Tentang Hak Cipta dan Dunia OTT

Senin, 13 Maret 2023 - 13:49 WIB
loading...
Tentang Hak Cipta dan...
Tentang Hak Cipta dan Dunia OTT
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Masih ingat sengketa lagu “Syantik” yang sempat viral pada 2018? Itu contoh kasus yang berkaitan dengan hak cipta di zaman Over The Top (OTT). Contoh yang saya berikan ini bukan untuk menunjukkan siapa yang akhirnya menang atau kalah di pengadilan, tetapi guna memberi gambaran bahwa di zaman OTT ini makin banyak karya-yang memiliki hak cipta berpotensi konflik di era digital ini.

Cerita singkatnya, PT Nagaswara Pubisherindo (Nagaswara) sebagai pemegang hak cipta lagu “Syantik”, menggugat Halilintar Anofial Asmid dan Lenggogehi Umar Faruk melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor 82/Pdt.Sus-Hak Cipta/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. Nagaswara sebagai pemegang hak cipta lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi Siti Badriah itu di-cover-kan, dinyanyikan ulang, dan konon ada sedikit perubahan syair, kemudian diunggah ke akun YouTube Gen Halilintar tanpa izin Nagaswara dan Penciptanya (Yogi Adi Setiawan dan Pian Daryono). Nagaswara merasa dirugikan atas perbuatan itu dan menuntut ganti rugi sebesar 9,5 milyar kepada para tergugat.

Sengketa yang menghabiskan waktu selama empat tahun ini bahkan sampai ke tahap Peninjauan Kembali (PK), yang diputus pada Desember 2021. Mahkamah Agung akhirnya menghukum Halilintar Anofial Said dan Lenggogeni Umar Faruk untuk membayar ganti kerugian Rp 300 juta. Mereka diputus terbukti melanggar hak cipta dengan amar putusan nomor 41PK/Pdt,Sus-HK/2021.

Lalu, dalam kanal Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) alias Gerakanpis yang ditayangkan via YouTube, Ade Armando mewawacarai seorang musisi, Badai Hollo, yang mengisahkan dan mengeluhkan adanya beberapa pelanggaran hak cipta di platform OTT. Katanya, masih banyak lagu-lagu yang ditayangkan melalui YouTube atau Spotify yang tidak memenuhi aturan, misalnya tanpa izin dari penciptanya. Ia berharap hal-hal yang tidak sesuai aturan itu dapat diperbaiki di masa depan. Karena itu pula ia berminat untuk menjadi anggota DPR agar nantinya bisa berkontribusi untuk membenahi peraturan perundangan-undangan.

Potensi pelanggaran hak cipta dalam dunia OTT sebenarnya tidak hanya soal musik. Tetapi bisa juga terjadi pada film, file digital, foto, e-book, dan aneka karya yang berhak cipta lainnya yang menjadi obyek e-commerce.

Kali ini, sebagai “pengantar”, terutama bagi pembaca yang belum akrab dengan dunia OTT, ada baiknya kita perjelas dulu beberapa terminologi yang ada di dunia digital ini agar nantinya kita berada dalam pengertian yang sama. Kita mulai dengan apa yang dimaksud dengan Over The Top (OTT). Dalam Surat Edaran (SE) Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (ditanda tangani Rudiantara pada 31 Maret 2016), ada tiga hal yang perlu dipahami bersama.

Pertama, Layanan Aplikasi Dan/Atau Konten Melalui Internet (Over The Top) adalah pemanfaatan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, dan daring percakapan (chatting), transaksi finansial dan komersial, penyimpanan dan pengambilan data, permainan (game), jejaring dan media sosial, serta turunannya.

Kedua, Layanan Konten Melalui Internet adalah penyediaan semua bentuk informasi digital yang terdiri dari tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet.

Ketiga, Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over the Top) adalah penyediaan Layanan Aplikasi Melalui Internet dan/atau penyediaan Layanan Konten Melalui Internet.

Sekarang apa itu platform? “Platform digital” selama ini dimengerti sebagai wadah berupa aplikasi, situs internet, atau layanan konten berbasis internet, yang digunakan untuk transaksi atau fasilitasi perdagangan melalui media elektronik. Dengan kata lain, platform digital adalah sistem elektronik yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan sebuah komunikasi dan transaksi elektronik.

Platform sebagai wadah atau aplikasi software ini memiliki dua jenis, yakni single platform dan multiple platform. Single platform adalah sebutan bagi platform yang dirilis hanya untuk satu perangkat manufaktur. Salah satu contoh dari single platform yang dapat ditemukan adalah Blackberry dan IOS. Keduanya (blackberry dan IOS) memiliki eksklusivitas tersendiri berupa platform yang hanya dapat digunakan oleh satu perangkat manufaktur. Platform blakberry hanya bisa dijalankan di perangkat blackberry saja. Demikian juga IOS yang hanya bisa dijalankan menggunakan perangkat iphone saja.

