Sisi Lain Benny Moerdani, Jenderal Katolik yang Pernah Mondok di Pesantren Cepu

Senin, 10 April 2023 - 05:54 WIB
loading...
Sisi Lain Benny Moerdani, Jenderal Katolik yang Pernah Mondok di Pesantren Cepu
Panglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani bersama Brigjen TNI Sintong Panjaitan. Foto/SINDOnews/Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
A A A
JAKARTA - Reputasi Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani sebagai jenderal anti-islam tak terbantahkan bagi banyak orang. Tapi siapa sangka serdadu Baret Merah yang berpuluh tahun malang-melintang sebagai maestro intelijen itu ternyata pernah hidup di pondok pesantren?

Kisah ini terjadi berpuluh tahun silam. Benny, panggilan karib LB Moerdani , lahir pada 2 Oktober 1932 di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Ayahnya, RG Moerdani Sosrodirdjo, seorang pegawai Nederland Indische Spoorweg Maatschappij alias perusahan kereta api Hindia Belanda. Adapun ibunya, Jeanne Roech, seorang peranakan Jerman yang berprofesi guru TK.

RG Moerdani seorang muslim, sementara Jeanne Katolik. Mereka tetap mempertahankan Agama masing-masing usai menikah. Hanya, seluruh anak dari perkawinan ini dibaptis sejak kecil.

Sebelum menikah dengan Jeanne, Moerdani Sosrodirdjo telah memiliki tiga anak laki-laki dari istri pertamanya yang meninggal dunia. Dengan Jeanne, lahir Benny Moerdani dan saudara-saudaranya. Di keluarga besar itu, Benny merupakan anak ke-6 dari 13 bersaudara. Jika ditarik dari garis ibu kandung (Jeanne Roech), Benny anak ke-3 dari 10 bersaudara.



Kehidupan era kolonial Belanda serbasulit. Benny kecil kerap berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti tugas bapaknya. Pada masa itu, selain Cepu, Moerdani Sosrodirdjo pernah ditugaskan ke Semarang, Solo, hingga Bojonegoro. Mengingat situasi ekonomi zaman perang sangat susah, ditambah keluarga yang makin banyak, beban keluarga pun kian berat.

Pada 1930-an akhir hingga awal 1940-an, Benny dititipkan di Cepu. Di kota kecil penghasil minyak itu dia tinggal di rumah mertua ayahnya dari istri pertama.

"Di sana Benny sempat ikut mondok di Pondok Pesantren Assalam. Pondok yang dikelola Kiai Usman itu berjarak kurang dari 1 km dari rumah mertua ayahnya," tutur Arief Usman, salah satu pengurus pondok yang juga cucu Kiai Usman. Cerita Arief ini tertuang dalam karya akademik Aulia Farah dari UNJ bertajuk “L.B Moerdani: Karier Militer dari Tentara Pelajar sampai Panglima ABRI (1945-1988)”, dikutip Senin (10/4/2023).



Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid punya kisah tersendiri mengenai masa-masa Benny ‘nyantri’ di pondok tersebut. Kendati lahir, dibaptis kemudian menganut Katolik sebagaimana ibunya, berada di Pesantren Assalam bagi Benny ternyata memberikan kegembiraan.

Apa yang dirasakannya itu lantas diceritakan kepada Gus Dur, kelak ketika dia mengajak mantan ketua umum PBNU itu jalan-jalan ke Blora.

“Itulah masa yang paling berbahagia dalam hidupnya karena ia tinggal di sebuah pondok pesantren,” ucap Gus Dur dalam tulisannya ‘Orang Besar’, yang diunggah laman Gusdurian. Gus Dur mula-mula mengenal Benny pada 1975 pada suatu acara.

Pertemuan pertama itu, bagi Gus Dur, tak seperti dipersepsikan banyak orang. Benny yang oleh mayoritas publik dianggap angker dan misterius karena tak banyak senyum, justru sebaliknya.

Menurut cucu pendiri NU Hadaratusyekh Hasyim Asyari ini, jenderal ‘bertampang besi’ tersebut dengan ramah berbincang mengenai banyak hal, termasuk tentang pondok pesantren.

“Penulis agak terkejut, karena dia mengenal liku-liku pondok pesantren, dan menganggapnya sebagai institusi yang perlu tetap dipertahankan wujudnya di negeri kita,” tutur Gus Dur.

Dari Operasi Naga ke Cendana


Karier militer Benny dimulai di usia sangat belia. Dia baru duduk kelas 1 SMP Negeri IV Banjarsari ketika turut dalam penyerangan kempetei di Solo pada 12 Oktober 1945. Tak lama setelah itu, dia bergabung dengan Tentara Pelajar. Seiring perjalanan waktu, melalui Pusat Pendidikan Angkatan Darat (P3AD), Benny meniti karier militernya.

Menurut Julius Pour, Benny memulai pelatihannya pada 1951 dan terpilih ikut pendidikan tambahan di Sekolah Pelatih Infanteri (SPI). Begitu lulus tahun 1952, pangkatnya Letnan Cadangan (Pembantu Letnan Satu). “Ia ditempatkan sebagai instruktur dalam Sekolah Kader Infanteri. Pada tanggal 4 Juli 1954, Benny dilantik menjadi Letnan Dua Infanteri dan resmi sebagai perwira militer professional,” tulis Pour dalam ‘Benny: Tragedi Seorang Loyalis’ (hal 37).

