Gaung Kehumasan di Podcast
loading...
A
A
A
Lizzatul Farhatiningsih
Pranata Humas Ahli Pertama Kementerian Perdagangan
Dewan Pengurus Pusat Iprahumas Indonesia
SAAT ini sudah banyak kita temui podcast tentang kehumasan yang mengudara di berbagai aplikasi. Baik organisasi, lembaga, perseorangan, berlomba-lomba untuk menuangkan pemikirannya melalui audio dengan podcast. Beberapa di antaranya yaitu The Public Relations Podcast, Public Relations Review, Podcast PR Talks, Ngopi (Ngobrol PR), dan masih banyak lagi. Fenomena ini cukup unik, mengingat seorang public relations (PR) atau humas biasanya lebih banyak tampil secara visual dalam menjalin relasi.
Berbicara tentang podcast, kita akan lebih fokus pada audio. Audio adalah media yang kuat dengan resonansi afektif, sehingga membuat kita dapat menangkap sebuah narasi pribadi yang intim. Audio juga membuat kita sebagai pendengar bebas untuk menilai pembicara atau narasumber (McHugh, 2014).
Menurut Street (2014), sifat audio yang halus menimbulkan “partnership” antara imajinasi dan ingatan yang memungkinkan pendengar sebagai individu merespons secara pribadi yang melibatkan pemikiran dan hati. Hal tersebut didukung Psikolog Stanford University, Anne Fernald (2007) yang mengatakan, bahwa suara adalah sentuhan di kejauhan.
Ketika kita akan berbicara atau menyampaikan suatu pesan melalui audio, kita membutuhkan keterampilan jurnalistik, teknis, dan kreatif. Hal itu ditekankan oleh McHug (2014) yang kemudian menyebut cerita dalam bentuk audio sebagai audio storytelling. Melalui audio kita dapat memanfaatkan sifat universal emosi dan kekuatan afektif untuk menyampaikan emosi yang terkandung dalam cerita audio.
Audio storytelling kemudian digunakan untuk melakukan edukasi di dunia pendidikan melalui kemunculan podcast pada 2005. Podcasting menjadi metode produksi yang murah dengan pengarsipan audio global yang terus berkembang.
Podcast menawarkan banyak kemudahan terlebih dalam hal audio, kita sebagai penikmat hanya tinggal mengunduh apa yang kita butuhkan melalui gadget yang kita punya. Namun, saat ini poadcast dapat langsung didengar melalui banyak aplikasi yang tersedia dan terhubung dengan smartphone kita seperti Spotify.
PR saat ini berfokus pada lima variabel umum: kepercayaan, kredibilitas, hubungan, reputasi, dan kepercayaan (Stacks, 2017). Arthur W. Page menambahkan, persepsi publik terhadap sebuah organisasi ditentukan dari apa yang dilakukannya dan dari apa yang dikatakannya. Peran PR semakin luas dan cara yang ditempuh pun semakin beragam. PR akan selalu dihadapkan pada kegiatan yang melibatkan lingkungan internal dan eksternal.
Podcast dapat menciptakan beberapa peluang untuk membuat suatu jenis pekerjaan menjadi lebih humanis untuk dikonsumsi oleh publik, khususnya jenis-jenis pekerjaan yang terkait dengan pelayanan masyarakat (akademik maupun non akademik) (Kinkaid, Brain, dan Senanayake, 2019).
Pertama, karena podcast sering mengambil bentuk kolaboratif. Podcast dapat dibuat melalui metode partisipatif dengan mengundang narasumber yang ahli di bidangnya. Dengan demikian, informasi dan pengetahuan dapat bermanfaat bagi para pendengar dengan beragam profesi.
Bagi praktisi PR, cara ini merupakan cara praktis untuk mengenalkan dan menjelaskan kegiatan kehumasan yang dilakukan sehari-hari. Para praktisi dapat mengundang narasumber seprofesi sebagai pembicara dan saling berbagi pengalaman selama menjadi PR. Hal itu akan membuat informasi dan pengetahuan tentang PR dapat diketahui oleh bahkan orang-orang di luar profesi PR.
Kedua, podcast umumnya menggunakan bahasa informal atau sehari-hari, sehingga dapat menjadi konten yang menarik bagi khalayak luas. Selain itu, beragam suara yang sertakan di dalam konten misalnya interlude dan backsound juga dapat meningkatkan daya tarik para pendengar.
Podcast menyediakan music-musik yang dapat memperindah konten, sehingga para praktisi PR dapat menggunakannya untuk menarik pendengar. Meskipun konten yang diangkat cukup padat, tetapi dengan musik, diharapkan dapat membuat para pendengar lebih rileks dalam menerima informasi.
Ketiga, podcast dapat diedarkan dan dibagikan melalui berbagai platform. Bahkan banyak di antaranya merupakan platform tidak berbayar atau gratis, termasuk aplikasi smartphone dan media sosial. Hal itu kemudian dapat memiliki dampak sosial ketika siapa pun dapat mengadopsi ilmu yang didapat melalui siaran podcast untuk diaplikasikan di kehidupannya sehari-hari.
Topik terkait kehumasan yang dibahas melalui podcast diharapkan dapat menginspirasi bagi orang lain. Siapa pun dapat menyerapnya menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang dapat diamalkan dan diterapkan karena mudah diakses kapan pun dan di mana pun.
Semakin banyaknya podcast kehumasan yang dibuat oleh institusi, lembaga, atau bahkan perseorangan saat ini membuktikan bahwa podcast bisa menjadi metode baru untuk mengenalkan, membahas lebih dalam, dan menilik sisi lain dari kegiatan kehumasan dan para praktisi humas.
