Hari Ini MK Putuskan Nasib Gugatan Masa Jabatan Presiden
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK ) akan membacakan putusan gugatan tentang masa jabatan presiden pada pukul 10.00 WIB, Selasa (28/2/2023). Pemohon gugatan ini adalah seorang warga bernama Herifuddin Daulay.
Dia menggugat Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dia berpendapat, memilih presiden dan wakil presiden merupakan upaya bela negara.
Sehingga, ia meyakini telah memenuhi semua persyaratan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 karena memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian.
"Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan telah diberlakukannya norma Pasal a quo tentang adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan," tulis humas MK, Selasa (28/2/2023).
Kerugian itu berdasarkan anggapan pemohon bahwa orang yang kompeten untuk jabatan Presiden hanya sedikit, sehingga pembatasan tersebut akan mengakibatkan pemimpin yang terpilih adalah orang yang tidak berkompeten.
Selanjutnya, pemohon menilai terdapat kesalahan dalam teks Pasal 7 UUD 1945 tentang jabatan Presiden, baik kesalahan karena penulisan teks atau kesalahan dalam memahami teks. Kesalahan secara implisit mengandung makna 'bila' yaitu terkandung makna 'kondisional bersyarat'.
Menurut pemohon, kesalahan dimaksud karena teks mengambang dalam pengertiannya. Dengan makna 'kondisional bersyarat' tersebut, maka diperlukan peraturan tambahan untuk menguatkan maksud dari norma dimaksud.
Sehingga, secara keseluruhan makna utuh dari Pasal 7 UUD 1945 adalah hanya diutamakan untuk ditetapkan dua kali masa periode dan jika diinginkan, melalui pembiaran atau keputusan peradilan konstitusi yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun peraturan tambahan berupa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu menurut pemohon menjadi pokok dasar dari adanya pembatasan pribadi jabatan calon presiden dan atau wakil presiden untuk menjabat lebih dari dua kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun berselang.
Sehingga, pemohon berpendapat bahwa pembatasan jabatan Presiden justru lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya, sehingga norma yang mengatur pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya dua kali masa jabatan harus dihapus.
Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dia menggugat Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dia berpendapat, memilih presiden dan wakil presiden merupakan upaya bela negara.
Sehingga, ia meyakini telah memenuhi semua persyaratan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 karena memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian.
"Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan telah diberlakukannya norma Pasal a quo tentang adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan," tulis humas MK, Selasa (28/2/2023).
Kerugian itu berdasarkan anggapan pemohon bahwa orang yang kompeten untuk jabatan Presiden hanya sedikit, sehingga pembatasan tersebut akan mengakibatkan pemimpin yang terpilih adalah orang yang tidak berkompeten.
Selanjutnya, pemohon menilai terdapat kesalahan dalam teks Pasal 7 UUD 1945 tentang jabatan Presiden, baik kesalahan karena penulisan teks atau kesalahan dalam memahami teks. Kesalahan secara implisit mengandung makna 'bila' yaitu terkandung makna 'kondisional bersyarat'.
Menurut pemohon, kesalahan dimaksud karena teks mengambang dalam pengertiannya. Dengan makna 'kondisional bersyarat' tersebut, maka diperlukan peraturan tambahan untuk menguatkan maksud dari norma dimaksud.
Sehingga, secara keseluruhan makna utuh dari Pasal 7 UUD 1945 adalah hanya diutamakan untuk ditetapkan dua kali masa periode dan jika diinginkan, melalui pembiaran atau keputusan peradilan konstitusi yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun peraturan tambahan berupa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu menurut pemohon menjadi pokok dasar dari adanya pembatasan pribadi jabatan calon presiden dan atau wakil presiden untuk menjabat lebih dari dua kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun berselang.
Sehingga, pemohon berpendapat bahwa pembatasan jabatan Presiden justru lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya, sehingga norma yang mengatur pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya dua kali masa jabatan harus dihapus.
Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(rca)