Pengamat Sebut Penundaan Pelantikan Tamsil Linrung Tak Hormati DPD
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sikap pimpinan MPR yang tak kunjung melantik Tamsil Linrung sebagai Wakil Ketua MPR menggantikan Fadel Muhammad dinilai tidak menghormati kelembagaan DPD . Sebab, penggantian itu didasarkan pada putusan paripurna DPD.
Penilaian ini disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Negeri Makassar (UNM), Muhtar kepada wartawan, Kamis (6/4/2023). Menurutnya, dari sisi kelembagaan, sikap pimpinan MPR ini tidak menghormati DPD. Padahal saat ini MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, sehingga seharusnya menghormati dinamika di masing-masing lembaga.
"Sudah cukup proses formil yang ada di DPD terkait penggantian wakil ketua MPR dari unsur DPD, ini harus dihormati oleh pimpinan MPR dalam hubungan kelembagaan. Tidak bisa hal ini diabaikan," kata Muhtar.
Secara ketatanegaraan, kata Muhtar, penundaan pelantikan Tamsil Linrung menjadi Wakil Ketua MPR dari unsur DPD merupakan praktik yang tidak benar. Hal itu merupakan praktik buruk dalam penyelenggaraan ketatanegaraan, karena menghambat proses yang harusnya berjalan normal.
"DPD dilecehkan oleh MPR karena MPR tidak menyikapi masalah ini secara bijak sesuai dengan mekanisme ketatanegaraan," ujar Muhtar.
Ia menjelaskan, penggantian personel DPD ini semestinya sudah bisa dilakukan karena Fadel Muhammad telah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PUTN). Hasilnya, Majelis hakim menolak gugatan tersebut karena menganggap penggantian Wakil Ketua MPR merupakan kewenangan lembaga. Namun Fadel kemudian mengajukan upaya hukum lainnya.
"Seharusnya upaya hukum lain yang dilakukan Fadel Muhammad tidak boleh menghalangi poses yang sedang berjalan," kata Muhtar.
Dalam asas hukum administrasi negara, kata Muhtar, semua keputusan lembaga harus dianggap benar, sebelum ada keputusan yang memutuskan sebaliknya. "Logikanya sederhana, kalau proses ini berjalan sesuai mekanisme yang berlaku seharusnya tidak ada alasan untuk melakukan penundaan pelantikan Tamsil Linrung," katanya.
Jika penundaan pelantikan gara-gara menunggu proses hukum inkrah menjadi tren, maka Tamsil Linrung ini bisa menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan negara di masa mendatang. Hal itu akan menghambat laju ketatanegaraan.
Penilaian ini disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Negeri Makassar (UNM), Muhtar kepada wartawan, Kamis (6/4/2023). Menurutnya, dari sisi kelembagaan, sikap pimpinan MPR ini tidak menghormati DPD. Padahal saat ini MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, sehingga seharusnya menghormati dinamika di masing-masing lembaga.
"Sudah cukup proses formil yang ada di DPD terkait penggantian wakil ketua MPR dari unsur DPD, ini harus dihormati oleh pimpinan MPR dalam hubungan kelembagaan. Tidak bisa hal ini diabaikan," kata Muhtar.
Secara ketatanegaraan, kata Muhtar, penundaan pelantikan Tamsil Linrung menjadi Wakil Ketua MPR dari unsur DPD merupakan praktik yang tidak benar. Hal itu merupakan praktik buruk dalam penyelenggaraan ketatanegaraan, karena menghambat proses yang harusnya berjalan normal.
"DPD dilecehkan oleh MPR karena MPR tidak menyikapi masalah ini secara bijak sesuai dengan mekanisme ketatanegaraan," ujar Muhtar.
Ia menjelaskan, penggantian personel DPD ini semestinya sudah bisa dilakukan karena Fadel Muhammad telah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PUTN). Hasilnya, Majelis hakim menolak gugatan tersebut karena menganggap penggantian Wakil Ketua MPR merupakan kewenangan lembaga. Namun Fadel kemudian mengajukan upaya hukum lainnya.
"Seharusnya upaya hukum lain yang dilakukan Fadel Muhammad tidak boleh menghalangi poses yang sedang berjalan," kata Muhtar.
Dalam asas hukum administrasi negara, kata Muhtar, semua keputusan lembaga harus dianggap benar, sebelum ada keputusan yang memutuskan sebaliknya. "Logikanya sederhana, kalau proses ini berjalan sesuai mekanisme yang berlaku seharusnya tidak ada alasan untuk melakukan penundaan pelantikan Tamsil Linrung," katanya.
Jika penundaan pelantikan gara-gara menunggu proses hukum inkrah menjadi tren, maka Tamsil Linrung ini bisa menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan negara di masa mendatang. Hal itu akan menghambat laju ketatanegaraan.