15 Maret, Hari Internasional Memerangi Islamofobia

Rabu, 15 Maret 2023 - 06:35 WIB
loading...
15 Maret, Hari Internasional Memerangi Islamofobia
Faezeh Jannati Moheb, Diplomat Kedutaan Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia. Foto/Istimewa
A A A
Faezeh Jannati Moheb
Diplomat Kedutaan Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia

Pada tahun 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai “Hari Internasional Melawan Islamofobia"atau the International Day to Combat Islamophobia. Dipilihnya tanggal 15 Maret terkait dengan peristiwa serangan teroris Islamophobic kepada jamaah salat Jumat di Masjid Al-Noor di Christchurch, New Zealand tahun 2019 yang menewaskan 51 orang.

Resolusi tersebut diadopsi melalui konsensus oleh 193 anggota badan dunia dan disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas Muslim. Penetapan itu menekankan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan mengingatkan kembali pada resolusi 1981 yang menyerukan “penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan”.

Mendefinisikan Islamofobia bukanlah hal yang mudah karena ruang lingkup konseptual dan geografisnya. Beberapa analis menganggap akar Islamofobia adalah rasisme; Sementara yang lain percaya bahwa Islam adalah anti-modernitas dan pemikiran umat Islam-lah yang merupakan penghambat kemajuan dan perkembangan masyarakat manusia. Bersamaan dengan dua pandangan ini, terdapat segelintir pihak juga yang menganggap umat Muslim sebagai pihak yang mengedepankan kekerasan serta menciptakan ketidakamanan di lingkungan internasional.

Berdasarkan teori wacana Laclau and Mouffe, definisi Islamofobia yang komprehensif dan akurat dapat diberikan. Wacana ini dikaitkan dengan konsep-konsep seperti penyorotan dan marginalisasi, dengan konsep hegemoni sangat penting di dalamnya.

Menurut teori tersebut, dapat dikatakan bahwa Islamofobia dielaborasi dengan mengumpulkan konsep-konsep seperti fundamentalis dan terorisme. Para pihak hegemon saat ini menganggap umat muslim dan keinginan mereka untuk keadilan, sebagai penghalang utama untuk mencapai harapan dan tujuannya. Mereka dengan menonjolkan serangan terorisisme dan fundamentalisme agama serta menyampingkan interpretasi demokratis tentang Islam, telah mencapai tujuan utamanya yaitu menyebarkan Islamofobia.

Islam, sebagai agama samawi selalu diserang oleh pihak-pihak yang menentangnya sepanjang sejarah; Alhasil, Islamofobia bukanlah fenomena baru dan berakar pada sejarah Eropa, khususnya Perang Salib (abad ke-12 dan ke-13). Dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989, kekalahan komunisme dan berakhirnya Perang Dingin, Barat menghadapi kehampaan identitas yang serius untuk melanjutkan hegemoninya di dunia dan berusaha untuk menciptakan wacana baru.



Proyek Perang Dingin baru yang berpusat pada Islamofobia adalah wacana baru yang dibutuhkan oleh Barat, yang dikunci dengan menghadirkan teori "Clash of Civilizations". Menurut teori "Clash of Civilizations", sebagai salah satu fondasi teoretis terpenting Islamofobia , yang dikemukakan oleh Samuel Huntington pada tahun 1993, setelah berakhirnya Perang Dingin, budaya dan identitas agama akan menjadi sumber dari semua konflik, “Acaman Merah” (komunis) akan digantikan dengan “Ancaman Hijau” (Islam).

Selama dua dekade terakhir, teori ini telah membentuk opini publik Barat, kebijakan media massa, kebijakan pemerintah, dan posisi penguasa negara-negara Barat dalam hubungannya dengan Islam dan umat Muslim. Sejak 1997, istilah Islamofobia telah dimasukkan dalam daftar kata Oxford English Encyclopedia, dan dengan dimulainya abad baru dan terjadinya Peristiwa 11 September, ruang lingkup penggunaannya telah meluas.

Terjadinya Peristiwa 11 September 2001 dan keterkaitannya dengan kelompok fundamentalis dan teroris Al-Qaeda dianggap sebagai titik balik perubahan sikap dunia Barat terhadap Islam, umat Islam dan cara berinteraksi dengan mereka; Seperti yang dikatakan George Bush, presiden Amerika Serikat saat itu, tentang dimulainya “perang salib baru” sebagai salah satu reaksi pertama atas insiden ini.

Setelah Peristiwa 11 September, media Barat memulai penyebaran Islamofobia dalam bentuk strategi perang melawan terorisme. Menurut Edward Said, seorang pemikir dan akademisi Amerika Serikat berketurunan Palestina, "Media dan pakar AS dan Barat menentukan apa yang harus kita pikirkan tentang seluruh dunia (lainnya)... Dalam banyak kasus, tidak hanya Islam digambarkan dengan kecerobohan dan keliru, tetapi juga banyak fenomena dan peristiwa digambarkan melalui penjelasan etnosentris, dan penuh dengan kebencian budaya dan ras serta permusuhan yang mendalam dapat dilihat dalam narasi mereka”.



Dengan dimulainya masa kepresidenan Donald Trump di Amerika, Islamofobia dan kemudian gerakan anti-Islam menjadi semakin gencar. Pidato pemilihan Trump mengenai ancaman Islam terhadap keamanan Amerika Serikat dan memastikan keamanan negara ini dengan mencegah penyebaran Islam dan konvergensi yang kuat dari orang-orang anti-Islam.

Selama dua dekade terakhir, Islamofobia telah menjadi industri dengan alat-alat seperti menggambar karikatur yang merendahkan Nabi Islam tercinta, membakar Al-Qur'an dan menodai kitab suci Al-Quran, menyerang umat Islam, menentang kehadiran elemen Islam di arena publik, melarang jilbab di tempat umum, dan pendidikan digunakan untuk membuat lingkungan sosial tidak aman bagi umat Islam. Aksi-aksi konyol dan anti-HAM ini terjadi lebih sering daripada di tempat lain di negara-negara yang mengklaim melindungi HAM, terutama negara-negara Eropa, dengan dukungan pemerintah dan badan intelijen mereka.

Penguatan gerakan ekstrem kanan dan promosi Islamofobia yang diakibatkannya telah menjadi salah satu isu terpenting yang mengancam perdamaian dunia dalam beberapa tahun terakhir. Menyikapi sikap ini bukan hanya kewajiban umat Islam; melainkan merupakan tanggung jawab bersama komunitas dunia. Negara-negara Muslim harus bersatu satu sama lain untuk melawan arus Islamofobia internasional dan bertindak bersama untuk melemahkannya.

Walaupun PBB telah menetapkan 15 Maret sebagai “Hari Internasional Memerangi Islamofobia”, perlu disebutkan fakta bahwa kekuatan komunitas internasional dan PBB lebih dari sekadar menyetujui satu hari untuk memerangi Islamofobia. Negara-negara Islam dapat menggunakan hak pilihnya di organisasi dan berbagai forum internasional seperti PBB dan Organisasi Kerja sama Islam (OKI) untuk memprotes tindakan anti-Islam dan mengambil sikap melawan Islamofobia. Negara-negara ini juga dapat menggunakan kapasitas mereka dalam berinteraksi dengan negara-negara Barat sebagai pengungkit tekanan untuk menghentikan tren Islamofobia dan mengambil tindakan efektif untuk melawan gerakan Islamofobia.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2239 seconds (0.1#10.140)