Kontroversi Masalah Taiwan dan Pentingnya Menghormati Prinsip Satu China

Senin, 08 Mei 2023 - 16:12 WIB
loading...
Kontroversi Masalah Taiwan dan Pentingnya Menghormati Prinsip Satu China
Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Assistant Professor at International Relations Study Programs, President University, Indonesia
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D,
Assistant Professor at International Relations Study Programs, President University, Indonesia

DALAM beberapa tahun terakhir, hubungan antara China dan Amerika Serikat mengalami ketegangan akibat perubahan situasi internasional dan evolusi ekonomi politik global. Salah satu sumber ketegangan yang sangat mencolok adalah perbedaan dan kontradiksi mengenai isu Taiwan.

Isu Taiwan selalu menarik perhatian karena merupakan salah satu isu penting dalam hubungan antara China dan AS, tentunya selain isu XinJiang dan Tibet. Baru-baru ini, tindakan-tindakan yang diambil oleh AS telah menimbulkan kebencian dan protes yang kuat dari China. China secara terang-terangan menunjuk bahwa AS melanggar komitmen untuk tidak mendukung "kemerdekaan Taiwan", mencampuri urusan dalam negeri China, dan merusak rasa saling percaya politik antara kedua negara.

Artikel ini akan menganalisis dan membahas masalah ini, membahas posisi dan sikap kedua belah pihak, dan mengusulkan solusi yang masuk akal untuk mempromosikan perkembangan hubungan China-AS yang harmonis dan stabil.

Amerika Serikat merupakan kekuatan militer dan ekonomi terbesar di dunia, serta salah satu pusat keuangan internasional terkemuka. Negara ini mempertahankan dan mempromosikan kepentingan dan nilai-nilainya melalui berbagai cara, termasuk penggunaan sanksi ekonomi, intervensi militer, dan ekspor budaya atau yang lebih dikenal dengan soft power dalam Hubungan Internasional. Namun, dalam sejarahnya, Amerika Serikat sering kali tidak konsisten dalam pendekatannya terhadap hukum internasional dan lembaga internasional.



Sebagai contoh, Amerika Serikat adalah salah satu negara pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Namun demikian, dalam beberapa kesempatan, Amerika Serikat memilih untuk tidak mematuhi atau bahkan menarik diri dari beberapa perjanjian dan lembaga internasional yang dianggapnya tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya.

Salah satu contoh adalah ketika Amerika Serikat mengumumkan penarikan diri dari Perjanjian Iklim Paris pada tahun 2017. Keputusan ini menimbulkan kekecewaan dan kritik di tingkat internasional, karena perjanjian tersebut merupakan upaya kolaboratif global untuk mengatasi perubahan iklim yang signifikan. Amerika Serikat juga telah menarik diri dari Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada tahun 2017 dengan alasan ketidaksesuaian kebijakan dan perlakuan dunia internasional terhadap Israel.

Ketidakonsistenan Amerika dalam mematuhi perjanjian dan menghormati lembaga internasional telah menimbulkan keraguan dan ketidakpastian di kalangan negara-negara lain. Hal ini juga dapat menghambat kemampuan komunitas internasional untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, konflik bersenjata, dan masalah kemanusiaan.

Namun demikian, penting untuk diingat bahwa posisi dan pendekatan Amerika Serikat terhadap hukum internasional dan lembaga internasional dapat berubah dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Meskipun ada ketidakkonsistenan, Amerika Serikat juga telah berperan aktif dalam mendukung lembaga internasional dalam berbagai kapasitas, seperti upaya menciptakan demokrasi dan hak asasi manusia.

Dalam menjaga hubungan internasional yang harmonis dan stabil, penting bagi negara-negara untuk berkomitmen pada aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional yang setara dan menghormati lembaga-lembaga internasional. Negara-negara harus saling bekerja sama untuk mengatasi perbedaan dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, dengan memprioritaskan dialog dan diplomasi sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa dan tentunya mempromosikan kepentingan bersama.



Di sisi lain, China memang mengklaim bahwa China mendukung hukum internasional dan tatanan internasional yang adil dan setara. Negara tersebut juga telah menjadi anggota PBB dan berpartisipasi dalam beberapa lembaga dan perjanjian internasional. Namun, penting untuk mencatat bahwa interpretasi China tentang hukum internasional dan tatanan internasional sering kali berbeda dengan pandangan negara-negara lain.