Pertautan Benny dengan Soeharto dimulai ketika berlangsung operasi pembebasan Irian Barat (kini Papua) dari cengkeraman kolonial Belanda. Benny yang berpangkat mayor dari pasukan elite Resimen Para Komando Angkatan Darat memimpin Operasi Naga. Atasannya langsung yaitu Soeharto yang ditugasi sebagai Panglima Komando Mandala. Keberanian Benny di medan tempur, semangat pantang menyerah dan tekad baja melawan musuh, dicermati Soeharto.

Benny petarung sejati. Dia gemilang menumpas pemberontakan PRRI/Permesta serta pantang mundur di garis depan konfrontasi Indonesia-Malaysia. Tapi salah satu pencapaian monumentalnya terjadi saat berlangsung peristiwa pembajakan pesawat Woyla oleh Komando Jihad di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Benny yang kala itu Asintel Hankam menjadi aktor penting mengorkestrasi pembebasan sandera.

Kedekatan dengan Cendana tak terbendung ketika Soeharto merestuinya langsung sebagai Panglima ABRI menggantikan Jenderal TNI M Jusuf. Terdapat cerita menarik bagaimana Pak Harto menginginkan Benny untuk memegang tongkat komando tertinggi ABRI.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengungkapkan, ketika memutuskan Benny sebagai Panglima, Soeharto menggunakan caranya yang sangat khas: kalem dan halus. Maksudnya, Soeharto tak langsung menyebut nama Benny sebagai penerus Jusuf, melainkan dengan kode tertentu.

Saat disodorkan tiga nama jenderal bintang tiga: Himawan Susanto, Yogie S Memet dan Soesilo Sudarman, penguasa Cendana itu justru mencari 'anak emas'-nya.

“Benny ada di mana sekarang?” tanya mantan Pangkostrad itu, ditulis Prabowo dalam buku biografinya ‘Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto’.

Pertanyaan ini jelas sebuah sinyal. Dalam pandangan Prabowo, tidak mungkin Pak Harto tidak tahu di mana Benny Moerdani berada.

Adapun Jusuf mengakui dirinya semula tak merekomendasi Benny sebagai calon Pangab. Bukan apa-apa, ahli intelijen itu baru bintang dua, tak pernah jadi pangdam, juga belum pernah mengenyam pendidikan Seskoad.

Apa lacur, Soeharto bergeming. Tidak hanya dipasrahi jabatan Pangab, Benny juga diplot sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamnan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Siapa pun tahu, Kopkamtib semula dibentuk Harto untuk membersihkan sisa-sisa PKI. Tapi, lembaga ini lama-lama menjadi ‘organisasi super’ dan acap diidentikkan sebagai tameng Soeharto untuk membabat semua gerakan/tindakan yang berlawanan dengannya.

Dicap Memusuhi Islam


Hubungan Soeharto dengan kalangan Islam Indonesia diwarnai pasang-surut. Di awal pemerintahan Orde Baru, Harto banyak menekan kelompok muslim. Sikap ini diduga kuat karena latar belakangnya yang abangan, juga pemikirannya bahwa kelompok Islam sangat mungkin menghambat ambisi politiknya. Ketegangan makin terjadi karena banyak kebijakan Orba yang memojokkan bahkan mengucilkan Islam.

Situasi ini jelas berbalik drastis dengan harapan kelompok Islam ketika awal Orba. Kalangan muslim tatanan pemerintahan Soeharto lebih baik dibandingkan Demokrasi Terpimpin.

Nyatanya, Harto bukan saja menyingkirkan kepentingan-kepentingan PKI di pemerintahan. “Tetapi juga menyingkirkan kepentingan umat Islam yang dianggap pernah melanggar UUD 1945 dan Pancasila,” kata Muhammad Hisyam dalam ‘Krisi Masa Kini dan Orde Baru’.

Konsekuensi kebijakan Orba yang alergi terhdap Islam menyeret Benny. Sebagai jenderal di lingkaran inti Soeharto, tentara berwajah dingin itu dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari scenario ‘mengebiri’ kelompok Islam. Pendek kata, Benny pun dicap sebagai sosok anti-Islam.

Akademisi, pakar politik sekaligus wartawan senior Salim Said mempertegas persepsi tersebut. Menurutnya, di luar lingkumgan Presiden, musuh besar Benny adalah golongan Islam. Paling sedikit Benny dipersepsikan oleh mayoritas umat Islam Indonesia waktu itu sebagai musuh yang menakutkan.

Moerdani, kata dia, bukan tidak sadar akan posisinya yang sulit karena persepsi golongan Islam yang demikian. Karena itu, sejak lama Benny mendekati Gus Dur untuk melindungi dirinya dari tuduhan anti-Islam. Ketika Gus Dur mengadakan muktamar NU di Situbondo tahun 1984, mengutip Jusuf Wanandi, Moerdani membantunya habis-habisan.

Benny jelas tak mau dituding begitu saja. Mantan konsul jenderal di Seoul, Korsel itu menentang keras anggapan tersebut. "Kok saya yang dituduh anti-Islam. Soeharto itu yang anti-Islam," kata Benny kepada Salim Said. Perbincangan ini ditulis Salim dalam bukunya, ‘Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto’ (hal 116).

Benny meninggal dunia di RSPAD Gatot Soebroto, Minggu 29 Agustus 2004 karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2404 seconds (0.1#10.140)