Refly Harun Sebut Langkah Pimpinan MPR Tunda Pelantikan Tamsil Linrung Melawan Hukum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan jika pelantikan Wakil Ketua MPR dari unsur DPD RI, Tamsil Linrung harus menunggu proses hukum yang dilakukan Fadel Muhammad selesai merupakan cara berpikir orang yang tidak paham hukum.
Hal ini disampaikan Refly terkait dengan belum dilantiknya Tamsil Linrung dengan alasan masih harus menunggu proses hukum yang diajukan Fadel Muhammad inkrah. Pihak DPD RI sudah memutuskan pergantian Fadel dengan Tamsil dalam Rapat Paripurna DPD RI dan sudah diajukan secara resmi ke pimpinan MPR.
“Ngapain menunggu proses hukum yang inkracht. Kalau begitu caranya, setiap pergantian apa pun, gugat saja di pengadilan. Tidak akan pernah selesai selesai. Itu cara berpikirnya orang yang tidak paham hukum,” ujar Refly dalam siaran pers, Jumat (17/3/2023).
Refly menyayangkan pelantikan yang tertunda berlarut-larut ini. Padahal, menurutnya, penundaan pelantikan ini tidak berdasar.
Pimpinan MPR tidak berhak menilai proses politik yang terjadi di DPD. Dinamika di lembaga para senator itu, hanya bisa dibatalkan oleh anggota DPD. Pembatalan itu pun mesti melalui Paripurna.
Apa yang dilakukan oleh pimpinan MPR dengan tidak melantik Tamsil Linrung merupakan perbuatan melawan hukum. “Bisa digugat secara perdata, karena sudah menimbulkan kerugian moril dan materil yang bisa dihitung,” ungkapnya.
Proses politik pemberhentian Fadel dan terpilihnya Tamsil Linrung tidak boleh dibatalkan atau ditunda hanya karena adanya gugatan kepada Ketua DPD RI. “Itu adalah keputusan politik. Keputusan politik itu, tidak bisa di PTUN kan. Adapun Surat Keputusan (SK) pimpinan, itu akibat dari keputusan politik. Sama seperti misalnya, tidak bisa kita membatalkan hasil pemilu dengan menggugat SK Presiden,” papar Refly.
Sementara, Wakil Ketua MPR Tamsil Linrung membeberkan telah hadir memenuhi surat panggilan PTUN Jakarta untuk memberikan keterangan. “Saya telah memberikan keterangan kepada PTUN. Menjelaskan secara komprehensif disertai dokumen tertulis setebal 149 halaman. Dokumen tersebut juga dalam proses dikirim kepada Ketua MPR dan para Wakil Ketua MPR, serta ditembuskan ke fraksi masing-masing,” ungkap Tamsil.
Menurut senator asal Sulawesi Selatan ini, ia menunggu respons dari pimpinan MPR. Tamsil juga mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan. Tamsil menilai sikap pimpinan MPR membahayakan lembaga tinggi negara tersebut karena menimbulkan preseden ketidakpatuhan pada sistem ketatanegaraan.
Sementara itu, Ketua DPD LaNyalla Matalitti dalam pernyataannya meminta segera digelar rapat gabungan fraksi, kelompok DPD, dan pimpinan MPR untuk melantik Tamsil Linrung. “Pimpinan MPR untuk menghormati dan menindaklanjuti hasil Sidang Paripurna DPD tersebut, karena Sidang Paripurna merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan," kata La Nyala dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (14/3/2023).
Menurut La Nyalla, jawaban Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara jelas menyatakan keputusan yang dikeluarkan oleh Pimpinan DPD, diterbitkan dalam menjalankan wewenang ketatanegaraan yang dimiliki oleh DPD RI sesuai fungsi, tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga tinggi negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
Hal ini disampaikan Refly terkait dengan belum dilantiknya Tamsil Linrung dengan alasan masih harus menunggu proses hukum yang diajukan Fadel Muhammad inkrah. Pihak DPD RI sudah memutuskan pergantian Fadel dengan Tamsil dalam Rapat Paripurna DPD RI dan sudah diajukan secara resmi ke pimpinan MPR.
“Ngapain menunggu proses hukum yang inkracht. Kalau begitu caranya, setiap pergantian apa pun, gugat saja di pengadilan. Tidak akan pernah selesai selesai. Itu cara berpikirnya orang yang tidak paham hukum,” ujar Refly dalam siaran pers, Jumat (17/3/2023).
Refly menyayangkan pelantikan yang tertunda berlarut-larut ini. Padahal, menurutnya, penundaan pelantikan ini tidak berdasar.
Pimpinan MPR tidak berhak menilai proses politik yang terjadi di DPD. Dinamika di lembaga para senator itu, hanya bisa dibatalkan oleh anggota DPD. Pembatalan itu pun mesti melalui Paripurna.
Apa yang dilakukan oleh pimpinan MPR dengan tidak melantik Tamsil Linrung merupakan perbuatan melawan hukum. “Bisa digugat secara perdata, karena sudah menimbulkan kerugian moril dan materil yang bisa dihitung,” ungkapnya.
Proses politik pemberhentian Fadel dan terpilihnya Tamsil Linrung tidak boleh dibatalkan atau ditunda hanya karena adanya gugatan kepada Ketua DPD RI. “Itu adalah keputusan politik. Keputusan politik itu, tidak bisa di PTUN kan. Adapun Surat Keputusan (SK) pimpinan, itu akibat dari keputusan politik. Sama seperti misalnya, tidak bisa kita membatalkan hasil pemilu dengan menggugat SK Presiden,” papar Refly.
Sementara, Wakil Ketua MPR Tamsil Linrung membeberkan telah hadir memenuhi surat panggilan PTUN Jakarta untuk memberikan keterangan. “Saya telah memberikan keterangan kepada PTUN. Menjelaskan secara komprehensif disertai dokumen tertulis setebal 149 halaman. Dokumen tersebut juga dalam proses dikirim kepada Ketua MPR dan para Wakil Ketua MPR, serta ditembuskan ke fraksi masing-masing,” ungkap Tamsil.
Menurut senator asal Sulawesi Selatan ini, ia menunggu respons dari pimpinan MPR. Tamsil juga mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan. Tamsil menilai sikap pimpinan MPR membahayakan lembaga tinggi negara tersebut karena menimbulkan preseden ketidakpatuhan pada sistem ketatanegaraan.
Sementara itu, Ketua DPD LaNyalla Matalitti dalam pernyataannya meminta segera digelar rapat gabungan fraksi, kelompok DPD, dan pimpinan MPR untuk melantik Tamsil Linrung. “Pimpinan MPR untuk menghormati dan menindaklanjuti hasil Sidang Paripurna DPD tersebut, karena Sidang Paripurna merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan," kata La Nyala dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (14/3/2023).
Menurut La Nyalla, jawaban Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara jelas menyatakan keputusan yang dikeluarkan oleh Pimpinan DPD, diterbitkan dalam menjalankan wewenang ketatanegaraan yang dimiliki oleh DPD RI sesuai fungsi, tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga tinggi negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
(kri)