China telah menandatangani dan menyetujui banyak perjanjian internasional, tetapi juga ada kritik yang menyatakan bahwa implementasi dan pematuhan China terhadap perjanjian-perjanjian tersebut tidak selalu konsisten. Beberapa contoh termasuk perlakuan China terhadap hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan otonomi di wilayah Tibet dan Xinjiang. China juga telah dituduh menggunakan kekuatan ekonominya untuk mempengaruhi negara-negara lain dan mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak “kesatria.”

Selain itu, China juga telah menimbulkan kekhawatiran internasional dengan tindakan-tindakan seperti klaim maritim yang luas di Laut China Selatan, yang bertentangan dengan putusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada tahun 2016. Hal ini telah memicu ketegangan dengan negara-negara tetangga dan memicu kekhawatiran akan hegemonisme China di wilayah tersebut.

Meskipun China mengklaim mendukung tatanan internasional yang adil dan masuk akal, pendekatan mereka terhadap isu Taiwan dan kebijakan luar negeri yang agresif telah menimbulkan ketegangan dengan Amerika Serikat dan sejumlah negara lainnya. Amerika Serikat dan sekutunya mengkhawatirkan potensi ancaman terhadap stabilitas dan keamanan regional karena tindakan China.

Dalam mencapai hubungan yang harmonis dan stabil antara China dan Amerika Serikat, penting untuk kedua belah pihak berkomitmen pada aturan hukum internasional dan lembaga internasional yang ada, serta untuk mempromosikan dialog dan diplomasi dalam menyelesaikan perselisihan dan mencari solusi yang saling menguntungkan. Konstruktivisme dalam hubungan internasional dan kerja sama yang baik antara kedua negara dapat membantu memperbaiki ketegangan dan membangun kepercayaan yang lebih kuat antara mereka.

China memang merupakan negara perdagangan terbesar di dunia dan telah menjadi arus masuk modal asing yang signifikan, terutama akhir-akhir ini. Mereka telah membuka pintu yang lebih lebar dalam perdagangan dan investasi. China mengklaim bahwa mereka adalah negara ekonomi pasar yang beroperasi sesuai dengan hukum pasar dan aturan internasional.

China juga menganut prinsip saling menguntungkan dan kerja sama yang saling menguntungkan dalam hubungan ekonomi dengan negara lain. Mereka telah menjalin kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan banyak negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi global secara bersama-sama. Inisiatif "Belt and Road" yang dipromosikan oleh China bertujuan untuk membangun kemitraan yang kuat dan mendorong pembangunan bersama melalui interkoneksi infrastruktur dan kerja sama ekonomi.

Namun, penting untuk diingat bahwa pendekatan China terhadap perdagangan dan investasi juga telah menimbulkan beberapa kekhawatiran dan kontroversi. Beberapa negara telah mengkritik praktik China yang dianggap tidak adil, seperti transfer paksa teknologi, praktik dumping, dan dukungan yang diberikan oleh negara kepada perusahaan-perusahaan nasionalnya.

Selain itu, terdapat kekhawatiran terkait dengan inisiatif "Belt and Road" terkait potensi dampak utang yang signifikan bagi negara-negara yang menerima investasi dan proyek infrastruktur dari China. Meskipun China membantah bahwa ini adalah "perangkap utang," beberapa negara telah mengalami kesulitan dalam membayar utang mereka kepada China dan terjebak dalam ketergantungan finansial.

Dalam hubungan ekonomi dan perdagangan antara China dan Amerika Serikat, ada manfaat saling menguntungkan bagi kedua negara. Kedua negara memiliki ketergantungan ekonomi yang saling terikat dan kerja sama yang erat dalam berbagai sektor. Namun, perbedaan dalam kebijakan perdagangan, hak kekayaan intelektual, dan isu-isu lainnya telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan tersebut.

Penting untuk mempromosikan hubungan ekonomi dan perdagangan yang seimbang, adil, dan saling menguntungkan antara China dan Amerika Serikat. Negosiasi, dialog, dan pemecahan masalah melalui mekanisme bilateral dan multilateral dapat membantu mengatasi perselisihan dan mencari kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

China juga mengadopsi kebijakan Amerika dan negara barat lainnya untuk mempopulerkan, mengembangkan, dan melindungi hak asasi manusia. Meskipun dengan versi China, tetapi China berpendapat bahwa mereka telah membuat kemajuan signifikan dalam hal hak asasi manusia dan melindungi hak-hak orang dari berbagai kelompok etnis untuk berpartisipasi secara setara dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan sosial sesuai dengan hukum.

