melengkapi, juga akan meletakkan fondasi psikologis bagi penyelesaian pertikaian di seputar masalah kuasa asuh anak pascaperceraian kedua orang tuanya.
Kedua, RUU Ketahanan Keluarga harus memperkokoh kodrat kemanusiaan yang memandang perkawinan sebagai satu-satunya produk absah yang hanya bisa diciptakan oleh lelaki dan perempuan dalam ikatan suami istri. Bagi anak yang lahir sebagai produk biologis orang tua kandungnya, penekanan tersebut tampaknya tidak terlalu urgen. Tapi, untuk mencegah terjadinya proses adopsi anak oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai keluarga, namun bertentangan dengan kodrat kemanusiaan, maka pengokohan itu akan memberikan daya tangkal bagi berbagai bentuk penyimpangan adopsi yang membahayakan fisik terlebih psikologi anak.
Ketiga, masalah yang berhubungan dengan keluarga poligami. Memahami kompleksitas syarat pernikahan poligami, saya tidak sedang meng-endorse pernikahan semacam itu. Namun, menyadari bahwa pernikahan poligami merupakan realitas yang hidup di berbagai suku dan agama di nusantara, maka hal ini patut masuk dalam RUU Ketahanan Keluarga.
Spesifik terkait pernikahan dengan lebih dari satu istri, UU Perkawinan sudah memuat ketentuan memadai. Dengan kata lain, pada aspek prosedur, ihwal pernikahan poligami sudah selesai. Namun, yang tersisih dari semua UU adalah kenyataan bahwa pernikahan atau keluarga dari istri kedua (dan seterusnya) masih acap kali disikapi tidak adil oleh sebagian kalangan. Terlepas dari sikap pro maupun kontra, ketika pernikahan poligami sudah dilangsungkan dan --apalagi-- telah melahirkan anak, maka keluarga tersebut tidak boleh didiskriminasi. Anak-anak dari keluarga poligami juga harus dilindungi dari stigma tak baik yang secara semena-mena dilekatkan pada keluarga mereka.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, sungguh penting bagi RUU Ketahanan Keluarga untuk memberikan perlindungan bagi keluarga poligami termasuk anak-anak mereka. RUU Ketahanan Keluarga patut menjadi pengayom bagi keluarga poligami agar tetap bisa berfungsi normal, membahagiakan, menyejahterakan, dan menjadi tempat tumbuh kembang anak laiknya keluarga monogami.
Pada bulan Juli 2020 ini, sebuah bingkisan telah diletakkan tepat di hadapan kita. Bingkisan yang masih terikat pita. Insya Allah, selambat-lambatnya pada Hari Anak Nasional tahun depan, bingkisan indah itu sudah bisa kita nikmati bersama. Bingkisan istimewa bernama Undang-Undang Ketahanan Keluarga.
(ras)