Skalabilitas Rupiah Digital
loading...
A
A
A
Bila BI berfokus pada peningkatan skalabilitas melalui adopsipermission DLT, maka pilihan pelik yang harus dikorbankan adalah berkurangnya desentralisasi dan transparansi. Tapi, ini pilihan yang masuk akal karena CBDC seyogyanya memang harus divalidasi dan dikontrol oleh bank sentral serta beberapa otoritas yang berwenang saja.
Selain itu, adopsipermissionless DLT juga kurang implementatif dalam beberapa kebijakan atau regulasi karena sifat sejatinya yang terdesentralisasi.
Namun,permissioned DLT ini ditakutkan masih belum memadai dan mampu mewadahi transaksi yang memiliki volume sangat tinggi. Alhasil, masih ada perdebatan antara menggunakan sistem berbasis operasi DLT-Blockchain atau Non-DLT yang tersentralisasi.
Sejauh ini, belum ada risalah penelitian yang membuktikan bahwa DLT-Blockchain efektif mengatasi permasalahan skalabilitas maupun memberikan jaminan terhadap keamanan CBDC.
Mengacu pada data CBDC Tracker dari Atlantic Council per Februari 2023, terhitung ada 11 negara yang sudah meluncurkan CBDC, yaitu Bahama, Anguilla, Jamaika, Antigua dan Barbuda, Saint Kitt dan Nevis, Montserrat, Dominika, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Grenada, dan Nigeria. Hampir semuanya menggunakan teknologi DLT-Blockchain kecuali Jamaika dan Bahama yang menggunakan keduanya.
Secara teori, DLT-Blockchain memberikan beberapa keuntungan seperti tingkat resiliensi yang lebih tinggi akibat rendahnya risikosingle point of failure. Melalui sistem DLT-Blockchain, CBDC dapat terus beroperasi bahkan tanpa bank sentral sendiri. Akan tetapi, ini berpotensi memicu konflik bilamana tidak tercapai konsesus dalam persetujuan suatu transaksi.
Lebih dari itu, teknologi DLT-Blockchain membutuhkan konsumsi energi dan proses yang besar. Di lain sisi, Non-DLT ini lebih efisien, gesit, hemat energi, dan mengurangi potensi terjadinyadouble spendingatau sederhananya transaksi dengan token CBDC yang sama secara berulang. Hanya saja, risikosingle point of failuremenjadi lebih besar karena hanya bergantung pada satu pihak perantara saja.
Akhir kata, semuanya kembali ke kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai oleh BI nantinya. Pastinya, bila BI ingin mencapai skalabilitas yang optimal dengan tingkat keamanan ketat, maka mau tidak mau desentralisasi harus dikurangi.
Selain itu BI harus menegaskan bahwa proses penerbitan rupiah digital masih berliku, meski masa depan rupiah digital adalah sebuah keniscayaan. Sehingga harus dipastikan pembangunan ekosistem rupiah digital direncanakan dengan baik sehingga bisa diyakinkan kepada masyarakat bahwa rupiah adalah satu-satunya mata uang yang sah di NKRI.
Selain itu, adopsipermissionless DLT juga kurang implementatif dalam beberapa kebijakan atau regulasi karena sifat sejatinya yang terdesentralisasi.
Namun,permissioned DLT ini ditakutkan masih belum memadai dan mampu mewadahi transaksi yang memiliki volume sangat tinggi. Alhasil, masih ada perdebatan antara menggunakan sistem berbasis operasi DLT-Blockchain atau Non-DLT yang tersentralisasi.
Sejauh ini, belum ada risalah penelitian yang membuktikan bahwa DLT-Blockchain efektif mengatasi permasalahan skalabilitas maupun memberikan jaminan terhadap keamanan CBDC.
Mengacu pada data CBDC Tracker dari Atlantic Council per Februari 2023, terhitung ada 11 negara yang sudah meluncurkan CBDC, yaitu Bahama, Anguilla, Jamaika, Antigua dan Barbuda, Saint Kitt dan Nevis, Montserrat, Dominika, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Grenada, dan Nigeria. Hampir semuanya menggunakan teknologi DLT-Blockchain kecuali Jamaika dan Bahama yang menggunakan keduanya.
Secara teori, DLT-Blockchain memberikan beberapa keuntungan seperti tingkat resiliensi yang lebih tinggi akibat rendahnya risikosingle point of failure. Melalui sistem DLT-Blockchain, CBDC dapat terus beroperasi bahkan tanpa bank sentral sendiri. Akan tetapi, ini berpotensi memicu konflik bilamana tidak tercapai konsesus dalam persetujuan suatu transaksi.
Lebih dari itu, teknologi DLT-Blockchain membutuhkan konsumsi energi dan proses yang besar. Di lain sisi, Non-DLT ini lebih efisien, gesit, hemat energi, dan mengurangi potensi terjadinyadouble spendingatau sederhananya transaksi dengan token CBDC yang sama secara berulang. Hanya saja, risikosingle point of failuremenjadi lebih besar karena hanya bergantung pada satu pihak perantara saja.
Akhir kata, semuanya kembali ke kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai oleh BI nantinya. Pastinya, bila BI ingin mencapai skalabilitas yang optimal dengan tingkat keamanan ketat, maka mau tidak mau desentralisasi harus dikurangi.
Selain itu BI harus menegaskan bahwa proses penerbitan rupiah digital masih berliku, meski masa depan rupiah digital adalah sebuah keniscayaan. Sehingga harus dipastikan pembangunan ekosistem rupiah digital direncanakan dengan baik sehingga bisa diyakinkan kepada masyarakat bahwa rupiah adalah satu-satunya mata uang yang sah di NKRI.
(ynt)