Perdukunan dan Abad Pertengahan

Selasa, 11 April 2023 - 07:55 WIB
loading...
A A A
Dari perspektif sejarah, nilai-nilai hidup bagi orang Abad Pertengahan tidak terletak pada masa kini, tetapi pada masa setelah ini (akhirat). Kehidupan manusiawi adalah suatu persiapan untuk tujuan surgawi. Manusia adalah pengembara (pelgrim) di bumi ini dan tujuan perjalanannya adalah keabadian.

Pandangan seperti itu dapat ditemukan juga pada pemikiran Thomas Aquinas, salah satu pemikir besar Abad Pertengahan, tentang etika. Meurut Thomas, bahwa tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu tidak terletak dalam pengembangan dan penyempurnaan hidup di dunia ini, melainkan jauh melampaui itu, yakni kebahagiaan di alam baka.
Baru di surga kelak manusia boleh bertatap muka dengan Dia yang mampu memberikan kepuasan sepenuh-penuhnya kepada manusia.

Memang tidak semua ajaran Abad Pertengahan berisi dogma atau ajaran resmi gereja. Sudah banyak juga pemikir yang mencoba menggunakan rasionya dalam memahami Kitab Suci. Tetapi, memang, pemikiran yang dominan pada masa itu adalah filsafat agama.

Setelah Abad Pertengahan, kita masuk pada zaman Renaissans (kelahiran kembali). Kebudayaan Yunani-Romawi kuno diinterpretasikan kembali secara baru. Jika pada zaman klasik manusia dipandang sebagai bagian dari alam atau polis, maka zaman Renaissans (abad 15 dan 16) manusia dipahami sebagai pribadi.

Setiap orang bukan sekadar umat manusia, tetapi individu-individu yang bebas untuk melakukan sesuatu dan menganut keyakinan tertentu. Kemuliaan, manusia terletak dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dalam posisinya sebagai penguasa alam.

Kemudian kita masuk zaman Pencerahan (Aufklarung) di Inggris dan Prancis (abad 17 dan 18). Ada dua peristiwa penting di zaman ini, yakni Revolusi Agung di Inggris pada 1688 dan Revolusi Prancis pada 1789. Intinya, pada masa ini, manusia mulai mencari cahaya baru dengan rasionya. Orang berusaha lepas dari dikap tidak dewasa atas kesalahannya sendiri.

Kesalahan itu terletak dalam keengganan manusia untuk memanfaaatkan akal budinya. Orang lebih suka berpaut pada otoritas lain di luar dirinya. Maka, semboyan yang didengungkann pada zaman baru ini adalah “beranilah berpikir sendiri”. Jadi, jika pada Abad Pertengahan ciri umumnya adalah teosentris, maka pada Zaman Modern cirinya adalah antroposentris.

Di zaman modern ini, para pemikir umumnya melawan alam pikir tradisional yang tampil dalam bentuk agama, takhayul, mitos, dan metafisika tradisional. Mereka berusaha keras untuk memahami kenyataan dengan kekuatan rasionya. Dalam filsafat, kita mendengar pernyataan Rene Descartes “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada).

Ini semacam ringkasan atau formulasi kesadaran bahwa manusia (individu) bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Beberapa pemikir yang gembira dengan hancurnya metafisika tradisional itu, antara lain, Fredrich Nietzsche, Immanuel Kant, Aguste Conte, Francis Bacon, dan Baruch de Spinoza.

Singkatnya, bentuk kesadaran modernitas ini, menurut F. Budi Hardiman, dicirkan dengan tiga hal: “subyektivitas”, “kritik”, dan “kemajuan”. Adapun yang dimaksud dengan “subyektivitas” adalah bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subyek alias pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Jika dalam abad pertengahan, kata Jacob Burckhardt, manusia lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga, atau kelompok kolektif, maka dalam zaman modern manusia menyadari dirinya sebagai individu.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2076 seconds (0.1#10.140)