Fungsi dan Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi Nasional
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjajaran
MEMPERHATIKAN dan mengamati praktik perkembangan hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia, semakin meyakinkan bahwa hukum itu sendiri (undang-undang), yang berasal dari produk kekuasaan legislatif dan eksekutif semata- mata, masih diunggulkan tanpa mempertimbangkan lagi nilai-nilai di balik hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat); hukum masih dipandang sebagai hanya perintah, larangan dan sanksi yang berasal dari kekuasaan; kepatuhan ditukar dengan kewajiban, sehingga anggota masyarakat dilepaskan dari nilai budaya adatnya yang dipertukarkan dengan nilai budaya individualist berbasis positivisme hukum. Namun sejak pertengahan abad 19 di barat telah terjadi perubahan praanggapan bahwa hukum tidak selalu dalam optik kekuasaan melainkan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya.
Roscoe Pound seorang Profesor Botanist dan ahli hukum di Nebraska, tahun 1800-an memandang hukum sebagai norma dinamis dan sekaligus nilai moral yang memberikam petunjuk atau arah kepada manusia untuk hidup tertib. Selama kurang lebih satu abad lampau dunia hukum dikuasai oleh aliran positivisme hukum yang mengutamakan hukum, dalam arti tertulis merupakan sumber satu-satunya petunjuk dan arah bagi manusia untuk hidup tertib dan meraih kepastian hukum. Sekitar pertengahan abad 19, positivisme telah tergantikan pemikiran aliran hukum sosiologis atau dikenal sociological jurisprudence (Roscou Pound). Aliran ini menegaskan bahwa hukum dapat difungsikan untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan masyarakat, sekaligus merupakan kontrol sosial bagi masyarakat (social engineering).
Pemikiran ini kemudian barbaur dengan aliran pemikiran hukum kritis pragmatis atau dikenal dengan pragmatic legal realism (Eugen Erlich). Hukum tidak lagi dipandang sebagai norma statis melainkan norma dinamis yang mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat dan akan berbeda-beda tergantung dari pandangan hidup bangsanya atau perkembangan hukum lokal akan terjadi dan mempengaruhi pandangan masyarakat secara nasional, dan pada saat itulah hukum tidak lagi bersifat norma statis melainkan norma dinamis. Pound juga merujuk kepada norma hukum sebagai masalah nilai (values) ketika menghadapi kenyataan masyarakat yang heterogeen sebagaimana layaknya memandang kemajemukan masyarakat Indonesia.
Atas dasar hal tersebut, maka Romli Atmasasmita memandang norma hukum sebagai norma dinamis berbasis filosofi Pancasila yang mengutamakan perdamaian sebagai karakteristik utama dibandingkan dengan norma hukum yang dipandang sebagai solusi perselisiihan dengan tujuan mencapai kepastian, keadilan dan kemanfaatan di dalam kehidupan masyarakat penuh dendam dan kebencian yang tidak berujung. Peristiwa ingkar janji dalam perjanjian jual beli rumah dalam konteks pandangan posivitisme hukum dan nilai liberal dan konflik dipastikan hukum hanya sebagai sarana untuk menyelesaikan akan tetapi tidak mampu memberikan kedamaian dalam kehidupan masayarakat khususnya antara pihak berkonflik(pembeli dan penjual). Pandangan hukum sebagai nilai (values) yang amat berharga berdasarkan Nilai Pancasila -perdamaian abadi- maka konflk pembeli dan penjual dapat segera diselesaikan tanpa harus ada yang kehilangan muka atau harga diri kecuali berdamai sesuai dengan pandangan bahwa norma hk adalah persesuaian tentang keadilan berdasarkan kesepakatan para pihak, akan tetapi permanen sifatnya karena adil tidaknya solusi didasarkan atas penilaian Kedua pihak bukan pihak lain termasuk hakim.
