Melawan Pusaran Badai Pasca-Indonesia Batal Tuan Rumah Piala Dunia U-20
loading...
A
A
A
Hendri Satrio
Analis Komunikasi Politik, Ketua Umum Sepakbola Indonesia Juara (SIJ)
PADA Selasa (28/03/2023) lalu, saya menulis di harian KORAN SINDO artikel mengenai Presiden Joko Widodo dengan judul Jokowi di Pusaran Polemik Timnas U-20 Israel.
Akhirnya, kita sama-sama saksikan, Presiden Jokowi menyampaikan kekecewaan dan kesedihannya setelah FIFA membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah pada Rabu (29/3) malam. Setidaknya, kesedihan dan kekecewaan Presiden Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia khususnya pencinta sepakbola nasional, merupakan akhir dari pusaran polemik pro kontra kehadiran timnas Israel dalam ajang Piala Dunia U-20.
Baca Juga: koran-sindo.com
Gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah adalah resultan dari tiga faktor, yakni pertarungan tiga kepentingan politik menjelang Pemilu 2024. Faktor pertama sekaligus yang menjadi aktornya adalah PDI-Perjuangan. Penolakan dari pentolan-pentolan partai, seperti Wayan Koster, Ganjar Pranowo, hingga DPD DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, kota-kota yang menjadi tuan rumah perhelatan Piala Dunia U-20, menunjukkan adanya pergerakan sistematis dari mesin partai.
Ada tiga kepentingan PDI Perjuangan terhadap isu kehadiran timnas Israel. Pertama, partai ini khawatir gerakan anti-Israel akan memperkuat posisi Islam kanan, yang menolak kehadiran timnas Israel. Kedua, jika timnas Israel diizinkan bermain, kelompok-kelompok Islam kanan, akan bereaksi lebih keras lagi, bahkan bisa memainkan isu Presiden melanggar mukadimah konstitusi. Ketiga, PDI Perjuangan ingin mendapatkan simpati dari pemilih Islam dan bangsa-bangsa Arab.
Partai ini kemudian memainkan romantisme sejarah di mana Bung Karno pada 1957 silam menolak dengan tegas, timnas Indonesia bertanding dengan Israel, padahal timnas ketika itu sudah lolos ke babak kedua kualifikasi Piala Dunia 1958. Dalam peringatan Sumpah Pemuda di Istora Senaya, Bung Karno dengan lantang menyuarakan timnas Indonesia tidak akan pernah bermain sepakbola dengan Israel sampai Palestina merdeka.
Situasi geopolitik saat itu memang mengharuskan Bung Karno untuk mengambil sikap politik menentang Israel, karena di saat bersamaan, dirinya membutuhkan dukungan politik negara-negara Arab untuk merebut Papua di Sidang Umum PBB 1957. Di tengah pusaran konstelasi politik, PSSI waktu itu sudah mencoba berbagai skenario, seperti meminta agar pertandingan digelar di negara yang netral, namun ditolak oleh FIFA. Alhasil, Indonesia dikenakan sanksi oleh FIFA.
Sebetulnya, sikap frontal Bung Karno dilakukan sepenuhnya demi kepentingan nasional, merebut kembali Papua. Seperti kata Bung Karno, internasionalisme dan nasionalisme harus berdampingan namun kepentingan nasional harus diutamakan. Internasionaslime tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam bumi nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansari internasionalisme, kata Bung Karno.
Apalagi sejarah mencatat hanya ada 5 negara yang menolak melakukan pertandingan dengan timnas Israel, yakni Indonesia pada saat kualifikasi Piala Dunia 1958 dan Asian Games 1962, pemerintah Mesir dan Turki pada 1958, Pemerintah Iran dan Argentina saat pertandingan ujicoba pada pada 2018. Dengan demikian, sebetulnya tidak terlalu relevan memainkan isu Bung Karno, dan penolakan timnas Israel, karena justru kepentingan nasional menjadi terabaikan.
Analis Komunikasi Politik, Ketua Umum Sepakbola Indonesia Juara (SIJ)
PADA Selasa (28/03/2023) lalu, saya menulis di harian KORAN SINDO artikel mengenai Presiden Joko Widodo dengan judul Jokowi di Pusaran Polemik Timnas U-20 Israel.
Akhirnya, kita sama-sama saksikan, Presiden Jokowi menyampaikan kekecewaan dan kesedihannya setelah FIFA membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah pada Rabu (29/3) malam. Setidaknya, kesedihan dan kekecewaan Presiden Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia khususnya pencinta sepakbola nasional, merupakan akhir dari pusaran polemik pro kontra kehadiran timnas Israel dalam ajang Piala Dunia U-20.
Baca Juga: koran-sindo.com
Gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah adalah resultan dari tiga faktor, yakni pertarungan tiga kepentingan politik menjelang Pemilu 2024. Faktor pertama sekaligus yang menjadi aktornya adalah PDI-Perjuangan. Penolakan dari pentolan-pentolan partai, seperti Wayan Koster, Ganjar Pranowo, hingga DPD DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, kota-kota yang menjadi tuan rumah perhelatan Piala Dunia U-20, menunjukkan adanya pergerakan sistematis dari mesin partai.
Ada tiga kepentingan PDI Perjuangan terhadap isu kehadiran timnas Israel. Pertama, partai ini khawatir gerakan anti-Israel akan memperkuat posisi Islam kanan, yang menolak kehadiran timnas Israel. Kedua, jika timnas Israel diizinkan bermain, kelompok-kelompok Islam kanan, akan bereaksi lebih keras lagi, bahkan bisa memainkan isu Presiden melanggar mukadimah konstitusi. Ketiga, PDI Perjuangan ingin mendapatkan simpati dari pemilih Islam dan bangsa-bangsa Arab.
Partai ini kemudian memainkan romantisme sejarah di mana Bung Karno pada 1957 silam menolak dengan tegas, timnas Indonesia bertanding dengan Israel, padahal timnas ketika itu sudah lolos ke babak kedua kualifikasi Piala Dunia 1958. Dalam peringatan Sumpah Pemuda di Istora Senaya, Bung Karno dengan lantang menyuarakan timnas Indonesia tidak akan pernah bermain sepakbola dengan Israel sampai Palestina merdeka.
Situasi geopolitik saat itu memang mengharuskan Bung Karno untuk mengambil sikap politik menentang Israel, karena di saat bersamaan, dirinya membutuhkan dukungan politik negara-negara Arab untuk merebut Papua di Sidang Umum PBB 1957. Di tengah pusaran konstelasi politik, PSSI waktu itu sudah mencoba berbagai skenario, seperti meminta agar pertandingan digelar di negara yang netral, namun ditolak oleh FIFA. Alhasil, Indonesia dikenakan sanksi oleh FIFA.
Sebetulnya, sikap frontal Bung Karno dilakukan sepenuhnya demi kepentingan nasional, merebut kembali Papua. Seperti kata Bung Karno, internasionalisme dan nasionalisme harus berdampingan namun kepentingan nasional harus diutamakan. Internasionaslime tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam bumi nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansari internasionalisme, kata Bung Karno.
Apalagi sejarah mencatat hanya ada 5 negara yang menolak melakukan pertandingan dengan timnas Israel, yakni Indonesia pada saat kualifikasi Piala Dunia 1958 dan Asian Games 1962, pemerintah Mesir dan Turki pada 1958, Pemerintah Iran dan Argentina saat pertandingan ujicoba pada pada 2018. Dengan demikian, sebetulnya tidak terlalu relevan memainkan isu Bung Karno, dan penolakan timnas Israel, karena justru kepentingan nasional menjadi terabaikan.