Melawan Pusaran Badai Pasca-Indonesia Batal Tuan Rumah Piala Dunia U-20

Sabtu, 01 April 2023 - 12:56 WIB
loading...
Melawan Pusaran Badai Pasca-Indonesia Batal  Tuan Rumah Piala Dunia U-20
Hendri Satrio (Foto: Ist)
A A A
Hendri Satrio
Analis Komunikasi Politik, Ketua Umum Sepakbola Indonesia Juara (SIJ)

PADA Selasa (28/03/2023) lalu, saya menulis di harian KORAN SINDO artikel mengenai Presiden Joko Widodo dengan judul Jokowi di Pusaran Polemik Timnas U-20 Israel.

Akhirnya, kita sama-sama saksikan, Presiden Jokowi menyampaikan kekecewaan dan kesedihannya setelah FIFA membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah pada Rabu (29/3) malam. Setidaknya, kesedihan dan kekecewaan Presiden Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia khususnya pencinta sepakbola nasional, merupakan akhir dari pusaran polemik pro kontra kehadiran timnas Israel dalam ajang Piala Dunia U-20.

Baca Juga: koran-sindo.com

Gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah adalah resultan dari tiga faktor, yakni pertarungan tiga kepentingan politik menjelang Pemilu 2024. Faktor pertama sekaligus yang menjadi aktornya adalah PDI-Perjuangan. Penolakan dari pentolan-pentolan partai, seperti Wayan Koster, Ganjar Pranowo, hingga DPD DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, kota-kota yang menjadi tuan rumah perhelatan Piala Dunia U-20, menunjukkan adanya pergerakan sistematis dari mesin partai.

Ada tiga kepentingan PDI Perjuangan terhadap isu kehadiran timnas Israel. Pertama, partai ini khawatir gerakan anti-Israel akan memperkuat posisi Islam kanan, yang menolak kehadiran timnas Israel. Kedua, jika timnas Israel diizinkan bermain, kelompok-kelompok Islam kanan, akan bereaksi lebih keras lagi, bahkan bisa memainkan isu Presiden melanggar mukadimah konstitusi. Ketiga, PDI Perjuangan ingin mendapatkan simpati dari pemilih Islam dan bangsa-bangsa Arab.

Partai ini kemudian memainkan romantisme sejarah di mana Bung Karno pada 1957 silam menolak dengan tegas, timnas Indonesia bertanding dengan Israel, padahal timnas ketika itu sudah lolos ke babak kedua kualifikasi Piala Dunia 1958. Dalam peringatan Sumpah Pemuda di Istora Senaya, Bung Karno dengan lantang menyuarakan timnas Indonesia tidak akan pernah bermain sepakbola dengan Israel sampai Palestina merdeka.

Situasi geopolitik saat itu memang mengharuskan Bung Karno untuk mengambil sikap politik menentang Israel, karena di saat bersamaan, dirinya membutuhkan dukungan politik negara-negara Arab untuk merebut Papua di Sidang Umum PBB 1957. Di tengah pusaran konstelasi politik, PSSI waktu itu sudah mencoba berbagai skenario, seperti meminta agar pertandingan digelar di negara yang netral, namun ditolak oleh FIFA. Alhasil, Indonesia dikenakan sanksi oleh FIFA.

Sebetulnya, sikap frontal Bung Karno dilakukan sepenuhnya demi kepentingan nasional, merebut kembali Papua. Seperti kata Bung Karno, internasionalisme dan nasionalisme harus berdampingan namun kepentingan nasional harus diutamakan. Internasionaslime tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam bumi nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansari internasionalisme, kata Bung Karno.

Apalagi sejarah mencatat hanya ada 5 negara yang menolak melakukan pertandingan dengan timnas Israel, yakni Indonesia pada saat kualifikasi Piala Dunia 1958 dan Asian Games 1962, pemerintah Mesir dan Turki pada 1958, Pemerintah Iran dan Argentina saat pertandingan ujicoba pada pada 2018. Dengan demikian, sebetulnya tidak terlalu relevan memainkan isu Bung Karno, dan penolakan timnas Israel, karena justru kepentingan nasional menjadi terabaikan.

Faktor kedua adalah tekanan dari kelompok kepentingan berbasiskan massa Islam, yakni Partai Keadilan Sejahtera, Persaudaraan Alumni 212, BDS Indonesia (Boycott, Divestment, and Sanction), Mer-C, Aqsa Workin Group, KISDI, Aliansi Solo Raya, dan PP KAMMI. Ditambah organisasi kemasyaratan dan keagamaan yang mewakili kalangan Islam seperti PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia. Mereka memang memiliki alasan ideologis yang kuat terhadap perjuangan kemerdekaan negara Palestina.

Faktor ketiga adalah koordinasi dan kepemimpinan yang lemah dari menteri-menteri yang terkait secara langsung dengan event dan isu ini. Begitu isu anti-Israel muncul, tidak ada kementerian yang siap mengantisipasinya. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan PSSI saling lempar tangan. PSSI menyatakan urusan diplomasi dan kehadiran timnas Israel adalah urusan diplomatik Kemenlu, sementara Kemenlu menyatakan urusan Piala Dunia U-20 dan tim peserta adalah urusan PSSI semata.