Adapaun multiple platform adalah sebutan bagi platform yang dapat digunakan oleh banyak manufaktur atau multi manufaktur. Contoh dari platform ini adalah Java, Android, dan Window Mobile. Platform tersebut tersebut bisa dijalankan di berbagai perangkat seperti smartphone, komputer, tablet, dan lain-lain.

Dalam percakapan sehari-hari, ada juga yang menggolongkan platform ini dalam beberapa jenis. Milsanya, platform digital, platform selular, platform game, platform media sosial, dan platform website. Platform Digital merupakan tempat, wadah, atau sarana yang memfasilitasi bertemunya para pihak untuk saling bertukar informasi, berdagang, atau menawarkan jasa dan layanan. Kehadiran platform digital ini mempertemukan langsung pihak penjual dan pembeli, pemberi dan penerima informasi, atau penyedia dan pemakai jasa/layanan. Contoh platform ini misalnya Facebook; Instagram; Twitter; Linkedin; YouTube; Sportify; dan lain-lain.

Lalu, Platform Seluler pada dasarnya adalah platform yang memungkinkan perangkat lunak dan layanan dijalankan pada perangkat seluler. Contoh: iPhone; Android; Blackberry; Windows Mobile; dan lain-lain. Sedangkan Platfporm Game adalah sebuah subgenre dari action game di mana pemain harus menggerakkan karakter dari satu titik ke titik lain di suatu arena. Contoh: Maincraft; PUBG Mobile; Multiplayer Online Battle Arena (MOBA); Harvest Moon; dan lain-lain.

Kemudian Platform Media Sosial merupakan platform digital yang memfasilitasi penggunanya untuk saling berkomunikasi atau membagikan konten berupa tulisan, foto, video, dan menyediakan fasilitas untuk melakukan aktivitas sosial bagi setiap penggunanya. Contoh: whatsApp; YouTube; Facebook; Insatagram; Twitter; dan lain-lain. Terakhir, Platform Website, yang berupa kumpulan teknologi sebagai standar terbuka oleh World Wide Web Consortium dan badan standarisasi. Platform websitei ini adalah konsep yang sangat lengkap. Contoh: WorldPress; Tumblr; Wix; Joomla; Weebly; dan lain-lain.

Maraknya aneka platform dengan segala bentuk layanan OTT ini mengubah banyak hal. Perilaku berbelanja, misalnya, yang sebelumnya harus datang secara fisik ke toko atau pusat perbekanjaan, kini cukup dengan menekan beberapa tombol di HP atau yang lain. Lalu, para pencipta lagu, misalnya, kini dengan mudah meraup uang dengan meng-upload karyanya melalui YouTube.

Tetapi, OTT ini juga ditengarai sebagai salah satu penyebab utama rontoknya media cetak. Banyak media cetak tutup akibat maraknya media online yang lebih cepat dan lebih atraktif. Media tradisional yang tadinya mengandalkan iklan dan jumlah pelanggan tersedot ke media online. OTT juga memengaruhi industri televisi (terutama dalam pendapatan iklan) serta perusahaan telekomunikasi pada umumnya.

Selama ini, penyiaran melalui televisi menggunakan frekuensi radio dan diatur dalan Undang-Undang No. 32 Tentang Penyiaran. Seperti tertera dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2002, dikatakan bahwa: “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Kata kuncinya adalah “frekuensi radio”. Isi siaran televisi juga diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan layanan OTT menggunakan Internet. Hal ini menyebabkan banyak layanan OTT yang tidak atau belum tersentuh UU Penyiaran bahkan juga UU Perfilman – terutama dalam hal sensor film dan sinetron.

Apakah ini berarti OTT perlu diatur secara ketat? Ini yang harus berhati-hati. Jangan sampai pengaturan OTT malah tersandung pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang memberikan hak kepada setiap orang untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia.

Selain itu, juga hak untuk memperjuangkan pengembangan diri, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara.

Singkat cerita, inilah dunia baru yang sedang kita hadapi dan jalani saat ini. Hal-hal lain, seperti bagaimana OTT akan diatur dengan segala konsekuensinya, biarlah ditangani oleh ahlinya. Boleh juga ditengok Digital Millennium Copyright Act 1998 yang ada di Amerika Serikat, sebagai perbandingan.
(wur)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1138 seconds (0.1#10.140)