Pemilu Buka-Tutup, Parkir Demokrasi

Senin, 20 Maret 2023 - 20:15 WIB
loading...
Pemilu Buka-Tutup, Parkir Demokrasi
Pengamat perilaku politik, Jamsari. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Jamsari
Pengamat Perilaku Politik, Alumni Universitas Muhammadiyah Malang

PERPPU Pemilu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 akan masuk dalam agenda pembahasan di DPR. Hal itu disampaikan oleh Ketua DPR Puan Maharani dalam pidato pada rapat paripurna DPR pembukaan masa persidangan IV tahun sidang 2022-2023, pada 14 Maret 2023 lalu.

Momentum tersebut akan menjadi salah satu penentu sistem Pemilu 2024 mendatang, apakah Pemilu akan dilaksanakan secara proporsional terbuka atau tertutup beriringan dengan uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pidato pembukaan Sidang Paripurna DPR, Puan Maharani menegaskan "penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang, guna memberikan kepastian hukum, terutama untuk penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2024 di sejumlah daerah pemekaran di Papua".

Terdapat beberapa catatan kritis terkait sinyal Ketua DPR tersebut. Pertama, menggodok Perppu menjadi UU harus seirama dengan tegaknya konstitusi UU Dasar 1945 pada Pasal 22 E yang mengamanatkan secara tegas bahwa pemilu harus dilakukan 5 tahun sekali.

Kedua, gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di MK yang didorong oleh kepentingan penggugat yaitu pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) cabang Probolinggo Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi; bakal calon legislatif (bacaleg) 2024 Fachrul Razi; warga Jagakarsa Ibnu Rahman Jaya; warga Pekalongan Riyanto, serta Nono Marijono warga Depok, serasi momentumnya dengan pembahasan materi sidang paripurna tahunan di Senayan oleh DPR. Apakah skenario hukumnya sudah diatur sedemikian rupa, sehingga dapat dimomentumkan secara bersamaan?

Ketiga, gugatan uji materi UU Pemilu di MK masih menuai pro-kontra. Pasalnya, demokrasi yang ditandai oleh terselenggaranya pesta rakyat setiap lima tahun sekali harus menarik mundur sistemnya dari terbuka menjadi tertutup.

Terkait polemik sistem terbuka atau tertutup, mayoritas partai politik sepakat terbuka, sebab rasio analisisnya, salah satu ciri-ciri negara demokrasi mampu ditegakkan adalah melalui pemilihan yang dipilih langsung oleh rakyat.

Bagi penggugat dari PDIP sepakat tertutup dengan alasan keputusan Kongres V PDIP pada 8 Agustus 2019 di Bali memutuskan Pemilu diadakan dengan sistem tertutup mengacu amanah konstitusi, dan dampak dari pemilu terbuka adalah liberalisasi politik, kapitalisasi politik, serta mendorong kaderisasi internal parpol, dan meminimalisasi kecurangan pemilu.

Siapa sebenarnya yang curang dan mencurangi demokrasi kita dalam Pemilu 2019 atau Pemilu sebelumnya dengan sistem proporsional terbuka? Partai mana yang akan diuntungkan oleh sistem tertutup saat ini, dan apakah keuntungan tersebut berpihak penuh pada rakyat atau sebatas keberpihakan kepentingan partai politik tertentu yang mengatasnamakan rakyatnya?

Bagi partai-partai yang sepakat dengan sistem proporsional terbuka selain sebagai alasan penguat pilar demokrasi secara langsung, juga akan memperpanjang ketegangan politik dalam bentuk kepastian hukum yang menyita energi dan waktu sebab mereka sudah merancang sedemikian rupa di internal partai masing-masing dan tiba-tiba dikejutkan oleh gugat-menggugat dan uji-menguji UU Pemilu.

Padahal secara konstitusi UU Pemilu sudah diputuskan serta Perppu terjadi peninjauan kembali untuk disahkan dan harus dikaji ulang dengan melibatkan ragam anggaran, berbagai kepentingan, hingga waktu pemilu kian hari kian mepet dan bersifat seolah-olah dadakan (syok Pemilu).

Perjalanan Sistem Pemilu

Dalam sejarah, pemilu di negara kita dimulai sejak 1955 dengan sistem proporsional tertutup. Kemudian Pemilu II tahun 1971, Pemilu III tahun 1977, Pemilu IV tahun 1982, Pemilu V tahun 1987, Pemilu VI tahun 1992, Pemilu VII tahun 1997, dan Pemilu VIII tahun 1999 (Reformasi), semuanya dilakukan dengan sistem proporsional tertutup.

Dalam sistem tertutup, rakyat hanya memilih partai dan tidak bisa memilih calon anggota legeslatif (caleg) sebagai wakilnya secara langsung baik DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.

Artinya, suara pemilih jika ingin memilih calon yang mewakilinya cukup dengan memilih partai dan jika suara partai terjumlah mencapai ambang batas (parliamentary threshold) kursi, maka akan diberikan kepada calon yang diusung oleh partai berdasarkan nomor urut yang ditentukan partai. Dan apabila partai mendapatkan dua kursi, maka yang berhak menduduki kursi adalah nomor urut satu dan dua.

Kemudian, sistem pemilu proporsional terbuka dimulai sejak tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019. Nalar demokrasinya adalah pemilih dapat memilih langsung caleg yang akan mewakilinya di DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dengan mencontreng atau mencoblos para wakilnya.