Selain itu, tersirat jelas juga Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Jawa Timur, dan Gubernur Bali, tidak dilibatkan dalam rapat-rapat persiapan Piala Dunia U-20. Tidak heran, meski sudah ada perjanjian yang ditandatangani lima kepala daerah yang jadi tuan rumah, dua kepala daerah berani melanggarnya dan Menko PMK baru mendatangi kepala daerah tersebut untuk membujuk setelah mereka menyatakan penolakannya ke publik.

Tampaknya, tidak ada rapat kabinet yang membahas persoalan kisruh timnas Israel ini. Bahkan, saya tidak tahu, apakah syarat-syarat buat Israel ketika tampil bertanding, yang disampaikan Menko PMK Muhadjir Effendy kepada FIFA sudah dibahas di rapat kabinet. Syarat Indonesia ini kemudian ditolak FIFA karena badan ini menganut asas non-diskriminasi.

PSSI juga lalai mengantisipasi kehadiran timnas Israel. Ketika Israel tampil peringkat kedua di Slovakia otomatis mendapatkan tiket. PSSI tidak memandang isu ini menjadi isu penting yang harus diantisipasi di awal.

Alhasil, demi menyelamatkan muka PSSI, Erick Thohir langsung terbang ke Doha, bertemu Presiden FIFA Gianni Infantino, pada Rabu siang. Tampaknya, waktu yang mepet, membuat pertemuan itu tidak mampu mengubah keputusan kolektif yang telah dibuat FIFA. Alhasil, FIFA pada Rabu malam pukul 22.00 waktu setempat, mengumumkan rilis resmi pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah.

Pada pusaran badai pertama ini, kita bersama-sama mengetahui endingnya, yang berujung pada kekecewaan dan kesedihan Presiden Jokowi dan pecinta sepakbola nasional. Ada faktor politik, ada faktor lemahnya koordinasi di internal pemerintahan, ketidaksinkronan langkah, serta faktor kelalaian dan keterlambatan PSSI mengantisipasi isu.

Pusaran Badai Kedua
Kini, Indonesia dihadapi pusaran badai kedua, yakni ancaman sanksi FIFA. Kembali pada kasus pertama, jangan sampai lemahnya koordinasi dan diplomasi, membuat sepakbola Indonesia kembali dirugikan. Siapa kementerian yang bertugas mengawal dan meyakinkan FIFA agar Indonesia terbebas dari sanksi. Mudah-mudahan, Menpora baru yang dilantik Presiden Jokowi minggu depan, dapat langsung memahami isu persoalan dan bertindak cepat dan gesit bersama-sama Ketua Umum PSSI.

Dalam sejarahnya, Indonesia dikenal sebagai "badboy" dan sering terkena sanksi FIFA. Tahun 1957, Indonesia terkena sanksi dilarang ikut serta pada kualifikasi Piala Dunia 1958 dan denda sebesar 5.000 franc. Tahun 2015, FIFA menjatuhkan sanksi timnas dilarang berlaga di kualifikasi Piala DUnia 2018 dan Piala Asia 2019 akibat intervensi pemerintah kepada PSSI.

Tahun 2019, Indonesia terkena dua kali denda 45.000 franc atau senilai Rp 643 juta akibat kericuhan yang terjadi saat Timnas Indonesia melawan Malaysia dan 200.000 franc atau Rp 2,86 miliar saat Malaysia melawan Indonesia. Pada tragedi Kanjuruhan, Indonesia terancam sanksi dari FIFA, namun kegesitan Presiden Jokowi membuat Indonesia terhindar dari sanksi. Kali ini, sanksi FIFA yang mengadang Indonesia adalah pembekuan PSSI dan sepakbola nasional, dilarang berpartisipasi pada agenda-agenda FIFA, hingga dilarang menjadi tuan rumah di masa depan.

What’s Next?
Ke depan, masa depan sepakbola nasional harus diselamatkan, diperbaiki, ditingkatkan, agar bisa secara konsisten peringkat Indonesia naik tiap tahunnya.

Meski berat dan terhantam oleh pusaran badai pertama, sudah saatnya suporter dan pecinta sepakbola segera bangkit. Ketua Umum PSSI Erick Thohir harus bisa mengajak seluruh insan sepakbola untuk membawa Indonesia ke panggung dunia kembali. Jadikan hal ini sebagai momentum perbaikan, introspeksi suporter, bahkan politisi-politisi yang mencampuradukkan sepakbola dengan politik. Ibarat spion, melihat ke belakang untuk maju ke depan.

Semua pihak harus bersepakat untuk kemajuan sepakbola, termasuk yang terpenting adalah menjaga komitmen untuk tidak mengintervensi sepakbola. Intervensi terhadap sepakbola sudah terbukti membuat susah kemajuan sepakbola Indonesia.

Pembatalan ini bukan jurang yang menghentikan prestasi dan perjalanan sepakbola Indonesia. Bahkan pembatalan ini bisa jadi anugerah waktu bagi Sepakbola Indonesia untuk bebenah dan jadi juara.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0997 seconds (0.1#10.140)