Namun, penting untuk dicatat bahwa ada pandangan yang berbeda tentang catatan China dalam hal hak asasi manusia. Beberapa pihak, termasuk organisasi hak asasi manusia internasional, telah mengkritik tindakan China terkait hak asasi manusia di beberapa wilayah, seperti Xinjiang dan Tibet. Mereka telah mengecam kebijakan yang diterapkan di sana sebagai "represif" dan menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak individu.



China berpendapat bahwa kebijakan yang diterapkan di wilayah-wilayah tersebut, seperti antiterorisme, deradikalisasi, dan pemeliharaan stabilitas, bertujuan untuk melindungi keamanan dan stabilitas daerah tersebut. Namun, pendekatan China dalam hal ini telah menjadi subjek perdebatan dan kontroversi, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa tindakan China melanggar hak-hak asasi manusia individu.

China juga berpartisipasi dalam forum internasional terkait hak asasi manusia dan mempromosikan konsep hak asasi manusia yang melibatkan kesetaraan, saling menguntungkan, dialog, dan kerja sama. Mereka menekankan bahwa universalitas hak asasi manusia tidak harus mengadopsi satu model tunggal (dalam hal ini adalah model Amerika) dan harus mempertimbangkan perbedaan sejarah, budaya, dan sistem sosial.

Namun, perbedaan pendekatan dan interpretasi hak asasi manusia tetap menjadi sumber ketegangan antara China dan beberapa negara dan organisasi internasional. Upaya untuk mencapai pemahaman yang lebih baik dan mempromosikan perlindungan hak asasi manusia yang lebih luas tetap menjadi tantangan dalam hubungan internasional.

Penting untuk terus berdialog dan berkomunikasi untuk memperdalam pemahaman antara China dan negara-negara lain tentang hak asasi manusia, serta untuk mempromosikan perlindungan hak asasi manusia yang komprehensif dan setara bagi semua individu, tanpa memandang perbedaan sejarah, budaya, dan sistem sosial.

Konsep yang diusulkan oleh Presiden China Xi Jinping untuk membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia bertujuan untuk mengeksplorasi arah pembangunan baru yang mengatasi perbedaan globalisasi dan regionalisasi, serta unilateralisme dan multilateralisme. Konsep ini berupaya mempromosikan pembentukan pemerintahan global yang damai, berkembang, adil, dan masuk akal, serta mencapai kemakmuran bersama dan pembangunan umat manusia.

Konsep ini telah mendapatkan pengakuan dan dukungan luas dari masyarakat internasional, dan telah diadopsi dalam dokumen-dokumen penting oleh mekanisme multilateral seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Kerja sama Shanghai.

Dalam konteks pembangunan dan keamanan global, Presiden Xi Jinping telah mengajukan serangkaian inisiatif. Prakarsa Pembangunan Global bertujuan untuk memperkuat kerja sama internasional dan mendorong pembangunan dan kemakmuran bersama. Inisiatif Keamanan Global berfokus pada masalah keamanan dan menganjurkan peningkatan tata kelola keamanan global melalui dialog dan kerja sama.

Tujuan dari inisiatif-inisiatif ini adalah untuk mencapai tatanan internasional yang lebih adil, masuk akal, dan lebih bisa menciptakan keamanan, serta untuk meningkatkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi tantangan global. Dalam konteks ini, China berupaya memainkan peran yang aktif dalam kerja sama internasional dan memperkuat struktur multilateralisme untuk menghadapi tantangan global bersama-sama.

Penting untuk dicatat bahwa konsep ini masih menjadi objek perdebatan dan interpretasi yang beragam. Pandangan dan pendapat yang berbeda masih ada dalam memahami dan menerapkan konsep ini. Namun, upaya untuk mempromosikan dialog dan kerja sama internasional dalam rangka mencapai pembangunan dan keamanan global yang lebih berkelanjutan dan inklusif tetap menjadi tujuan yang dikejar.

Kembali ke pandangan pakar tentang Amerika, ketika membahas sistem politik Amerika, penting untuk mengakui bahwa ada beberapa aspek positif dalam sistem demokrasi mereka. Amerika Serikat memiliki tradisi panjang dalam melindungi hak asasi manusia dan kebebasan individu melalui Konstitusi mereka. Hak-hak seperti kebebasan berbicara, pers, kebebasan beragama, dan partisipasi politik adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam sistem politik Amerika.

