'Mission Sacre'Jurnalistik
loading...
A
A
A
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
DALAM peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Gedung Serbaguna Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Deli Serdang, Kamis (9/2/2023) lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa isu utama dunia pers saat ini adalah membuat pemberitaan yang bertanggungjawab. Sebab saat ini masyarakat sedang kebanjiran berita, baik dari media sosial (medsos), media daring, maupun platform media digital lainnya.
Pers Indonesia harus tetap sekuat tenaga menjalankan misi suci (mission sacre) jurnalistik sebagai penjernih informasi (clearance of information) di tengah keruhnya informasi yang banyak beredar lewat media social (medsos).
Antara informasi yang benar dan palsu bercampur, menyebar lewat laman-laman medsos menjadikan masyarakat kebingungan dalam menemukan informasi yang benar dan layak dipercaya.
Baca Juga: koran-sindo.com
Harapan besar tertumpu pada peran pers Tanah Air, walaupun saat ini pers Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pers dihadapkan pada era disrupsi yang menuntut industri dan insan pers melakukan keseimbangan baru dalam menghadapi era digitalisasi dan penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dapat mengubah manajemen pengelolaan media dan proses kerja jurnalistik.
Kemerdekaan pers juga masih belum sepenuhnya terwujud karena sejumlah kasus serangan pada jurnalis masih saja terjadi. Pers masih dalam bayang-bayang kriminalisasi. Kemerdekaan pers masih dihadapkan pada situasi kelam pascapengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Sejumlah pasal yang ada di dalamnya berpotensi menjerat jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Eksistensi pers juga terus tergerus oleh munculnya beragam platform medsos. Kehadiran medsos dapat mendisrupsi bahkan bisa membuat beberapa industri pers tumbang. Lahirnya digitalisasi telah mendisrupsi model pengelolaan perusahaan dan cara kerja insan pers. Pergeseran pola konsumsi informasi masyarakat dari media arus utama (mainstream media) ke aneka laman medsos menuntut insan pers melakukan penyesuaian dan perubahan.
Philip Meyer (2004) dalam bukunya The Vanishing Newspaper memprediksi bahwa koran akan mati pada 2043. Bisa jadi media cetak atau koran memang mungkin mati, namun bukan pers. Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers tak boleh mati. Semua pihak perlu berkomitmen agar pers tak mati. Karena ketika pers mati, maka demokrasi tak ada lagi penjaganya. Sebagai "anjing penjaga" demokrasi, pers tak boleh mati.
Serbuan Korporasi Media Digital
Era digitalisasi saat ini telah memicu masifnya bisnis korporasi media. Raksasa platform media seperti Google, Facebook (Meta), dan sejumlah media baru yang lain telah menyerbu masyarakat dan menggeser kelangsungan hidup pers nasional.
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
DALAM peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Gedung Serbaguna Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Deli Serdang, Kamis (9/2/2023) lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa isu utama dunia pers saat ini adalah membuat pemberitaan yang bertanggungjawab. Sebab saat ini masyarakat sedang kebanjiran berita, baik dari media sosial (medsos), media daring, maupun platform media digital lainnya.
Pers Indonesia harus tetap sekuat tenaga menjalankan misi suci (mission sacre) jurnalistik sebagai penjernih informasi (clearance of information) di tengah keruhnya informasi yang banyak beredar lewat media social (medsos).
Antara informasi yang benar dan palsu bercampur, menyebar lewat laman-laman medsos menjadikan masyarakat kebingungan dalam menemukan informasi yang benar dan layak dipercaya.
Baca Juga: koran-sindo.com
Harapan besar tertumpu pada peran pers Tanah Air, walaupun saat ini pers Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pers dihadapkan pada era disrupsi yang menuntut industri dan insan pers melakukan keseimbangan baru dalam menghadapi era digitalisasi dan penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dapat mengubah manajemen pengelolaan media dan proses kerja jurnalistik.
Kemerdekaan pers juga masih belum sepenuhnya terwujud karena sejumlah kasus serangan pada jurnalis masih saja terjadi. Pers masih dalam bayang-bayang kriminalisasi. Kemerdekaan pers masih dihadapkan pada situasi kelam pascapengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Sejumlah pasal yang ada di dalamnya berpotensi menjerat jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Eksistensi pers juga terus tergerus oleh munculnya beragam platform medsos. Kehadiran medsos dapat mendisrupsi bahkan bisa membuat beberapa industri pers tumbang. Lahirnya digitalisasi telah mendisrupsi model pengelolaan perusahaan dan cara kerja insan pers. Pergeseran pola konsumsi informasi masyarakat dari media arus utama (mainstream media) ke aneka laman medsos menuntut insan pers melakukan penyesuaian dan perubahan.
Philip Meyer (2004) dalam bukunya The Vanishing Newspaper memprediksi bahwa koran akan mati pada 2043. Bisa jadi media cetak atau koran memang mungkin mati, namun bukan pers. Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers tak boleh mati. Semua pihak perlu berkomitmen agar pers tak mati. Karena ketika pers mati, maka demokrasi tak ada lagi penjaganya. Sebagai "anjing penjaga" demokrasi, pers tak boleh mati.
Serbuan Korporasi Media Digital
Era digitalisasi saat ini telah memicu masifnya bisnis korporasi media. Raksasa platform media seperti Google, Facebook (Meta), dan sejumlah media baru yang lain telah menyerbu masyarakat dan menggeser kelangsungan hidup pers nasional.