Perdukunan dan Abad Pertengahan
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Tahun lalu kita dikejutkkan oleh keberanian Pesulap Merah yang menantang kesaktian beberapa dukun. Ternyata, aneka “kesaktian” beberapa dukun hanyalah trik sulap belaka. Pesulap Merah ingin agar masyarakat tidak gampang percaya dengan “tipu-tipu” beberapa orang yang mengaku punya ilmu gaib dan sejenisnya.
Kini, ramai pemberitaan soal dukun Tohari alias Mbah Slamet yang katanya bisa menggandakan uang. Kenyataannya, bukannya uang berlipat ganda, tapi nyawa melayang. Tak kurang dari 12 (dua belas) nyawa diracun Tohari ketika para klien itu menagih janji kepadanya. Semuanya dikubur di dekat rumahnya.
Bagi sebagian orang Indonesia, fenomena perdukunan bukanlah hal baru. Banyak orang – dari pejabat sampai masyarakat biasa – yang percaya pada dukun. Mereka datang ke dukun atau “orang sakti” untuk berbagai keperluan. Mulai dari pesugihan, santet, susuk kecantikan, penglaris, kenaikan pangkat, hingga menggandakan uang. Begitu populernya dukun, sampai-sampai ada ungkapan populer yang lucu: “Cinta Ditolak, Dukun Bertindak!”
Khusus mengenai dukun yang konon mampu melibat gandakan uang, tercatat sedikitnya ada 5 (lma) kasus yang akhirnya berurusan dengan pihak berwajib. Sebagai contoh, misalnya, dukun Asep di Cianjur yang mengaku bisa menggandakan uang. Pada tahun 2007 dia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Rangkasbitung karena telah menghabisi nyawa delapan korbannya.
Lalu dukun Dukun IS di Magelang juga mengklaim bisa menyembuhkan hingga melipatgandakan uang.
Pelaku melakukan aksinya pada tahun 2020 dan membunuh empat korbannya dengan memberikan minuman yang dicampur racun. Selanjutnya Abah Yanto di Gresik mengaku bisa menggandakan uang dengan ritual darah untuk sesajen. Ia ditangkap di Gresik atas dugaan penipuan pada awal Januari 2023.
Juga ada Aki Wowon, yang menjanjikan kekayaan dengan cepat. Korban Wowon mayoritas TKI di luar negeri dan saat mereka menagih janji itu justru dibunuh dengan cara diberi minuman beracun. Wowon dan sekutunya ditangkap 24 Januari 2023, menyebabkan 9 orang tewas. Masih ada nama-nama lain yang Anda bisa perpanjangn sendiri.
Yang mengherankan, kenapa para klien atau calon klien dukun itu tidak punya sedikit saja pertanyaan sederhana semacam ini: Kalau benar ada orang yang bisa mengggandakan uang, kenapa dia tidak menggandakan uangnya sendiri saja hingga berjuta-juta kali lipat? Tak perlu memasang iklan di medsos atau mengerahkan tim untuk mencari klien.
Salah satu trik yang digunakan untuk meyakinkan klien adalah bahwa sang dukun mengaku bisa berkomunikasi dengan makhluk gaib. Dan di sinilah masalahnya. Sebagian dari kita masih percaya hal-hal semcam itu, seperti orang-orang yang dulu hidup di Abad Pertengahan. Kepercayaan pada makhluk gaib, supranatural, dewa-dewi, legenda, mitos, adalah salah satu ciri alam pikir Abad Pertengahan, terutama periode awal.
Dalam dunia filsafat, Abad Pertengahan dibagi dalam dua periode, yakni zaman Patristik (abad ke-2 sampai abad ke-7) dan zaman Skolastik (sejak abad ke-9 sampai akhir abad ke-16). Abad Pertengahan ini menjadi zaman peralihan antara Zaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Zaman Modern yang diawali dengan masa Renaissans di Italia (abad 15 sampai 16 akhir).
