Labirin Kekuasaan di Mata Ardern
loading...
A
A
A
Muhammad Takdir
Pemerhati Masalah Internasional
JACINDA Ardern (37), seorang perempuan yang menjadi Perdana Menteri termuda Selandia Baru mengundurkan diri dari jabatannya minggu lalu. PM Arden yang terpilih sejak Oktober 2017, memutuskan turun dari jabatan itu pada 7 Februari 2023. Bagi banyak orang, masa kepemimpinan Ardern boleh disebut pendek (short tenure), lima tahun lebih.
Mengejutkan sekaligus mengagumkan. Ardern turun pada saat dirinya diklaim sukses memimpin navigasi negara itu melewati sejumlah krisis penting, lokal dan global. Ardern yang sukses memenangkan term keduanya pada 2020 mampu membawa Selandia Baru keluar dari krisis kesehatan Covid-19.
Dirinya juga berhasil menenangkan masyarakat Selandia Baru yang marah dan berkabung akibat serangan teroris Christchurch. Ardern bahkan terlihat cekatan dan atentif memimpin penanganan bencana letusan Gunung Merapi Whakaari.
Saya kira di bawah Ardern, kaum perempuan di Selandia Baru berhasil meraup rekor 48% penguasaan kursi di parlemen diduduki oleh perempuan. Dalam pemilu itu, Ardern menjelma menjadi figur pemimpin partai politik pertama dan perempun pula yang mampu memenangkan mayoritas kursi di parlemen sejak sistem elektoral proporsional mixed member diperkenalkan pada tahun 1996.
Gaya kepemimpinan Ardern selama ini didefinisikan sebagai “politics of kindness”. Dia membangun karier politik dan dunia kekuasaan politik menurut terminnya sendiri. Ardern misalnya tidak canggung memimpin delegasi Selandia Baru mengikuti prosesi sidang-sidang sangat serius di PBB tanpa risih dan kerepotan membawa puterinya yang masih bayi bernama Neve.
Pokoknya, Ardern adalah antitesa terhadap sexism dan misogyny politik. Sebagai seorang politisi perempuan, Ardern mendefinisikan dunia politik sebagai labirin yang dapat dilalui tanpa harus tersesat ataupun kehilangan jejak.
Ini merupakan cara pandang politik yang justeru di kalangan politisi kaum laki kerap menjadi dunia hitam yang sulit ditaklukkan. Sehingga dunia politik yang mereka ciptakan seringkali meninggalkan ego politik yang memangsa mereka sendiri.
Ardern yang pernah membuat headline global dengan muncul sebagai sampul di Majalah Vogue (2018) dan Time (2020), menawarkan konsep penguasaan dunia politik yang selama ini submissive menjadi lahan layanan publik penuh humility. Ardern tidak pernah ingin mengkhianatinya tetapi sekaligus tidak menghendaki kekuasaan dunia politik mendefinisikan jalan hidupnya.
Itu sebabnya Ardern leluasa dan enteng memilih tanggal ia mengundurkan diri. Meninggalkan jabatan yang membesarkan namanya serta mengajarkan orang agar tidak mudah lengket pada sesuatu yang rapuh dan sarat ilusi.
Bagi sebagian kita, perempuan terlalu sering digambarkan sebagai sosok yang mudah dikalahkan dini atau prematur. Pada saat bersamaan, perspektif kekuasaan maskulin menciptakan permainan politik predator ship. Ardern merekonstruksi miskonsepsi tersebut dengan menyandingkan kombinasi executive leadership dengan motherhood secara manusiawi.
Salah satu peninggalan legacy Ardern bisa ditemukan di Parlemen Selandia Baru. Sebagai pimpinan eksekutif yang juga seorang ibu, Ardern yang mendorong adanya dedicated space di parlemen bagi anak-anak para anggota parlemen. Ardern pula yang menerapkan security clearances lebih luas bagi para pengasuh dan pasangan di lingkungan gedung parlemen.
Kebijakan paling penting lainnya yang ditinggalkan Ardern adalah kesempatan bagi para ibu yang baru memiliki bayi untuk mengambil cuti atau “compassionate leave” enam bulan pertama usia anak mereka atau “evening leave” pada 12 bulan pertama.
Semua itu merupakan redefinisi kekuasaan politik yang lebih segar dari seorang Jasinda Ardern. Saya kira Ardern mungkin pengagum Karl Gustav Jung, psikiater ternama Swiss (1875-1961). Sebab Karl pernah berkata, “saat cinta berdaulat, tidak ada keinginan untuk menguasai, dan saat kekuasaan berkuasa, cinta berkurang di mana seseorang merupakan bayangan atas yang lain”.