Perkembangan masyarakat ekonomi sejak memasuki abad 20 sampai dengan abad 21 dipengaruhi oleh politik ekonomi global yang berorientasi pada kesejahteraan bangsa-bangsa termasuk dampaknya terhadap negara berkembang khususnya Indonesia. Orientasi perkembangan ekonomi dunia secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perkembangan orientasi hukum baik sebagai norma statis maupun dinamis bahkan orientasi hukum sebagai nilai(values). Orientasi hukum sebagai norma statis dan norma dinamis bertujuan kepastian, keadilan dan kemanfaatan sedangkan orientasi norma hukum dalam pandangan ekonomi mau tidak mau suka tidak suka harus bertujuan efisiensi dan efektivitas hukum sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan masyarakat.
Tidak ada yang keliru dengan perkembangan hukum tersebut dan juga tidak perlu dipertentangkan antara keduanya melainkan sudah selayaknya disesuaikan sejalan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat itu sendiri. Namun satu hal yang pasti adalah, tujuan pembalasan atau penjeraan diharapkan dari hukum seharusnya dihentikan karena dalam kenyataan sejalan dengan keadaan overcrowded atau overcapacity hunian lapas di seluruh Indonesia mencapai 200% merupakan bukti kuat bahwa orientasi hukum sebagai norma dan alat kekuasaan semata-mata telah kadaluarsa sehingga seharusnya digantikan dengan orientasi hukum sebagai sarana mencapai efisiensi dalam mencapai kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dengan kata lain, apalah artinya ketiga tujuan hukum itu jika tanpa dilandaskan kepada efisiensi hukum sebagai sarana pengatur dan pengendali dalam kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, hukum harus dinilai dari seberapa efisien penghukuman karena pelanggaran hukum dibandingkan dengan kemanfaatan yan diperoleh dari hukum sebagai sarana mencapai kepastian dan keadilan. Dalam hal ini pendekatan terhadap bekerjanya hukum harus dinilai dari aspek “cost and benefit” (Posner), bukan saja dari efek penjeraan atau tobat yang harus dirasakan dan diterima pelaku-pelaku kejahatan. Perubahan pandangan sarana hukum dalam konteks perkembangan masyarakat ekonomi tersebut merupakan keniscayaan sehingga penerapan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat, ”ikannya diperoleh tanpa harus mengotori isi kolamnya”.
Dihubungkan dengan strategi pemberantasan korupsi maka strategi pencegahan tentu akan lebih efisien dibandingkan dengan strategi represif semata-mata. Strategi penegakan hukum terkini meliputi, strategi preemtif, preventif, represif dan rehabilitasi serta strategi pemulihan asset tindak pidana (asset recovery); suatu proses panjang menuju pemulihan asset kejahatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; proses panjang dan berkesinambungan memerlukan penguatan dukungan APH termasuk Hakim. Dipersepsikan bahwa, pemulihan aset keuangan negara yang dirampok melalui cara korupsi dan pencucian uang (money laundering) adalah cara efektif namun demikian juga kurang efisien karena masih dalam opsi penghukuman dan bukan secara murni (genuine) pemulihan aset negara melalui prosedur perampasan aset sebagaimana lazimnya dipraktikan di negara lain.