Dari perspektif sejarah, nilai-nilai hidup bagi orang Abad Pertengahan tidak terletak pada masa kini, tetapi pada masa setelah ini (akhirat). Kehidupan manusiawi adalah suatu persiapan untuk tujuan surgawi. Manusia adalah pengembara (pelgrim) di bumi ini dan tujuan perjalanannya adalah keabadian.
Pandangan seperti itu dapat ditemukan juga pada pemikiran Thomas Aquinas, salah satu pemikir besar Abad Pertengahan, tentang etika. Meurut Thomas, bahwa tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu tidak terletak dalam pengembangan dan penyempurnaan hidup di dunia ini, melainkan jauh melampaui itu, yakni kebahagiaan di alam baka.
Baru di surga kelak manusia boleh bertatap muka dengan Dia yang mampu memberikan kepuasan sepenuh-penuhnya kepada manusia.
Memang tidak semua ajaran Abad Pertengahan berisi dogma atau ajaran resmi gereja. Sudah banyak juga pemikir yang mencoba menggunakan rasionya dalam memahami Kitab Suci. Tetapi, memang, pemikiran yang dominan pada masa itu adalah filsafat agama.
Setelah Abad Pertengahan, kita masuk pada zaman Renaissans (kelahiran kembali). Kebudayaan Yunani-Romawi kuno diinterpretasikan kembali secara baru. Jika pada zaman klasik manusia dipandang sebagai bagian dari alam atau polis, maka zaman Renaissans (abad 15 dan 16) manusia dipahami sebagai pribadi.
Setiap orang bukan sekadar umat manusia, tetapi individu-individu yang bebas untuk melakukan sesuatu dan menganut keyakinan tertentu. Kemuliaan, manusia terletak dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dalam posisinya sebagai penguasa alam.
Kemudian kita masuk zaman Pencerahan (Aufklarung) di Inggris dan Prancis (abad 17 dan 18). Ada dua peristiwa penting di zaman ini, yakni Revolusi Agung di Inggris pada 1688 dan Revolusi Prancis pada 1789. Intinya, pada masa ini, manusia mulai mencari cahaya baru dengan rasionya. Orang berusaha lepas dari dikap tidak dewasa atas kesalahannya sendiri.
Kesalahan itu terletak dalam keengganan manusia untuk memanfaaatkan akal budinya. Orang lebih suka berpaut pada otoritas lain di luar dirinya. Maka, semboyan yang didengungkann pada zaman baru ini adalah “beranilah berpikir sendiri”. Jadi, jika pada Abad Pertengahan ciri umumnya adalah teosentris, maka pada Zaman Modern cirinya adalah antroposentris.
Di zaman modern ini, para pemikir umumnya melawan alam pikir tradisional yang tampil dalam bentuk agama, takhayul, mitos, dan metafisika tradisional. Mereka berusaha keras untuk memahami kenyataan dengan kekuatan rasionya. Dalam filsafat, kita mendengar pernyataan Rene Descartes “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada).
Ini semacam ringkasan atau formulasi kesadaran bahwa manusia (individu) bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Beberapa pemikir yang gembira dengan hancurnya metafisika tradisional itu, antara lain, Fredrich Nietzsche, Immanuel Kant, Aguste Conte, Francis Bacon, dan Baruch de Spinoza.
Singkatnya, bentuk kesadaran modernitas ini, menurut F. Budi Hardiman, dicirkan dengan tiga hal: “subyektivitas”, “kritik”, dan “kemajuan”. Adapun yang dimaksud dengan “subyektivitas” adalah bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subyek alias pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Jika dalam abad pertengahan, kata Jacob Burckhardt, manusia lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga, atau kelompok kolektif, maka dalam zaman modern manusia menyadari dirinya sebagai individu.
Sedangkan makna “kritik” di sini adalah rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Intinya, kebebasan untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau ororitas. Dalam bahasa Immanuel Kant, “bangun dari tidur dogmatis”.
Adapun dengan “kemajuan” adalah bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi demi tanggung jawab akan masa depan. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh subyektivitas dan daya kritik itu.
Jadi, apakah Anda mau terus tenggelam dalam pemikiran Abad Pertengahan? Masih percaya ada orang yang mampu menggandakan uang? Silakan. Siap-siap saja nyawa Anda melayang!
