Wakil Ketua MPR: UU TPKS Belum Efektif Lindungi Korban Kekerasan Seksual
loading...
A
A
A
“Pemerintah memahami mendesaknya aturan pelaksanaan UU TPKS melihat semakin maraknya kasus kekerasan seksual saat ini,” katanya.
Komisioner KPAI Dian Sasmita mengungkapkan di saat status darurat kekerasan seksual sudah dicanangkan, kasus TPKS terhadap anak malah naik di Indonesia. Dian berpendapat agar hak pemulihan terhadap anak korban tindak kekerasan seksual tidak hanya diberikan pada saat kasus berlangsung, tetapi yang terpenting hak pemulihan anak juga diberikan pascakasus kekerasan seksual terjadi.
“Saya berharap dalam sejumlah pasal UU TPKS dan aturan turunan tersebut harus mampu memastikan hak penanganan, pemulihan dan hak atas perlindungan bagi anak korban tindak kekerasan seksual,” katanya.
Karena, tambah Dian, pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan misalnya, pelaku kekerasan yang merupakan tenaga pengajar tidak mendapat sanksi dan anak yang menjadi korban belum mendapat hak pemulihannya. Selain itu, proses hukum terkait kasus kekerasan terhadap anak seringkali terhenti karena penyidik malah membebani keluarga korban untuk mencari bukti. “Aturan turunan UU TPKS juga harus memberi jaminan yang tegas terkait kasus anak sebagai pelaku kekerasan,” paparnya.
Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Ihat Subihat mengungkapkan di Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat sudah menggunakan UU No.12/2022 dalam kasus pemerkosaan 13 santri dan pelakunya dijatuhi vonis pidana mati. Menurut Ihat, efektivitas UU TPKS sangat tergantung pada sejumlah faktor seperti antara lain keberanian korban melapor. Seringkali terjadi korban takut melapor karena takut dituntut balik, takut nama baik tercemar.
“Untuk meningkatkan efektivitas UU TPKS harus dicarikan sejumlah cara yang mampu menekan sejumlah ketakutan tersebut,” katanya.
Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad berpendapat meski di Pengadilan Tinggi Bandung sudah menggunakan UU No.12/2022 tentang TPKS dalam menangani kasus TPKS di wilayahnya, tetapi secara umum aparat penegak hukum belum berani menggunakan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual yang dihadapi.
Karena, sosialisasi UU TPKS masih sangat kurang sehingga masyarakat dan korban kekerasan seksual tidak memahami apakah yang dialaminya merupakan tindak kekerasan seksual atau bukan. "Sosialisasi itu sangat penting," ujar Bahrul.
Pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 terungkap 3.442 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Dari laporan itu sebesar 60% kasus merupakan kekerasan domestik, 37% kasus kekerasan publik dan sisanya kekerasan di ranah negara. ”Pada kasus kekerasan di ranah domestik yang terbesar adalah kekerasan seksual dalam pacaran. Kondisi itu, menyiratkan literasi anak perempuan terkait kekerasan seksual sangat rendah,” kata dia.
Ketua II HWDI Rina Prasarani menilai penyandang disabilitas memiliki kerentanan berganda dalam ancaman tindak kekerasan seksual. Upaya perlindungan dari tindak kekerasan seksual, menurut Rina, dimulai dari tahapan pencegahan dan proses tersebut harus diawali dengan edukasi masyarakat, serta penyandang disabilitas.
Komisioner KPAI Dian Sasmita mengungkapkan di saat status darurat kekerasan seksual sudah dicanangkan, kasus TPKS terhadap anak malah naik di Indonesia. Dian berpendapat agar hak pemulihan terhadap anak korban tindak kekerasan seksual tidak hanya diberikan pada saat kasus berlangsung, tetapi yang terpenting hak pemulihan anak juga diberikan pascakasus kekerasan seksual terjadi.
“Saya berharap dalam sejumlah pasal UU TPKS dan aturan turunan tersebut harus mampu memastikan hak penanganan, pemulihan dan hak atas perlindungan bagi anak korban tindak kekerasan seksual,” katanya.
Karena, tambah Dian, pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan misalnya, pelaku kekerasan yang merupakan tenaga pengajar tidak mendapat sanksi dan anak yang menjadi korban belum mendapat hak pemulihannya. Selain itu, proses hukum terkait kasus kekerasan terhadap anak seringkali terhenti karena penyidik malah membebani keluarga korban untuk mencari bukti. “Aturan turunan UU TPKS juga harus memberi jaminan yang tegas terkait kasus anak sebagai pelaku kekerasan,” paparnya.
Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Ihat Subihat mengungkapkan di Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat sudah menggunakan UU No.12/2022 dalam kasus pemerkosaan 13 santri dan pelakunya dijatuhi vonis pidana mati. Menurut Ihat, efektivitas UU TPKS sangat tergantung pada sejumlah faktor seperti antara lain keberanian korban melapor. Seringkali terjadi korban takut melapor karena takut dituntut balik, takut nama baik tercemar.
“Untuk meningkatkan efektivitas UU TPKS harus dicarikan sejumlah cara yang mampu menekan sejumlah ketakutan tersebut,” katanya.
Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad berpendapat meski di Pengadilan Tinggi Bandung sudah menggunakan UU No.12/2022 tentang TPKS dalam menangani kasus TPKS di wilayahnya, tetapi secara umum aparat penegak hukum belum berani menggunakan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual yang dihadapi.
Karena, sosialisasi UU TPKS masih sangat kurang sehingga masyarakat dan korban kekerasan seksual tidak memahami apakah yang dialaminya merupakan tindak kekerasan seksual atau bukan. "Sosialisasi itu sangat penting," ujar Bahrul.
Pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 terungkap 3.442 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Dari laporan itu sebesar 60% kasus merupakan kekerasan domestik, 37% kasus kekerasan publik dan sisanya kekerasan di ranah negara. ”Pada kasus kekerasan di ranah domestik yang terbesar adalah kekerasan seksual dalam pacaran. Kondisi itu, menyiratkan literasi anak perempuan terkait kekerasan seksual sangat rendah,” kata dia.
Ketua II HWDI Rina Prasarani menilai penyandang disabilitas memiliki kerentanan berganda dalam ancaman tindak kekerasan seksual. Upaya perlindungan dari tindak kekerasan seksual, menurut Rina, dimulai dari tahapan pencegahan dan proses tersebut harus diawali dengan edukasi masyarakat, serta penyandang disabilitas.