Tak Relevan dengan Pendidikan, Anggota DPR Minta RUU Cipta Kerja Dicabut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polemik pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terus bergejolak. Beragam sektor dianggap dapat terancam dengan kehadiran beleid sapu jagat tersebut. Salah satunya, pendidikan dan UU yang mengaturnya.
Anggota Komisi X DPR Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah menyoroti beberapa UU terkait pendidikan yang pengaturannya ditambah, diubah maupun dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Payung hukum itu meliputi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
“Masuknya undang-undang itu dalam RUU Cipta Kerja tidak relevan dengan semangat pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas SDM bangsa. Tidak memiliki korelasi langsung terhadap upaya penciptaan lapangan kerja dan peningkatan investasi sebagai tujuan dari dibuatnya RUU Cipta Kerja ini,” tutur Ledia dalam diskusi daring, Senin (20/7/2020). (Baca juga: Omnibus Law, Pemerintah Bisa Tingkatkan Investasi dan Buka Lapangan kerja)
Dalam UU Sisdiknas misalnya, masuk beberapa ketentuan yang tidak memiliki relevansi terhadap tujuan RUU Cipta Kerja. Pasal 68 RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 28 terkait pendidikan anak usia dini (PAUD), Pasal 35 terkait standar nasional pendidikan, Pasal 51 mengenai pengelolaan satuan pendidikan formal, Pasal 53 terkait penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan non formal.
Selain itu, mengubah juga Pasal 62 menyangkut izin mendirikan pendidikan formal dan non formal. Kemudian, aturan lembaga pendidikan asing dalam Pasal 65, ketentuan pidana di Pasal 71, dan menghapus Pasal 67-69 mengenai ketentuan pidana seperti penggunaan ijazah dan gelar palsu. (Baca juga: Mengawal Omnibus Law, Mahasiswa Harus Menjadi Mitra Kritis)
Pasal 69 RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan UU Dikti, antara lain Pasal 1 angka 2 dan 19, Pasal 7 mengenai penyelenggaran pendidikan tinggi, Pasal 33 terkait syarat minimum akreditasi, dan Pasal 35 terkait kurikulum. Termasuk mengubah Pasal 60 mencakup pendirian perguruan tinggi, Pasal 63 tentang pengelolaan perguruan tinggi, Pasal 90 mengenai kewajiban akreditasi.
Adapun ketentuan yang dihapus yaitu Pasal 54 terkait standar pendidikan tinggi dan Pasal 92-93 terkait sanksi pidana. Ledia menambahkan, Pasal 70 RUU Cipta Kerja juga mengubah sejumlah norma dalam UU 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen. Pasal 1 soal definisi guru, Pasal 2 mengenai pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dan kewajiban/ketidakwajiban sertifikat pendidik bagi guru.
Berikutnya, Pasal 3 tentang pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional dan kewajiban/ketidakwajiban sertifikat pendidik bagi dosen, Pasal 45-46 mencakup kualifikasi akademik, Pasal 35 beban kerja guru, dan Pasal 77-79 perihal sanksi.
“Sementara, terkait kompetensi guru dalam Pasal 10, sertifikat pendidik di Pasal 11-12, dan kesempatan untuk diangkat sebagai guru maupun syarat mendapatkan sertifikat di Pasal 47 itu dihapus. Beberapa pasal juga dialihkan ke dalam PP (peraturan pemerintah),” tambah wanita yang juga menjadi anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR tersebut.
Kemudian dalam UU Pendidikan Kedokteran, ada sejumlah ketentuan yang diubah dan dihapus. Pasal 71 RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 13 soal penetapan rumah sakit pendidikan serta menghapus Pasal 9 terkait kuota dan Pasal 58 ayat (2) mengenai sanksi pidana.