Di samping prosedur perampasan aset juga dilakukan strategi preemtif detention di mana jauh sebelum proses penyidikan dilaksanakan, dengan bantuan PPATK, penyidik telah dapat melakukan Tindakan pencegahan- penahanan terhadap pelaku korupsi dan kejahatan keuangan dan perbankan serta pencucian uang untuk mencegah buron beserta harta kekayaan yang berasal dari kejahatan. Sekakalipun keempat strategi tersebut sudah di perkuat norma UU dipastikan tidak memadai jika obsesi pendekatan talionis efek penjeraan hanya ditujukan terhadap fisik pelaku melalui penghukuman yang sekeras-kerasnya tetap tidak efisien jika tidak disertai obsesi penjeraan melalui pwrampassn harta lekayaan pelaku secara tuntas.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjajaran
MEMPERHATIKAN dan mengamati praktik perkembangan hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia, semakin meyakinkan bahwa hukum itu sendiri (undang-undang), yang berasal dari produk kekuasaan legislatif dan eksekutif semata- mata, masih diunggulkan tanpa mempertimbangkan lagi nilai-nilai di balik hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat); hukum masih dipandang sebagai hanya perintah, larangan dan sanksi yang berasal dari kekuasaan; kepatuhan ditukar dengan kewajiban, sehingga anggota masyarakat dilepaskan dari nilai budaya adatnya yang dipertukarkan dengan nilai budaya individualist berbasis positivisme hukum. Namun sejak pertengahan abad 19 di barat telah terjadi perubahan praanggapan bahwa hukum tidak selalu dalam optik kekuasaan melainkan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya.
Roscoe Pound seorang Profesor Botanist dan ahli hukum di Nebraska, tahun 1800-an memandang hukum sebagai norma dinamis dan sekaligus nilai moral yang memberikam petunjuk atau arah kepada manusia untuk hidup tertib. Selama kurang lebih satu abad lampau dunia hukum dikuasai oleh aliran positivisme hukum yang mengutamakan hukum, dalam arti tertulis merupakan sumber satu-satunya petunjuk dan arah bagi manusia untuk hidup tertib dan meraih kepastian hukum. Sekitar pertengahan abad 19, positivisme telah tergantikan pemikiran aliran hukum sosiologis atau dikenal sociological jurisprudence (Roscou Pound). Aliran ini menegaskan bahwa hukum dapat difungsikan untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan masyarakat, sekaligus merupakan kontrol sosial bagi masyarakat (social engineering).
Pemikiran ini kemudian barbaur dengan aliran pemikiran hukum kritis pragmatis atau dikenal dengan pragmatic legal realism (Eugen Erlich). Hukum tidak lagi dipandang sebagai norma statis melainkan norma dinamis yang mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat dan akan berbeda-beda tergantung dari pandangan hidup bangsanya atau perkembangan hukum lokal akan terjadi dan mempengaruhi pandangan masyarakat secara nasional, dan pada saat itulah hukum tidak lagi bersifat norma statis melainkan norma dinamis. Pound juga merujuk kepada norma hukum sebagai masalah nilai (values) ketika menghadapi kenyataan masyarakat yang heterogeen sebagaimana layaknya memandang kemajemukan masyarakat Indonesia.
Atas dasar hal tersebut, maka Romli Atmasasmita memandang norma hukum sebagai norma dinamis berbasis filosofi Pancasila yang mengutamakan perdamaian sebagai karakteristik utama dibandingkan dengan norma hukum yang dipandang sebagai solusi perselisiihan dengan tujuan mencapai kepastian, keadilan dan kemanfaatan di dalam kehidupan masyarakat penuh dendam dan kebencian yang tidak berujung. Peristiwa ingkar janji dalam perjanjian jual beli rumah dalam konteks pandangan posivitisme hukum dan nilai liberal dan konflik dipastikan hukum hanya sebagai sarana untuk menyelesaikan akan tetapi tidak mampu memberikan kedamaian dalam kehidupan masayarakat khususnya antara pihak berkonflik(pembeli dan penjual). Pandangan hukum sebagai nilai (values) yang amat berharga berdasarkan Nilai Pancasila -perdamaian abadi- maka konflk pembeli dan penjual dapat segera diselesaikan tanpa harus ada yang kehilangan muka atau harga diri kecuali berdamai sesuai dengan pandangan bahwa norma hk adalah persesuaian tentang keadilan berdasarkan kesepakatan para pihak, akan tetapi permanen sifatnya karena adil tidaknya solusi didasarkan atas penilaian Kedua pihak bukan pihak lain termasuk hakim.