Pemerhati Masalah Internasional
JACINDA Ardern (37), seorang perempuan yang menjadi Perdana Menteri termuda Selandia Baru mengundurkan diri dari jabatannya minggu lalu. PM Arden yang terpilih sejak Oktober 2017, memutuskan turun dari jabatan itu pada 7 Februari 2023. Bagi banyak orang, masa kepemimpinan Ardern boleh disebut pendek (short tenure), lima tahun lebih.
Mengejutkan sekaligus mengagumkan. Ardern turun pada saat dirinya diklaim sukses memimpin navigasi negara itu melewati sejumlah krisis penting, lokal dan global. Ardern yang sukses memenangkan term keduanya pada 2020 mampu membawa Selandia Baru keluar dari krisis kesehatan Covid-19.
Dirinya juga berhasil menenangkan masyarakat Selandia Baru yang marah dan berkabung akibat serangan teroris Christchurch. Ardern bahkan terlihat cekatan dan atentif memimpin penanganan bencana letusan Gunung Merapi Whakaari.
Saya kira di bawah Ardern, kaum perempuan di Selandia Baru berhasil meraup rekor 48% penguasaan kursi di parlemen diduduki oleh perempuan. Dalam pemilu itu, Ardern menjelma menjadi figur pemimpin partai politik pertama dan perempun pula yang mampu memenangkan mayoritas kursi di parlemen sejak sistem elektoral proporsional mixed member diperkenalkan pada tahun 1996.
Gaya kepemimpinan Ardern selama ini didefinisikan sebagai “politics of kindness”. Dia membangun karier politik dan dunia kekuasaan politik menurut terminnya sendiri. Ardern misalnya tidak canggung memimpin delegasi Selandia Baru mengikuti prosesi sidang-sidang sangat serius di PBB tanpa risih dan kerepotan membawa puterinya yang masih bayi bernama Neve.
Pokoknya, Ardern adalah antitesa terhadap sexism dan misogyny politik. Sebagai seorang politisi perempuan, Ardern mendefinisikan dunia politik sebagai labirin yang dapat dilalui tanpa harus tersesat ataupun kehilangan jejak.
Ini merupakan cara pandang politik yang justeru di kalangan politisi kaum laki kerap menjadi dunia hitam yang sulit ditaklukkan. Sehingga dunia politik yang mereka ciptakan seringkali meninggalkan ego politik yang memangsa mereka sendiri.
Ardern yang pernah membuat headline global dengan muncul sebagai sampul di Majalah Vogue (2018) dan Time (2020), menawarkan konsep penguasaan dunia politik yang selama ini submissive menjadi lahan layanan publik penuh humility. Ardern tidak pernah ingin mengkhianatinya tetapi sekaligus tidak menghendaki kekuasaan dunia politik mendefinisikan jalan hidupnya.
Itu sebabnya Ardern leluasa dan enteng memilih tanggal ia mengundurkan diri. Meninggalkan jabatan yang membesarkan namanya serta mengajarkan orang agar tidak mudah lengket pada sesuatu yang rapuh dan sarat ilusi.
Bagi sebagian kita, perempuan terlalu sering digambarkan sebagai sosok yang mudah dikalahkan dini atau prematur. Pada saat bersamaan, perspektif kekuasaan maskulin menciptakan permainan politik predator ship. Ardern merekonstruksi miskonsepsi tersebut dengan menyandingkan kombinasi executive leadership dengan motherhood secara manusiawi.
Salah satu peninggalan legacy Ardern bisa ditemukan di Parlemen Selandia Baru. Sebagai pimpinan eksekutif yang juga seorang ibu, Ardern yang mendorong adanya dedicated space di parlemen bagi anak-anak para anggota parlemen. Ardern pula yang menerapkan security clearances lebih luas bagi para pengasuh dan pasangan di lingkungan gedung parlemen.
Kebijakan paling penting lainnya yang ditinggalkan Ardern adalah kesempatan bagi para ibu yang baru memiliki bayi untuk mengambil cuti atau “compassionate leave” enam bulan pertama usia anak mereka atau “evening leave” pada 12 bulan pertama.
Semua itu merupakan redefinisi kekuasaan politik yang lebih segar dari seorang Jasinda Ardern. Saya kira Ardern mungkin pengagum Karl Gustav Jung, psikiater ternama Swiss (1875-1961). Sebab Karl pernah berkata, “saat cinta berdaulat, tidak ada keinginan untuk menguasai, dan saat kekuasaan berkuasa, cinta berkurang di mana seseorang merupakan bayangan atas yang lain”.
(poe)