Pemilu Buka-Tutup, Parkir Demokrasi
loading...
A
A
A
Bagi partai-partai yang sepakat dengan sistem proporsional terbuka selain sebagai alasan penguat pilar demokrasi secara langsung, juga akan memperpanjang ketegangan politik dalam bentuk kepastian hukum yang menyita energi dan waktu sebab mereka sudah merancang sedemikian rupa di internal partai masing-masing dan tiba-tiba dikejutkan oleh gugat-menggugat dan uji-menguji UU Pemilu.
Padahal secara konstitusi UU Pemilu sudah diputuskan serta Perppu terjadi peninjauan kembali untuk disahkan dan harus dikaji ulang dengan melibatkan ragam anggaran, berbagai kepentingan, hingga waktu pemilu kian hari kian mepet dan bersifat seolah-olah dadakan (syok Pemilu).
Dalam sistem tertutup, rakyat hanya memilih partai dan tidak bisa memilih calon anggota legeslatif (caleg) sebagai wakilnya secara langsung baik DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.
Artinya, suara pemilih jika ingin memilih calon yang mewakilinya cukup dengan memilih partai dan jika suara partai terjumlah mencapai ambang batas (parliamentary threshold) kursi, maka akan diberikan kepada calon yang diusung oleh partai berdasarkan nomor urut yang ditentukan partai. Dan apabila partai mendapatkan dua kursi, maka yang berhak menduduki kursi adalah nomor urut satu dan dua.
Kemudian, sistem pemilu proporsional terbuka dimulai sejak tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019. Nalar demokrasinya adalah pemilih dapat memilih langsung caleg yang akan mewakilinya di DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dengan mencontreng atau mencoblos para wakilnya.
Tentu jumlah capaian suaranya adalah sama yaitu ambang batas parlemen yang Pemilu 2009 berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mencapai 2,5%. Lantas Pemilu 2014 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD hingga Pemilu 2019.
Setelah itu terjadi gugatan 14 partai politik bahwa ambang batas 3,5% disetujui oleh MK hanya berlaku untuk DPR bukan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Dan, pada Pemilu 2024 mendatang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017, ambang batas parlemen naik, ditetapkan sebesar 4% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan menjadi tolak ukur baru Pemilu 2024 tahun depan, jika gugatan banding KPU dengan Partai Prima dikabulkan dan sengketa administratifnya terselesaikan seiring dengan diputuskanya uji materi UU Pemilu oleh MK.
Dengan ambang batas tersebut, maka partai politik yang perolehan suaranya mencapai 4% dalam pemilihan legislatifnya akan lolos sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.
Ini menyedot perhatian publik dan menjadi harap-harap cemas seperti apa sistem pemilu dilaksanakan nanti? Adakah dampak buruk yang akan terjadi pada masyarakat atau sekedar perubahan tata cara kita dalam berdemokrasi.
Padahal secara konstitusi UU Pemilu sudah diputuskan serta Perppu terjadi peninjauan kembali untuk disahkan dan harus dikaji ulang dengan melibatkan ragam anggaran, berbagai kepentingan, hingga waktu pemilu kian hari kian mepet dan bersifat seolah-olah dadakan (syok Pemilu).
Perjalanan Sistem Pemilu
Dalam sejarah, pemilu di negara kita dimulai sejak 1955 dengan sistem proporsional tertutup. Kemudian Pemilu II tahun 1971, Pemilu III tahun 1977, Pemilu IV tahun 1982, Pemilu V tahun 1987, Pemilu VI tahun 1992, Pemilu VII tahun 1997, dan Pemilu VIII tahun 1999 (Reformasi), semuanya dilakukan dengan sistem proporsional tertutup.Dalam sistem tertutup, rakyat hanya memilih partai dan tidak bisa memilih calon anggota legeslatif (caleg) sebagai wakilnya secara langsung baik DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.
Artinya, suara pemilih jika ingin memilih calon yang mewakilinya cukup dengan memilih partai dan jika suara partai terjumlah mencapai ambang batas (parliamentary threshold) kursi, maka akan diberikan kepada calon yang diusung oleh partai berdasarkan nomor urut yang ditentukan partai. Dan apabila partai mendapatkan dua kursi, maka yang berhak menduduki kursi adalah nomor urut satu dan dua.
Kemudian, sistem pemilu proporsional terbuka dimulai sejak tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019. Nalar demokrasinya adalah pemilih dapat memilih langsung caleg yang akan mewakilinya di DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dengan mencontreng atau mencoblos para wakilnya.
Tentu jumlah capaian suaranya adalah sama yaitu ambang batas parlemen yang Pemilu 2009 berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mencapai 2,5%. Lantas Pemilu 2014 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD hingga Pemilu 2019.
Setelah itu terjadi gugatan 14 partai politik bahwa ambang batas 3,5% disetujui oleh MK hanya berlaku untuk DPR bukan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Dan, pada Pemilu 2024 mendatang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017, ambang batas parlemen naik, ditetapkan sebesar 4% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan menjadi tolak ukur baru Pemilu 2024 tahun depan, jika gugatan banding KPU dengan Partai Prima dikabulkan dan sengketa administratifnya terselesaikan seiring dengan diputuskanya uji materi UU Pemilu oleh MK.
Dengan ambang batas tersebut, maka partai politik yang perolehan suaranya mencapai 4% dalam pemilihan legislatifnya akan lolos sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.
Ini menyedot perhatian publik dan menjadi harap-harap cemas seperti apa sistem pemilu dilaksanakan nanti? Adakah dampak buruk yang akan terjadi pada masyarakat atau sekedar perubahan tata cara kita dalam berdemokrasi.