Pranata Humas Ahli Pertama Kementerian Perdagangan
Dewan Pengurus Pusat Iprahumas Indonesia
SAAT ini sudah banyak kita temui podcast tentang kehumasan yang mengudara di berbagai aplikasi. Baik organisasi, lembaga, perseorangan, berlomba-lomba untuk menuangkan pemikirannya melalui audio dengan podcast. Beberapa di antaranya yaitu The Public Relations Podcast, Public Relations Review, Podcast PR Talks, Ngopi (Ngobrol PR), dan masih banyak lagi. Fenomena ini cukup unik, mengingat seorang public relations (PR) atau humas biasanya lebih banyak tampil secara visual dalam menjalin relasi.
Berbicara tentang podcast, kita akan lebih fokus pada audio. Audio adalah media yang kuat dengan resonansi afektif, sehingga membuat kita dapat menangkap sebuah narasi pribadi yang intim. Audio juga membuat kita sebagai pendengar bebas untuk menilai pembicara atau narasumber (McHugh, 2014).
Menurut Street (2014), sifat audio yang halus menimbulkan “partnership” antara imajinasi dan ingatan yang memungkinkan pendengar sebagai individu merespons secara pribadi yang melibatkan pemikiran dan hati. Hal tersebut didukung Psikolog Stanford University, Anne Fernald (2007) yang mengatakan, bahwa suara adalah sentuhan di kejauhan.
Ketika kita akan berbicara atau menyampaikan suatu pesan melalui audio, kita membutuhkan keterampilan jurnalistik, teknis, dan kreatif. Hal itu ditekankan oleh McHug (2014) yang kemudian menyebut cerita dalam bentuk audio sebagai audio storytelling. Melalui audio kita dapat memanfaatkan sifat universal emosi dan kekuatan afektif untuk menyampaikan emosi yang terkandung dalam cerita audio.
Audio storytelling kemudian digunakan untuk melakukan edukasi di dunia pendidikan melalui kemunculan podcast pada 2005. Podcasting menjadi metode produksi yang murah dengan pengarsipan audio global yang terus berkembang.
Podcast menawarkan banyak kemudahan terlebih dalam hal audio, kita sebagai penikmat hanya tinggal mengunduh apa yang kita butuhkan melalui gadget yang kita punya. Namun, saat ini poadcast dapat langsung didengar melalui banyak aplikasi yang tersedia dan terhubung dengan smartphone kita seperti Spotify.
PR saat ini berfokus pada lima variabel umum: kepercayaan, kredibilitas, hubungan, reputasi, dan kepercayaan (Stacks, 2017). Arthur W. Page menambahkan, persepsi publik terhadap sebuah organisasi ditentukan dari apa yang dilakukannya dan dari apa yang dikatakannya. Peran PR semakin luas dan cara yang ditempuh pun semakin beragam. PR akan selalu dihadapkan pada kegiatan yang melibatkan lingkungan internal dan eksternal.
Podcast dapat menciptakan beberapa peluang untuk membuat suatu jenis pekerjaan menjadi lebih humanis untuk dikonsumsi oleh publik, khususnya jenis-jenis pekerjaan yang terkait dengan pelayanan masyarakat (akademik maupun non akademik) (Kinkaid, Brain, dan Senanayake, 2019).
Pertama, karena podcast sering mengambil bentuk kolaboratif. Podcast dapat dibuat melalui metode partisipatif dengan mengundang narasumber yang ahli di bidangnya. Dengan demikian, informasi dan pengetahuan dapat bermanfaat bagi para pendengar dengan beragam profesi.
Bagi praktisi PR, cara ini merupakan cara praktis untuk mengenalkan dan menjelaskan kegiatan kehumasan yang dilakukan sehari-hari. Para praktisi dapat mengundang narasumber seprofesi sebagai pembicara dan saling berbagi pengalaman selama menjadi PR. Hal itu akan membuat informasi dan pengetahuan tentang PR dapat diketahui oleh bahkan orang-orang di luar profesi PR.
Kedua, podcast umumnya menggunakan bahasa informal atau sehari-hari, sehingga dapat menjadi konten yang menarik bagi khalayak luas. Selain itu, beragam suara yang sertakan di dalam konten misalnya interlude dan backsound juga dapat meningkatkan daya tarik para pendengar.
Podcast menyediakan music-musik yang dapat memperindah konten, sehingga para praktisi PR dapat menggunakannya untuk menarik pendengar. Meskipun konten yang diangkat cukup padat, tetapi dengan musik, diharapkan dapat membuat para pendengar lebih rileks dalam menerima informasi.
Ketiga, podcast dapat diedarkan dan dibagikan melalui berbagai platform. Bahkan banyak di antaranya merupakan platform tidak berbayar atau gratis, termasuk aplikasi smartphone dan media sosial. Hal itu kemudian dapat memiliki dampak sosial ketika siapa pun dapat mengadopsi ilmu yang didapat melalui siaran podcast untuk diaplikasikan di kehidupannya sehari-hari.
Topik terkait kehumasan yang dibahas melalui podcast diharapkan dapat menginspirasi bagi orang lain. Siapa pun dapat menyerapnya menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang dapat diamalkan dan diterapkan karena mudah diakses kapan pun dan di mana pun.
Semakin banyaknya podcast kehumasan yang dibuat oleh institusi, lembaga, atau bahkan perseorangan saat ini membuktikan bahwa podcast bisa menjadi metode baru untuk mengenalkan, membahas lebih dalam, dan menilik sisi lain dari kegiatan kehumasan dan para praktisi humas.
(poe)