Tentu jumlah capaian suaranya adalah sama yaitu ambang batas parlemen yang Pemilu 2009 berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mencapai 2,5%. Lantas Pemilu 2014 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD hingga Pemilu 2019.

Setelah itu terjadi gugatan 14 partai politik bahwa ambang batas 3,5% disetujui oleh MK hanya berlaku untuk DPR bukan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.

Dan, pada Pemilu 2024 mendatang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017, ambang batas parlemen naik, ditetapkan sebesar 4% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan menjadi tolak ukur baru Pemilu 2024 tahun depan, jika gugatan banding KPU dengan Partai Prima dikabulkan dan sengketa administratifnya terselesaikan seiring dengan diputuskanya uji materi UU Pemilu oleh MK.

Dengan ambang batas tersebut, maka partai politik yang perolehan suaranya mencapai 4% dalam pemilihan legislatifnya akan lolos sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.

Ini menyedot perhatian publik dan menjadi harap-harap cemas seperti apa sistem pemilu dilaksanakan nanti? Adakah dampak buruk yang akan terjadi pada masyarakat atau sekedar perubahan tata cara kita dalam berdemokrasi.

Klimaks Pemilu

Seiring berlangsungnya gugatan KPU dan Partai Prima dan akan bergulirnya pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu serta uji materi UU tersebut di MK merupakan proses demokrasi berkelanjutan di negara ini.

Terlepas apakah hal itu syarat dengan kepentingan partai politik penguasa ataupun partai politik oposisi maupun partai politik yang beraliansi untuk kepentingan capres-cawapresnya di Pemilu 2024.

Ini belum selesai, masih tahap sengketa dan masih menimbulkan berbagai prediksi perubahan arah demokrasi (Pemilu) ke depan. Bisa dimenangkan oleh partai politik yang pro sistem Pemilu proporsional terbuka atau sebaliknya.

Pada titik ini, sejarah perjalanan demokrasi kita akan teruji dan terukur kembali apakah makin maju atau makin mundur? Jika indikasinya jalan mundur, maka dilaksanakan secara tertutup. Jika indikasinya adalah kemajuan demokrasi dan keterbukaan arusnya sampai pada lapisan rakyat yang akan memilih wakilnya secara langsung, maka sistem proporsional terbuka bisa dilanjutkan dengan mengevaluasi hasil Pemilu 2019 sebelumnya.

Atau, apakah harus mengambil jalan tengah yaitu mengkomparasikan antara sistem proporsional terbuka dan tertutup dengan menempuh jalan win-win solution (jalan tengah) sebagai sistem Pemilu 2024. Bisa jadi demikian, idealnya adalah jika DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem tertutup, maka Pemilu Pilpresnya digelar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil).

Memilih pada pilihan yang tepat dan akurat memang harus detail secara hukum, dampak kepada masyarakat, dampak terhadap keberlangsungan demokrasi di negeri ini.

Di samping agar tidak terjadi pembengkakan biaya anggaran politik, ruang keadilan demokrasi terlihat progresif untuk lebih terarah berkeadilan bagi seluruh masyarakat dengan kesepekatan jalan tengah sembari menunggu hasil penggodokan Perppu Pemilu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu di DPR serta hasil uji materi dan keputusannya di MK.

Kalau kita telisik lebih jauh hakikat tujuan Pemilu kita ini adalah untuk menyeleksi anak-anak bangsa dalam kapasitas kepemimpinannya untuk mengelola pemerintahan baik eksekutif maupun legeslatif dalam rangka menciptakan bentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh legitimasi rakyat untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional bersama sesuai UUD 1945.

Capaian utama itu tidaklah mudah, perlu proses panjang termasuk dari pemilu ke pemilu baik sistem proporsional terbuka ataupun tertutup dengan pola ambang batasnya 4%, dan hasil cipta Pemilu tersebut merupakan bentuk bergulirnya gagasan demokrasi dalam menangkal faktor-faktor perpecahan antar anak-anak bangsa di parlemen seperti halnya masuknya kelompok-kelompok kecil dan radikal di parlemen kita yang berpotensi merusak sistem pemerintahan dan parlemen sehingga berdampak panjang pada sistem negara kita menjadi tidak stabil.

Demokrasi (Pemilu) kita sedang dihadapkan pada sentimen politik, sentiment system election, dan sentiment law. Merawat pemilu yang luber jurdil sebagai turunan konstitusi yang diwariskan oleh pendiri bangsa ini memang berat.

Banyak terjadi sentimen-sentimen antar anak bangsa yang saling dihadap-hadapkan perseteruan politik, intrik-intrik politik yang dapat mengeraskan karakter dan watak berdemokrasi Pancasila ke depan.

Kalau kita tidak sadar akan posisi cita-cita politik bangsa ini, maka Pemilu hanya akan jadi rutinitas pesta buka-tutup Pemilu, sebatas pintu gerbang “parkir demokrasi” bukan pada perubahan substansi.

Bagaimana kita memandang jauh demokrasi sebagai bentuk kokohnya fondasi bangsa melalui terselenggaranya Pemilu lima tahunan. Jangan sampai terjadi klimaks sebatas euforia demokrasi yang malah mengerdilkan anak-anak bangsa kita sendiri dalam berwawasan politik, hukum, berbangsa, dan bernegara untuk lebih maju.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1162 seconds (0.1#10.140)