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Tahun lalu kita dikejutkkan oleh keberanian Pesulap Merah yang menantang kesaktian beberapa dukun. Ternyata, aneka “kesaktian” beberapa dukun hanyalah trik sulap belaka. Pesulap Merah ingin agar masyarakat tidak gampang percaya dengan “tipu-tipu” beberapa orang yang mengaku punya ilmu gaib dan sejenisnya.
Kini, ramai pemberitaan soal dukun Tohari alias Mbah Slamet yang katanya bisa menggandakan uang. Kenyataannya, bukannya uang berlipat ganda, tapi nyawa melayang. Tak kurang dari 12 (dua belas) nyawa diracun Tohari ketika para klien itu menagih janji kepadanya. Semuanya dikubur di dekat rumahnya.
Bagi sebagian orang Indonesia, fenomena perdukunan bukanlah hal baru. Banyak orang – dari pejabat sampai masyarakat biasa – yang percaya pada dukun. Mereka datang ke dukun atau “orang sakti” untuk berbagai keperluan. Mulai dari pesugihan, santet, susuk kecantikan, penglaris, kenaikan pangkat, hingga menggandakan uang. Begitu populernya dukun, sampai-sampai ada ungkapan populer yang lucu: “Cinta Ditolak, Dukun Bertindak!”
Khusus mengenai dukun yang konon mampu melibat gandakan uang, tercatat sedikitnya ada 5 (lma) kasus yang akhirnya berurusan dengan pihak berwajib. Sebagai contoh, misalnya, dukun Asep di Cianjur yang mengaku bisa menggandakan uang. Pada tahun 2007 dia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Rangkasbitung karena telah menghabisi nyawa delapan korbannya.
Lalu dukun Dukun IS di Magelang juga mengklaim bisa menyembuhkan hingga melipatgandakan uang.
Pelaku melakukan aksinya pada tahun 2020 dan membunuh empat korbannya dengan memberikan minuman yang dicampur racun. Selanjutnya Abah Yanto di Gresik mengaku bisa menggandakan uang dengan ritual darah untuk sesajen. Ia ditangkap di Gresik atas dugaan penipuan pada awal Januari 2023.
Juga ada Aki Wowon, yang menjanjikan kekayaan dengan cepat. Korban Wowon mayoritas TKI di luar negeri dan saat mereka menagih janji itu justru dibunuh dengan cara diberi minuman beracun. Wowon dan sekutunya ditangkap 24 Januari 2023, menyebabkan 9 orang tewas. Masih ada nama-nama lain yang Anda bisa perpanjangn sendiri.
Yang mengherankan, kenapa para klien atau calon klien dukun itu tidak punya sedikit saja pertanyaan sederhana semacam ini: Kalau benar ada orang yang bisa mengggandakan uang, kenapa dia tidak menggandakan uangnya sendiri saja hingga berjuta-juta kali lipat? Tak perlu memasang iklan di medsos atau mengerahkan tim untuk mencari klien.
Salah satu trik yang digunakan untuk meyakinkan klien adalah bahwa sang dukun mengaku bisa berkomunikasi dengan makhluk gaib. Dan di sinilah masalahnya. Sebagian dari kita masih percaya hal-hal semcam itu, seperti orang-orang yang dulu hidup di Abad Pertengahan. Kepercayaan pada makhluk gaib, supranatural, dewa-dewi, legenda, mitos, adalah salah satu ciri alam pikir Abad Pertengahan, terutama periode awal.
Dalam dunia filsafat, Abad Pertengahan dibagi dalam dua periode, yakni zaman Patristik (abad ke-2 sampai abad ke-7) dan zaman Skolastik (sejak abad ke-9 sampai akhir abad ke-16). Abad Pertengahan ini menjadi zaman peralihan antara Zaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Zaman Modern yang diawali dengan masa Renaissans di Italia (abad 15 sampai 16 akhir).
Dari perspektif sejarah, nilai-nilai hidup bagi orang Abad Pertengahan tidak terletak pada masa kini, tetapi pada masa setelah ini (akhirat). Kehidupan manusiawi adalah suatu persiapan untuk tujuan surgawi. Manusia adalah pengembara (pelgrim) di bumi ini dan tujuan perjalanannya adalah keabadian.
