UU TPPU dan Sanksi atas Pelanggarannya
loading...
A
A
A
Kekuatan strategi pencegahan tindak pidana pencucian uang dalam praktik terbukti lebih dirasakan penting dan nyata daripada semata-mata strategi penindakan karena kecanggihan teknologi informasi elektronika abad 20 -21 dapat memperkuat transfer dana ilegal (illegal funds transfer) yang sangat cepat dalam hitungan detik dari satu negara ke negara lain (save haven country).
Kecepatan transfer dana tersebut telah menyulitkan penelusuran dan pembekuan harta kekayaan yang berasal dari 23 tindak pidana terkait pencucian uang.
Eksistensi perundang-undangan saja dalam hal tindak pidana pencucian uang tidak menjamin efektivitas dan efisiensi keberhasilan tindak pidana tersebut. Diperlukan sarana dan prasarana terknologi canggih yang dapat memperkuat ketahanan UU TPPU.
PPATK sebagai lembaga satu-satunya yang bertugas dan mempunyai kewenangan dalam hal penelusuran dana yang dicurigai saat ini seharusnya telah memiliki teknologi informasi yang canggih dengan Komisi Pemberanhtasan Korupsi (KPK) dan pihak perbankan sehingga seketika PPATK menerima STR dari pihak bank seketika itu juga KPK menerima laporan STR yang sama dan untuk selanjutnya KPK segera melakukan pemblokiran rekening yang dicurigai di bank pelapor.
Mekanisme pelaporan tersebut telah dilaksanakan pihak AUSTRACK, lembaga semacam PPATK di Australia. Dari aspek hukum dan perundangan dapat dikatakan bahwa, Indonesia telah memiliki perangkat undang-undang yang lengkap diperkuat dengan lembaga PPATK.
Selain ancaman pidana empat tahun bagi setiap orang, termasuk subjek korporasi. juga ancaman pidana paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi yang membocorkan informasi kepada pihak pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
Untuk mencegah kebocoran informasi STR dalam UU TPPU telah diatur ketentuan pidana terhadap orang perorangan maupun korporasi: tindak pokok sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 s/d Pasal 10; dan tindak pidana lain (tambahan) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 s/d Pasal 16. Pengaturan mengenai perihal STR termasuk dalam tindak pidana lain yang terkait TPPU. Sekalipun demikian, pengaturan dan sanksi terhadap pelanggaran STR merupakan ketentuan strategis sebagai entry-point dari TPPU selanjutnya.
Keberadaan UU TPPU dengan ketentuan Pasal 69 juncto Pasal 77 dan 78 menunjukkan bahwa subjek hukum dalam UU TPPU adalah harta kekayaan yang dicurigai berasal dari salah satu dari 23 tindak pidana (Pasal 2) yang merupakan subjek hukum pidana ketiga setelah orang perorangan dan korporasi.
Subjek utama harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana dalam proses beracara berdasarkan praduga bersalah (presumption of guilt) sedangkan pemilik asal harta kekayaan yang bersangkutan tetap digunakan prinsip praduga tak bersalah.
Praduga bersalah atas harta kekayaan didasarkan pada prinsip bahwa harta kekayaan sekecil apa pun yang berasal dari tindak pidana adalah bukan hak milik mutlak pemiliknya, kecuali jika terbukti pemilik harta kekayaan dapat membuktikan sebaliknya.
Kecepatan transfer dana tersebut telah menyulitkan penelusuran dan pembekuan harta kekayaan yang berasal dari 23 tindak pidana terkait pencucian uang.
Eksistensi perundang-undangan saja dalam hal tindak pidana pencucian uang tidak menjamin efektivitas dan efisiensi keberhasilan tindak pidana tersebut. Diperlukan sarana dan prasarana terknologi canggih yang dapat memperkuat ketahanan UU TPPU.
PPATK sebagai lembaga satu-satunya yang bertugas dan mempunyai kewenangan dalam hal penelusuran dana yang dicurigai saat ini seharusnya telah memiliki teknologi informasi yang canggih dengan Komisi Pemberanhtasan Korupsi (KPK) dan pihak perbankan sehingga seketika PPATK menerima STR dari pihak bank seketika itu juga KPK menerima laporan STR yang sama dan untuk selanjutnya KPK segera melakukan pemblokiran rekening yang dicurigai di bank pelapor.
Mekanisme pelaporan tersebut telah dilaksanakan pihak AUSTRACK, lembaga semacam PPATK di Australia. Dari aspek hukum dan perundangan dapat dikatakan bahwa, Indonesia telah memiliki perangkat undang-undang yang lengkap diperkuat dengan lembaga PPATK.
Selain ancaman pidana empat tahun bagi setiap orang, termasuk subjek korporasi. juga ancaman pidana paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi yang membocorkan informasi kepada pihak pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
Untuk mencegah kebocoran informasi STR dalam UU TPPU telah diatur ketentuan pidana terhadap orang perorangan maupun korporasi: tindak pokok sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 s/d Pasal 10; dan tindak pidana lain (tambahan) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 s/d Pasal 16. Pengaturan mengenai perihal STR termasuk dalam tindak pidana lain yang terkait TPPU. Sekalipun demikian, pengaturan dan sanksi terhadap pelanggaran STR merupakan ketentuan strategis sebagai entry-point dari TPPU selanjutnya.
Keberadaan UU TPPU dengan ketentuan Pasal 69 juncto Pasal 77 dan 78 menunjukkan bahwa subjek hukum dalam UU TPPU adalah harta kekayaan yang dicurigai berasal dari salah satu dari 23 tindak pidana (Pasal 2) yang merupakan subjek hukum pidana ketiga setelah orang perorangan dan korporasi.
Subjek utama harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana dalam proses beracara berdasarkan praduga bersalah (presumption of guilt) sedangkan pemilik asal harta kekayaan yang bersangkutan tetap digunakan prinsip praduga tak bersalah.
Praduga bersalah atas harta kekayaan didasarkan pada prinsip bahwa harta kekayaan sekecil apa pun yang berasal dari tindak pidana adalah bukan hak milik mutlak pemiliknya, kecuali jika terbukti pemilik harta kekayaan dapat membuktikan sebaliknya.