Beras, Terigu, dan Salah Kaprah Diversifikasi

Senin, 15 Mei 2023 - 23:01 WIB
loading...
Beras, Terigu, dan Salah...
Khudori - Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Foto/Dok Pribadi
A A A
Khudori
Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Konsumsi mi instan kini menembus lebih 121 miliar bungkus per tahun. China menduduki posisi pertama dengan 45,07 miliar bungkus/tahun, disusul Indonesia (12,26 miliar bungkus/tahun) dan Vietnam (8,48 miliar bungkus/tahun) di posisi kedua dan tiga. Sepertinya tidak ada makanan lain di luar terigu yang demikian jawara seperti mi instan.

Terigu, yang diolah dari gandum, adalah makanan pokok warga dunia. Posisinya jauh lebih penting ketimbang kedelai, kentang, dan jagung. Posisi strategis gandum hanya kalah oleh beras, pangan pokok separuh warga dunia. Meskipun di Indonesia tidak ada petani gandum, dari waktu ke waktu konsumsi terigu terus naik. Pada 2002 impor biji gandum masih 4 juta ton, meledak menjadi 11,69 juta ton pada 2021 senilai Rp54 triliun. Impor naik hampir dua kali lipat dalam dua dasawarsa.

Tak sedikit devisa melayang.Terigu sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk roti, aneka kue, jajanan, dan mi instan. Saat ini Indonesia jadi negara importir gandum ketiga terbesar di dunia setelah Mesir dan Turki. Konsumsi terigu warga saat ini mencapai 17,1 kg/kapita/tahun. Terigu menempati posisi kedua dalam menu diet warga, jauh meninggalkan aneka pangan lokal.

Sejak diintroduksi pada 1970-an, hanya dalam 30 tahun tingkat konsumsi terigu naik 500%.Penetrasi ini tak lepas dari keberhasilan para pelaku usaha merekayasa aneka pangan asal terigu jadi pangan murah, mudah didapat, dan sesuai selera lidah Indonesia.
Keberhasilan terigu yang mencengangkan tak lepas dari kebijakan era Orde Baru. Saat itu harga terigu dibanting 50% lebih rendah dari harga internasional.

Semula, beleid ini dimaksudkan untuk menstabilkan harga pangan dan meredam inflasi. Pijakan dasarnya adalah untuk menghindari ketergantungan yang besar pada impor beras yang harganya tidak stabil, volumenya tipis (thin market), diekspor setelah kebutuhan dalam negeri terpenuh (residual market), dan pasarnya mendekati oligopoli (imperfect market). Sayang kebijakan insidentil itu tak pernah dievaluasi, bahkan berlanjut terus hingga kini.

Ironisnya, masyarakat Barat kini mulai melihat terigu yang dikonsumsi dalam pelbagi jenis makanan itu sebagai ancaman kesehatan mereka. Ancaman gandum bukan hanya sebatas kesehatan jasmani, tapi juga mengancam kesehatan mental (Bressan and Kramer, 2016). Ini bertolak belakang dengan yang terjadi di Indonesia: gandum dinilai sebagai pangan yang superior. Tanpa disadari, kebijakan insidentil introduksi gandum sebagai substitusi (sementara) beras menciptakan aneka persoalan serius bagi kita sendiri.

Pertama, beras dan terigu tersubstitusi erat dengan elastisitas silang 0,6 (Amang dan Sawit, 2001). Dalam alam pikiran konsumen Indonesia beras berstatus komoditas inferior. Tiap peningkatan 1% pendapatan warga diikuti kenaikan pengeluaran konsumsi terigu di kisaran 0,44-0,84% (Fabiosa, 2006). Ini mempercepat pergeseran konsumsi beras ke terigu. Ketika konsumen Indonesia menyantap roti akan diikuti jatuhnya korban petani padi.Para petani ini tertekan hidupnya akibat komoditas beras telah jadi inferior.

Kedua, moncernya status terigu di mata konsumen Indonesia yang tecermin dari impor yang besar akan diikuti hilangnya kesempatan ekonomi di dalam negeri berupa kehilangan devisa untuk impor gandum. Ketiga, bersamaan dengan impor gandum itu, konsumen Indonesia ikut mengimpor risiko kesehatan jasmani dan kesehatan mental bangsa.

Yang mengejutkan, karena mudah didapat dan harganya murah, perubahan pola konsumsi warga ke terigu, terutama yang berpenghasilan rendah, demikian cepat. Ini hanya terjadi di Indonesia, tidak di negara Asia lain. Ini baik dari sisi diversifikasi. Tapi ini diversifikasi salah kaprah. Karena bergeser ke pangan impor, bukan pangan lokal.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1589 seconds (0.1#10.140)