“Seluruh pasal terkait pendidikan ini seharusnya dikeluarkan, tidak perlu ada di dalam RUU Cipta Kerja dan dikembalikan lagi menjadi UU tersendiri yang berfungsi mengatur standar, pengelolaan, dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,” tukasnya.
Anggota Komisi X DPR Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah menyoroti beberapa UU terkait pendidikan yang pengaturannya ditambah, diubah maupun dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Payung hukum itu meliputi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
“Masuknya undang-undang itu dalam RUU Cipta Kerja tidak relevan dengan semangat pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas SDM bangsa. Tidak memiliki korelasi langsung terhadap upaya penciptaan lapangan kerja dan peningkatan investasi sebagai tujuan dari dibuatnya RUU Cipta Kerja ini,” tutur Ledia dalam diskusi daring, Senin (20/7/2020). (Baca juga: Omnibus Law, Pemerintah Bisa Tingkatkan Investasi dan Buka Lapangan kerja)
Dalam UU Sisdiknas misalnya, masuk beberapa ketentuan yang tidak memiliki relevansi terhadap tujuan RUU Cipta Kerja. Pasal 68 RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 28 terkait pendidikan anak usia dini (PAUD), Pasal 35 terkait standar nasional pendidikan, Pasal 51 mengenai pengelolaan satuan pendidikan formal, Pasal 53 terkait penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan non formal.
Selain itu, mengubah juga Pasal 62 menyangkut izin mendirikan pendidikan formal dan non formal. Kemudian, aturan lembaga pendidikan asing dalam Pasal 65, ketentuan pidana di Pasal 71, dan menghapus Pasal 67-69 mengenai ketentuan pidana seperti penggunaan ijazah dan gelar palsu. (Baca juga: Mengawal Omnibus Law, Mahasiswa Harus Menjadi Mitra Kritis)
Pasal 69 RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan UU Dikti, antara lain Pasal 1 angka 2 dan 19, Pasal 7 mengenai penyelenggaran pendidikan tinggi, Pasal 33 terkait syarat minimum akreditasi, dan Pasal 35 terkait kurikulum. Termasuk mengubah Pasal 60 mencakup pendirian perguruan tinggi, Pasal 63 tentang pengelolaan perguruan tinggi, Pasal 90 mengenai kewajiban akreditasi.
Adapun ketentuan yang dihapus yaitu Pasal 54 terkait standar pendidikan tinggi dan Pasal 92-93 terkait sanksi pidana. Ledia menambahkan, Pasal 70 RUU Cipta Kerja juga mengubah sejumlah norma dalam UU 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen. Pasal 1 soal definisi guru, Pasal 2 mengenai pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dan kewajiban/ketidakwajiban sertifikat pendidik bagi guru.
Berikutnya, Pasal 3 tentang pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional dan kewajiban/ketidakwajiban sertifikat pendidik bagi dosen, Pasal 45-46 mencakup kualifikasi akademik, Pasal 35 beban kerja guru, dan Pasal 77-79 perihal sanksi.
“Sementara, terkait kompetensi guru dalam Pasal 10, sertifikat pendidik di Pasal 11-12, dan kesempatan untuk diangkat sebagai guru maupun syarat mendapatkan sertifikat di Pasal 47 itu dihapus. Beberapa pasal juga dialihkan ke dalam PP (peraturan pemerintah),” tambah wanita yang juga menjadi anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR tersebut.
Kemudian dalam UU Pendidikan Kedokteran, ada sejumlah ketentuan yang diubah dan dihapus. Pasal 71 RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 13 soal penetapan rumah sakit pendidikan serta menghapus Pasal 9 terkait kuota dan Pasal 58 ayat (2) mengenai sanksi pidana.
“Seluruh pasal terkait pendidikan ini seharusnya dikeluarkan, tidak perlu ada di dalam RUU Cipta Kerja dan dikembalikan lagi menjadi UU tersendiri yang berfungsi mengatur standar, pengelolaan, dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,” tukasnya.
(cip)