Perkembangan masyarakat ekonomi sejak memasuki abad 20 sampai dengan abad 21 dipengaruhi oleh politik ekonomi global yang berorientasi pada kesejahteraan bangsa-bangsa termasuk dampaknya terhadap negara berkembang khususnya Indonesia. Orientasi perkembangan ekonomi dunia secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi perkembangan orientasi hukum baik sebagai norma statis maupun dinamis bahkan orientasi hukum sebagai nilai(values). Orientasi hukum sebagai norma statis dan norma dinamis bertujuan kepastian, keadilan dan kemanfaatan sedangkan orientasi norma hukum dalam pandangan ekonomi mau tidak mau suka tidak suka harus bertujuan efisiensi dan efektivitas hukum sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan masyarakat.
Tidak ada yang keliru dengan perkembangan hukum tersebut dan juga tidak perlu dipertentangkan antara keduanya melainkan sudah selayaknya disesuaikan sejalan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat itu sendiri. Namun satu hal yang pasti adalah, tujuan pembalasan atau penjeraan diharapkan dari hukum seharusnya dihentikan karena dalam kenyataan sejalan dengan keadaan overcrowded atau overcapacity hunian lapas di seluruh Indonesia mencapai 200% merupakan bukti kuat bahwa orientasi hukum sebagai norma dan alat kekuasaan semata-mata telah kadaluarsa sehingga seharusnya digantikan dengan orientasi hukum sebagai sarana mencapai efisiensi dalam mencapai kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dengan kata lain, apalah artinya ketiga tujuan hukum itu jika tanpa dilandaskan kepada efisiensi hukum sebagai sarana pengatur dan pengendali dalam kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, hukum harus dinilai dari seberapa efisien penghukuman karena pelanggaran hukum dibandingkan dengan kemanfaatan yan diperoleh dari hukum sebagai sarana mencapai kepastian dan keadilan. Dalam hal ini pendekatan terhadap bekerjanya hukum harus dinilai dari aspek “cost and benefit” (Posner), bukan saja dari efek penjeraan atau tobat yang harus dirasakan dan diterima pelaku-pelaku kejahatan. Perubahan pandangan sarana hukum dalam konteks perkembangan masyarakat ekonomi tersebut merupakan keniscayaan sehingga penerapan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat, ”ikannya diperoleh tanpa harus mengotori isi kolamnya”.
Dihubungkan dengan strategi pemberantasan korupsi maka strategi pencegahan tentu akan lebih efisien dibandingkan dengan strategi represif semata-mata. Strategi penegakan hukum terkini meliputi, strategi preemtif, preventif, represif dan rehabilitasi serta strategi pemulihan asset tindak pidana (asset recovery); suatu proses panjang menuju pemulihan asset kejahatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; proses panjang dan berkesinambungan memerlukan penguatan dukungan APH termasuk Hakim. Dipersepsikan bahwa, pemulihan aset keuangan negara yang dirampok melalui cara korupsi dan pencucian uang (money laundering) adalah cara efektif namun demikian juga kurang efisien karena masih dalam opsi penghukuman dan bukan secara murni (genuine) pemulihan aset negara melalui prosedur perampasan aset sebagaimana lazimnya dipraktikan di negara lain.
Di samping prosedur perampasan aset juga dilakukan strategi preemtif detention di mana jauh sebelum proses penyidikan dilaksanakan, dengan bantuan PPATK, penyidik telah dapat melakukan Tindakan pencegahan- penahanan terhadap pelaku korupsi dan kejahatan keuangan dan perbankan serta pencucian uang untuk mencegah buron beserta harta kekayaan yang berasal dari kejahatan. Sekakalipun keempat strategi tersebut sudah di perkuat norma UU dipastikan tidak memadai jika obsesi pendekatan talionis efek penjeraan hanya ditujukan terhadap fisik pelaku melalui penghukuman yang sekeras-kerasnya tetap tidak efisien jika tidak disertai obsesi penjeraan melalui pwrampassn harta lekayaan pelaku secara tuntas.
(muh)