Jokowi Pilih Bubarkan Lembaga karena Lebih Gampang dari Rombak Menteri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Niat Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membubarkan sejumlah lembaga non-struktural (LNS) dianggap lumrah terjadi dalam sebuah pemerintahan. Terlebih lagi, sejak periode kerjanya dimulai pada 2014 hingga saat ini, sudah ada puluhan lembaga yang dibubarkan.
Pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari menilai rencana pembubaran lembaga memang harus dilakukan. Menurutnya, langkah itu lebih pada persoalan objektif untuk mendukung efektifitas kinerja pemerintahan dan efisiensi anggaran negara.
(Baca: Puluhan Lembaga di Bawah Jokowi, Mana Saja Yang Mau Dibubarkan?)
Dalam kajian mengenai pelayanan public, kata Wawan, dikenal ada istilah 3E yaitu efektivitas, efisiensi, ekonomi. Plus, satu indikator lagi yaitu public value.
“Ini lebih banyak karena persoalan objektif karena lembaga tersebut dinilai tidak begitu berfungsi. Kalau lembaga ini hanya formalitas, public value-nya enggak ada ya bisa dibubarkan. Jangankan public value, dikenal sama publik saja tidak. Bagaimana publik bisa aware,” jelas ,” jelas Wawan kepada SINDOnews, Kamis (17/7/2020) malam.
(Baca: Sempat Rampingkan 23 Lembaga, Pemerintah Hemat Rp23,5 Triliun)
Ia juga menilai penghapusan lembaga tersebut memiliki risiko politik lebih kecil dibanding reshuffle kabinet . Sebab, kalau merombak menteri akan berkaitan dengan partai politik, termasuk para pendukungnya.
“Jadi, enggak serumit dengan rencana presiden mau rombak menterinya. Risiko politik dengan bubarkan lembaga atau komisi itu lebih kecil,” sebut dia.
Namun sebelum membubarkan, lanjut Wawan, lembaga atau komisi tersebut harus diaudit terlebih dahulu sehingga presiden punya argumen yang kuta dan rasional mengapa melakukan hal tersebut. Untuk melakukan audit terhadap lembaga tersebut tidak begitu susah. Kementerian PAN-RB bisa melakukan kajian atau penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut atau bisa meminta bantuan dari universitas.
Pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari menilai rencana pembubaran lembaga memang harus dilakukan. Menurutnya, langkah itu lebih pada persoalan objektif untuk mendukung efektifitas kinerja pemerintahan dan efisiensi anggaran negara.
(Baca: Puluhan Lembaga di Bawah Jokowi, Mana Saja Yang Mau Dibubarkan?)
Dalam kajian mengenai pelayanan public, kata Wawan, dikenal ada istilah 3E yaitu efektivitas, efisiensi, ekonomi. Plus, satu indikator lagi yaitu public value.
“Ini lebih banyak karena persoalan objektif karena lembaga tersebut dinilai tidak begitu berfungsi. Kalau lembaga ini hanya formalitas, public value-nya enggak ada ya bisa dibubarkan. Jangankan public value, dikenal sama publik saja tidak. Bagaimana publik bisa aware,” jelas ,” jelas Wawan kepada SINDOnews, Kamis (17/7/2020) malam.
(Baca: Sempat Rampingkan 23 Lembaga, Pemerintah Hemat Rp23,5 Triliun)
Ia juga menilai penghapusan lembaga tersebut memiliki risiko politik lebih kecil dibanding reshuffle kabinet . Sebab, kalau merombak menteri akan berkaitan dengan partai politik, termasuk para pendukungnya.
“Jadi, enggak serumit dengan rencana presiden mau rombak menterinya. Risiko politik dengan bubarkan lembaga atau komisi itu lebih kecil,” sebut dia.
Namun sebelum membubarkan, lanjut Wawan, lembaga atau komisi tersebut harus diaudit terlebih dahulu sehingga presiden punya argumen yang kuta dan rasional mengapa melakukan hal tersebut. Untuk melakukan audit terhadap lembaga tersebut tidak begitu susah. Kementerian PAN-RB bisa melakukan kajian atau penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut atau bisa meminta bantuan dari universitas.
(muh)