Pandangan seperti itu dapat ditemukan juga pada pemikiran Thomas Aquinas, salah satu pemikir besar Abad Pertengahan, tentang etika. Meurut Thomas, bahwa tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu tidak terletak dalam pengembangan dan penyempurnaan hidup di dunia ini, melainkan jauh melampaui itu, yakni kebahagiaan di alam baka.
Baru di surga kelak manusia boleh bertatap muka dengan Dia yang mampu memberikan kepuasan sepenuh-penuhnya kepada manusia.
Memang tidak semua ajaran Abad Pertengahan berisi dogma atau ajaran resmi gereja. Sudah banyak juga pemikir yang mencoba menggunakan rasionya dalam memahami Kitab Suci. Tetapi, memang, pemikiran yang dominan pada masa itu adalah filsafat agama.
Setelah Abad Pertengahan, kita masuk pada zaman Renaissans (kelahiran kembali). Kebudayaan Yunani-Romawi kuno diinterpretasikan kembali secara baru. Jika pada zaman klasik manusia dipandang sebagai bagian dari alam atau polis, maka zaman Renaissans (abad 15 dan 16) manusia dipahami sebagai pribadi.
Setiap orang bukan sekadar umat manusia, tetapi individu-individu yang bebas untuk melakukan sesuatu dan menganut keyakinan tertentu. Kemuliaan, manusia terletak dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dalam posisinya sebagai penguasa alam.
Kemudian kita masuk zaman Pencerahan (Aufklarung) di Inggris dan Prancis (abad 17 dan 18). Ada dua peristiwa penting di zaman ini, yakni Revolusi Agung di Inggris pada 1688 dan Revolusi Prancis pada 1789. Intinya, pada masa ini, manusia mulai mencari cahaya baru dengan rasionya. Orang berusaha lepas dari dikap tidak dewasa atas kesalahannya sendiri.
Kesalahan itu terletak dalam keengganan manusia untuk memanfaaatkan akal budinya. Orang lebih suka berpaut pada otoritas lain di luar dirinya. Maka, semboyan yang didengungkann pada zaman baru ini adalah “beranilah berpikir sendiri”. Jadi, jika pada Abad Pertengahan ciri umumnya adalah teosentris, maka pada Zaman Modern cirinya adalah antroposentris.
Di zaman modern ini, para pemikir umumnya melawan alam pikir tradisional yang tampil dalam bentuk agama, takhayul, mitos, dan metafisika tradisional. Mereka berusaha keras untuk memahami kenyataan dengan kekuatan rasionya. Dalam filsafat, kita mendengar pernyataan Rene Descartes “Cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada).
Ini semacam ringkasan atau formulasi kesadaran bahwa manusia (individu) bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Beberapa pemikir yang gembira dengan hancurnya metafisika tradisional itu, antara lain, Fredrich Nietzsche, Immanuel Kant, Aguste Conte, Francis Bacon, dan Baruch de Spinoza.
Singkatnya, bentuk kesadaran modernitas ini, menurut F. Budi Hardiman, dicirkan dengan tiga hal: “subyektivitas”, “kritik”, dan “kemajuan”. Adapun yang dimaksud dengan “subyektivitas” adalah bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subyek alias pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Jika dalam abad pertengahan, kata Jacob Burckhardt, manusia lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga, atau kelompok kolektif, maka dalam zaman modern manusia menyadari dirinya sebagai individu.
Sedangkan makna “kritik” di sini adalah rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Intinya, kebebasan untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau ororitas. Dalam bahasa Immanuel Kant, “bangun dari tidur dogmatis”.
Adapun dengan “kemajuan” adalah bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi demi tanggung jawab akan masa depan. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh subyektivitas dan daya kritik itu.
Jadi, apakah Anda mau terus tenggelam dalam pemikiran Abad Pertengahan? Masih percaya ada orang yang mampu menggandakan uang? Silakan. Siap-siap saja nyawa Anda melayang!
(wur)