Masalah Hukum Peradilan Sambo dalam Perspektif UU KUHP
loading...
A
A
A
Keempat, pengakuan status hukum seorang JC dalam pertimbangan putusan majelis hakim, membuktikan bahwa di satu sisi keterangan terdakwa sebagai JC merupakan faktor strategis yang menentukan masa depan peradilan pidana, dan di sisi lain, keterangan seorang JC menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana masih membuka dan terbuka terhadap hal-hal baru yang bermanfaat atau berkontribusi terhadap upaya menemukan kebenaran materil suatu perkara yang merupakan tujuan khusus hukum pidana.
Kelima, proses peradilan perkara Sambo yang mengakui keterangan seorang JC mencerminkan bahwa proses peradilan perkara pidana selama ini belum diharapkan dapat membuka seterang-terangnya kebenaran materil suatu perkara pidana. Dan, dengan pengakuan seorang JC membuktikan bahwa masih ada harapan baru dalam sistem peradilan pidana yakni bahwa kepastian hukum yang adil sesuai amanat Pasal 28 D ayat (1) UUD45 dapat diwujudkan di masa yang akan datang.
Mengikuti jalannya sidang peradilan perkara Sambo selama kurang lebih 3 (tiga) bulan yang juga secara intens diikuti masyarakat umum serta diawasi ketat oleh Menkopolhukan, tampak kehausan masyarakat akan munculnya “ratu adil” yang memenuhi rasa keadilan, lebih pada keadilan sosial (social justice) daripada keadilan hukum (legal justice).
Kiranya sudah saatnya dikatakan bahwa peradilan Sambo merupakan cermin dari nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat dan selaras dengan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pengganti KUHP tahun 1946. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), lazim dikenal akademisi hukum sebagai asas legalitas; tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Pengertian hukum yang hidup dalam masyarakat dimaknai luas yaitu hukum yang hidup sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Ketentuan Pasal 1 KUHP 2023 mengakui baik asas legalitas formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP 1946, maupun asas legalitas materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) KUHP tahun 2023.
Dua pengakuan secara normatif mengenai pernyataan tertulis dalam UU KUHP 1946 dan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023, yang memberikan kedudukan hukum yang sama dengan KUHP 1946 menyimpulkan bahwa di masa yang akan datang sistem peradilan pidana dapat menjangkau perbuatan tercela baik yang diatur dalam UU (hukum tertulis) maupun yang berlaku dalam masyarakat adat setempat. Dalam arti bahwa pascaberlakuya UU KUHP Tahun 2023, tidak ada celah sekecil apapun untuk perbuatan tercela yang terjadi dalam masyarakat yang tidak dapat dipidana.
Di sisi lain, tidak ada satu pun perbuatan tercela harus dan serta merta dapat dipidana jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan karena di dalam Pasal 53 53 ayat (2) dinyatakan bahwa, iika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Kelima, proses peradilan perkara Sambo yang mengakui keterangan seorang JC mencerminkan bahwa proses peradilan perkara pidana selama ini belum diharapkan dapat membuka seterang-terangnya kebenaran materil suatu perkara pidana. Dan, dengan pengakuan seorang JC membuktikan bahwa masih ada harapan baru dalam sistem peradilan pidana yakni bahwa kepastian hukum yang adil sesuai amanat Pasal 28 D ayat (1) UUD45 dapat diwujudkan di masa yang akan datang.
Mengikuti jalannya sidang peradilan perkara Sambo selama kurang lebih 3 (tiga) bulan yang juga secara intens diikuti masyarakat umum serta diawasi ketat oleh Menkopolhukan, tampak kehausan masyarakat akan munculnya “ratu adil” yang memenuhi rasa keadilan, lebih pada keadilan sosial (social justice) daripada keadilan hukum (legal justice).
Kiranya sudah saatnya dikatakan bahwa peradilan Sambo merupakan cermin dari nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat dan selaras dengan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pengganti KUHP tahun 1946. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), lazim dikenal akademisi hukum sebagai asas legalitas; tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Pengertian hukum yang hidup dalam masyarakat dimaknai luas yaitu hukum yang hidup sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 45, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Ketentuan Pasal 1 KUHP 2023 mengakui baik asas legalitas formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP 1946, maupun asas legalitas materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) KUHP tahun 2023.
Dua pengakuan secara normatif mengenai pernyataan tertulis dalam UU KUHP 1946 dan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023, yang memberikan kedudukan hukum yang sama dengan KUHP 1946 menyimpulkan bahwa di masa yang akan datang sistem peradilan pidana dapat menjangkau perbuatan tercela baik yang diatur dalam UU (hukum tertulis) maupun yang berlaku dalam masyarakat adat setempat. Dalam arti bahwa pascaberlakuya UU KUHP Tahun 2023, tidak ada celah sekecil apapun untuk perbuatan tercela yang terjadi dalam masyarakat yang tidak dapat dipidana.
Di sisi lain, tidak ada satu pun perbuatan tercela harus dan serta merta dapat dipidana jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan karena di dalam Pasal 53 53 ayat (2) dinyatakan bahwa, iika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
(bmm)