Antisipasi Konflik, Pemerintah Harus Benahi Tata Kelola Lahan Sawit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta melakukan pembenahan tata kelola perizinan perkebunan sawit. Tujuannya, untuk mencegah konflik lahan dan menghindarkan pertentangan kewenangan dan tumpang tindih kebijakan yang merugikan para petani perkebunan sawit.
(Baca juga: Erick Thohir Tunjuk Aparat Hukum Aktif di BUMN, Ombudsman: Ada Benturan Regulasi)
Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil Alim menjelaskan, data tahun 2019 menyebutkan, produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 44,05 juta ton. Dengan nilai ekspor yang mencapai 19 miliar Dolar Amerika Serikat (AS), menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
Diterbitkannya, Permen ESDM Nomor 32/2008, kemudian diperbarui dengan nomor 12/2015 dan Nomor 41/2018 yang menjadikan sawit sebagai salah satu komponen penting dalam pengambangan biodiesel (B30) semakin membuat sawit menjadi komoditas yang sangat vital.
Di balik potensi besar kelapa sawit Indonesia, Hifdzil menilai, masih banyak persoalan kompleks yang sampai saat ini menjadi momok dalam pengelolaan sawit, salah satunya luasan lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan. (Baca juga: Lawan Kampanye Hitam, Komunikasi Sawit Perlu Lebih Sinergis)
Hifdzil mengulas total data pekebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare. Rinciannya, 115 ribu hektare berada di dalam kawasan suaka alam, 174 ribu hektar di dalam kawasan hutan lindung, 454 ribu hektar di kawasan hutan produksi terbatas, 1,4 juta hektare di kawasan hutan produksi, dan 1,2 juta hektare berada di kawasan hutan produksi konversi.
"Keberadaan sawit dalam kawasan hutan menghadirkan berbagai persoalan dengan sebab-sebab yang beragam. Misalnya, tumpang tindih perizinan dan batas hutan dengan kawasan di sekitarnya yang belum jelas. Selain itu, banyak konflik lahan yang terjadi dalam kawasan hutan yang bersifat laten dan terus-menerus muncul di permukaan," kata Hifdzil Alim, Selasa (21/7/2020).
Eks Wakil Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini kemudian mengulas data Kehutanan UGM. Data itu menyebutkan, dari 2,8 juta hektare perkebunan sawit dalam kawasan hutan, 35 persen lahan dikuasai oleh masyarakat sedangkan 65 persen dikuasai oleh pengusaha.
Sedangkan data yang ada di Direktorat Jenderal Perkebunan menyebutkan, 2,5 juta hektare lahan sawit berada dalam kawasan hutan. "800 ribu hektare kebun dikuasai oleh perusahaan dan 1,7 juta hektare dikuasai oleh masyarakat. Intinya, sawit dalam kawasan hutan memang benar adanya," jelas Hifdzil.
Menyoroti pengelolaan sawit tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa konflik agraria masih menghantui pengelolaan lahan sawit di berbagai lokasi di Indonesia. Setidaknya, kata Hifdzil, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama tahun 2018 ada 410 konflik agraria. Konflik yang sering terjadi adalah benturan antara masyarakat dan perusahaan.
Ia mencontohkan, konflik yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang terjadi antara warga yang tergabung dalam Koperasi Sawit Mandiri Perkasa dengan PT Rajawali Jaya Perkasa terkait dengan lahan sawit seluas 105 hektar yang menjadi sengketa antara kedua belah pihak.
(Baca juga: Erick Thohir Tunjuk Aparat Hukum Aktif di BUMN, Ombudsman: Ada Benturan Regulasi)
Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil Alim menjelaskan, data tahun 2019 menyebutkan, produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 44,05 juta ton. Dengan nilai ekspor yang mencapai 19 miliar Dolar Amerika Serikat (AS), menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
Diterbitkannya, Permen ESDM Nomor 32/2008, kemudian diperbarui dengan nomor 12/2015 dan Nomor 41/2018 yang menjadikan sawit sebagai salah satu komponen penting dalam pengambangan biodiesel (B30) semakin membuat sawit menjadi komoditas yang sangat vital.
Di balik potensi besar kelapa sawit Indonesia, Hifdzil menilai, masih banyak persoalan kompleks yang sampai saat ini menjadi momok dalam pengelolaan sawit, salah satunya luasan lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan. (Baca juga: Lawan Kampanye Hitam, Komunikasi Sawit Perlu Lebih Sinergis)
Hifdzil mengulas total data pekebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare. Rinciannya, 115 ribu hektare berada di dalam kawasan suaka alam, 174 ribu hektar di dalam kawasan hutan lindung, 454 ribu hektar di kawasan hutan produksi terbatas, 1,4 juta hektare di kawasan hutan produksi, dan 1,2 juta hektare berada di kawasan hutan produksi konversi.
"Keberadaan sawit dalam kawasan hutan menghadirkan berbagai persoalan dengan sebab-sebab yang beragam. Misalnya, tumpang tindih perizinan dan batas hutan dengan kawasan di sekitarnya yang belum jelas. Selain itu, banyak konflik lahan yang terjadi dalam kawasan hutan yang bersifat laten dan terus-menerus muncul di permukaan," kata Hifdzil Alim, Selasa (21/7/2020).
Eks Wakil Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini kemudian mengulas data Kehutanan UGM. Data itu menyebutkan, dari 2,8 juta hektare perkebunan sawit dalam kawasan hutan, 35 persen lahan dikuasai oleh masyarakat sedangkan 65 persen dikuasai oleh pengusaha.
Sedangkan data yang ada di Direktorat Jenderal Perkebunan menyebutkan, 2,5 juta hektare lahan sawit berada dalam kawasan hutan. "800 ribu hektare kebun dikuasai oleh perusahaan dan 1,7 juta hektare dikuasai oleh masyarakat. Intinya, sawit dalam kawasan hutan memang benar adanya," jelas Hifdzil.
Menyoroti pengelolaan sawit tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa konflik agraria masih menghantui pengelolaan lahan sawit di berbagai lokasi di Indonesia. Setidaknya, kata Hifdzil, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama tahun 2018 ada 410 konflik agraria. Konflik yang sering terjadi adalah benturan antara masyarakat dan perusahaan.
Ia mencontohkan, konflik yang terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang terjadi antara warga yang tergabung dalam Koperasi Sawit Mandiri Perkasa dengan PT Rajawali Jaya Perkasa terkait dengan lahan sawit seluas 105 hektar yang menjadi sengketa antara kedua belah pihak.