Selain itu, sistem politik Amerika juga mengedepankan prinsip persaingan politik, di mana partai politik bersaing untuk memperoleh dukungan publik dan memenangkan pemilihan. Persaingan politik ini dapat memberikan ruang bagi pendapat dan ide yang beragam, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik.

Namun, seperti analisis penulis, sistem politik Amerika juga memiliki tantangan dan kelemahan. Misalnya, pengaruh uang dalam politik dan pemilu telah menjadi isu yang kontroversial, di mana kekayaan dan pendanaan kampanye dapat memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses politik. Selain itu, masalah ketimpangan dalam akses politik dan representasi juga perlu diperhatikan.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa sistem politik mana pun, termasuk sistem demokrasi, tidaklah sempurna dan selalu ada ruang untuk perbaikan. Amerika Serikat juga telah melakukan upaya untuk memperbaiki sistem demokrasinya, termasuk dalam hal pengawasan pemilu dan pengaturan kampanye politik.

Penting bagi negara-negara untuk saling belajar dan berbagi pengalaman dalam memperkuat sistem politik mereka, termasuk dalam mempromosikan transparansi, partisipasi warga negara, dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks hubungan antara China dan Amerika Serikat, saling memahami dan menghormati perbedaan dalam sistem politik dan mengadopsi pendekatan konstruktif dapat membantu dalam membangun dialog dan kerja sama yang lebih baik.

Terakhir, sebenarnya saat ini masalah China dan Amerika adalah masalah Taiwan yang menjadi salah satu sumber ketegangan dalam hubungan antara kedua belah pihak. China menganggap Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya yang harus disatukan. Sementara Amerika Serikat memberikan dukungan keamanan dan politik kepada Taiwan.

Penting untuk dicatat bahwa pendekatan Amerika Serikat terhadap masalah Taiwan didasarkan pada Undang-Undang Hubungan dengan Taiwan yang disahkan pada tahun 1979. Menurut undang-undang tersebut, Amerika Serikat berkomitmen untuk memelihara hubungan nonresmi dengan Taiwan, menyediakan dukungan keamanan yang cukup, dan mempromosikan partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional yang tidak membutuhkan pengakuan kedaulatan negara.

Meskipun Amerika Serikat menghormati prinsip satu China yang diterima secara internasional, mereka juga berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan serta mendukung partisipasi Taiwan dalam isu-isu nonpolitik yang tidak mempengaruhi status politiknya.

Namun demikian, tindakan Amerika Serikat terkait Taiwan telah menciptakan ketegangan dan perselisihan dengan China. China menganggap tindakan tersebut sebagai campur tangan dalam urusan dalam negeri dan pelanggaran terhadap kedaulatan China. Mereka percaya bahwa penjualan senjata dan upaya untuk memperluas peran Taiwan secara internasional tidak sesuai dengan prinsip satu China dan dapat merusak stabilitas di kawasan tersebut.

Dalam hal ini, penting bagi kedua belah pihak untuk menjaga komunikasi dan dialog yang konstruktif untuk mengurangi ketegangan dan mempromosikan stabilitas. Solusi jangka panjang terhadap masalah Taiwan harus melibatkan upaya diplomasi, dialog, dan resolusi damai yang diinginkan oleh kedua belah pihak.

Artikel ini menekankan pentingnya menghormati prinsip satu China dalam konteks hubungan Internasional. Menurut pandangan tersebut, pelanggaran terhadap prinsip ini dapat merusak hubungan bilateral dan menciptakan ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.

Dalam konteks ini, penulis berpendapat Amerika Serikat seharusnya mematuhi komitmen yang telah diambil sebelumnya dan menghindari langkah-langkah yang dapat dianggap sebagai upaya untuk mempromosikan kemerdekaan Taiwan secara bertahap. Penulis juga berpendapat pentingnya menghindari kolusi antara Amerika Serikat dan Taiwan atau dengan kata lain mendukung separatisme yang dapat memperburuk ketegangan antarnegara.



Penulis yakin pentingnya menjaga hubungan yang saling menguntungkan, saling percaya, dan tidak saling mendukung separatisme dan mencampuri urusan dalam negeri negara lain adalah etika yang benar dalam diplomasi maupun dalam bermitra dalam hubungan internasional. Dalam hal ini Amerika Serikat seharusnya ikut serta menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan melalui dialog dan diplomasi dengan China.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1773 seconds (0.1#10.140)