15 Maret, Hari Internasional Memerangi Islamofobia
loading...
A
A
A
Faezeh Jannati Moheb
Diplomat Kedutaan Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia
Pada tahun 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai “Hari Internasional Melawan Islamofobia"atau the International Day to Combat Islamophobia. Dipilihnya tanggal 15 Maret terkait dengan peristiwa serangan teroris Islamophobic kepada jamaah salat Jumat di Masjid Al-Noor di Christchurch, New Zealand tahun 2019 yang menewaskan 51 orang.
Resolusi tersebut diadopsi melalui konsensus oleh 193 anggota badan dunia dan disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas Muslim. Penetapan itu menekankan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan mengingatkan kembali pada resolusi 1981 yang menyerukan “penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan”.
Mendefinisikan Islamofobia bukanlah hal yang mudah karena ruang lingkup konseptual dan geografisnya. Beberapa analis menganggap akar Islamofobia adalah rasisme; Sementara yang lain percaya bahwa Islam adalah anti-modernitas dan pemikiran umat Islam-lah yang merupakan penghambat kemajuan dan perkembangan masyarakat manusia. Bersamaan dengan dua pandangan ini, terdapat segelintir pihak juga yang menganggap umat Muslim sebagai pihak yang mengedepankan kekerasan serta menciptakan ketidakamanan di lingkungan internasional.
Berdasarkan teori wacana Laclau and Mouffe, definisi Islamofobia yang komprehensif dan akurat dapat diberikan. Wacana ini dikaitkan dengan konsep-konsep seperti penyorotan dan marginalisasi, dengan konsep hegemoni sangat penting di dalamnya.
Menurut teori tersebut, dapat dikatakan bahwa Islamofobia dielaborasi dengan mengumpulkan konsep-konsep seperti fundamentalis dan terorisme. Para pihak hegemon saat ini menganggap umat muslim dan keinginan mereka untuk keadilan, sebagai penghalang utama untuk mencapai harapan dan tujuannya. Mereka dengan menonjolkan serangan terorisisme dan fundamentalisme agama serta menyampingkan interpretasi demokratis tentang Islam, telah mencapai tujuan utamanya yaitu menyebarkan Islamofobia.
Islam, sebagai agama samawi selalu diserang oleh pihak-pihak yang menentangnya sepanjang sejarah; Alhasil, Islamofobia bukanlah fenomena baru dan berakar pada sejarah Eropa, khususnya Perang Salib (abad ke-12 dan ke-13). Dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989, kekalahan komunisme dan berakhirnya Perang Dingin, Barat menghadapi kehampaan identitas yang serius untuk melanjutkan hegemoninya di dunia dan berusaha untuk menciptakan wacana baru.
Proyek Perang Dingin baru yang berpusat pada Islamofobia adalah wacana baru yang dibutuhkan oleh Barat, yang dikunci dengan menghadirkan teori "Clash of Civilizations". Menurut teori "Clash of Civilizations", sebagai salah satu fondasi teoretis terpenting Islamofobia , yang dikemukakan oleh Samuel Huntington pada tahun 1993, setelah berakhirnya Perang Dingin, budaya dan identitas agama akan menjadi sumber dari semua konflik, “Acaman Merah” (komunis) akan digantikan dengan “Ancaman Hijau” (Islam).
Selama dua dekade terakhir, teori ini telah membentuk opini publik Barat, kebijakan media massa, kebijakan pemerintah, dan posisi penguasa negara-negara Barat dalam hubungannya dengan Islam dan umat Muslim. Sejak 1997, istilah Islamofobia telah dimasukkan dalam daftar kata Oxford English Encyclopedia, dan dengan dimulainya abad baru dan terjadinya Peristiwa 11 September, ruang lingkup penggunaannya telah meluas.
Diplomat Kedutaan Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia
Pada tahun 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai “Hari Internasional Melawan Islamofobia"atau the International Day to Combat Islamophobia. Dipilihnya tanggal 15 Maret terkait dengan peristiwa serangan teroris Islamophobic kepada jamaah salat Jumat di Masjid Al-Noor di Christchurch, New Zealand tahun 2019 yang menewaskan 51 orang.
Resolusi tersebut diadopsi melalui konsensus oleh 193 anggota badan dunia dan disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas Muslim. Penetapan itu menekankan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan mengingatkan kembali pada resolusi 1981 yang menyerukan “penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan”.
Mendefinisikan Islamofobia bukanlah hal yang mudah karena ruang lingkup konseptual dan geografisnya. Beberapa analis menganggap akar Islamofobia adalah rasisme; Sementara yang lain percaya bahwa Islam adalah anti-modernitas dan pemikiran umat Islam-lah yang merupakan penghambat kemajuan dan perkembangan masyarakat manusia. Bersamaan dengan dua pandangan ini, terdapat segelintir pihak juga yang menganggap umat Muslim sebagai pihak yang mengedepankan kekerasan serta menciptakan ketidakamanan di lingkungan internasional.
Berdasarkan teori wacana Laclau and Mouffe, definisi Islamofobia yang komprehensif dan akurat dapat diberikan. Wacana ini dikaitkan dengan konsep-konsep seperti penyorotan dan marginalisasi, dengan konsep hegemoni sangat penting di dalamnya.
Menurut teori tersebut, dapat dikatakan bahwa Islamofobia dielaborasi dengan mengumpulkan konsep-konsep seperti fundamentalis dan terorisme. Para pihak hegemon saat ini menganggap umat muslim dan keinginan mereka untuk keadilan, sebagai penghalang utama untuk mencapai harapan dan tujuannya. Mereka dengan menonjolkan serangan terorisisme dan fundamentalisme agama serta menyampingkan interpretasi demokratis tentang Islam, telah mencapai tujuan utamanya yaitu menyebarkan Islamofobia.
Islam, sebagai agama samawi selalu diserang oleh pihak-pihak yang menentangnya sepanjang sejarah; Alhasil, Islamofobia bukanlah fenomena baru dan berakar pada sejarah Eropa, khususnya Perang Salib (abad ke-12 dan ke-13). Dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989, kekalahan komunisme dan berakhirnya Perang Dingin, Barat menghadapi kehampaan identitas yang serius untuk melanjutkan hegemoninya di dunia dan berusaha untuk menciptakan wacana baru.
Proyek Perang Dingin baru yang berpusat pada Islamofobia adalah wacana baru yang dibutuhkan oleh Barat, yang dikunci dengan menghadirkan teori "Clash of Civilizations". Menurut teori "Clash of Civilizations", sebagai salah satu fondasi teoretis terpenting Islamofobia , yang dikemukakan oleh Samuel Huntington pada tahun 1993, setelah berakhirnya Perang Dingin, budaya dan identitas agama akan menjadi sumber dari semua konflik, “Acaman Merah” (komunis) akan digantikan dengan “Ancaman Hijau” (Islam).
Selama dua dekade terakhir, teori ini telah membentuk opini publik Barat, kebijakan media massa, kebijakan pemerintah, dan posisi penguasa negara-negara Barat dalam hubungannya dengan Islam dan umat Muslim. Sejak 1997, istilah Islamofobia telah dimasukkan dalam daftar kata Oxford English Encyclopedia, dan dengan dimulainya abad baru dan terjadinya Peristiwa 11 September, ruang lingkup penggunaannya telah meluas.