Semua Pihak Diajak Junjung Pesta Demokrasi Tanpa Ujaran Kebencian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilu Presiden (Pilpres) dinilai hanya alat untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis dan bermartabat. Karena itu, setiap tahapan Pilpres 2024 diharapkan tidak sampai merusak kohesi dan harmoni kebangsaan.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Prof Hamdi Muluk tak memungkiri pesta demokrasi tidak akan pernah lepas dari politik identitas. Namun iklim demokrasi sehat, yang jauh dari narasi ujaran kebencian, hoaks, adu domba, dan SARA tetap harus diwujudkan dan dijunjung oleh seluruh unsur negara.
"Setiap orang yang mau berkontestasi, harus cakap secara politik. Artinya punya kepemimpinan, mengerti isu-isu publik, bisa mengatur manajemen pemerintahan dan sebagainya. Seperti sesuatu yang rasional," kata Hamdi Mulukdi Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Menurut Hamdi, para politisi atau aktor-aktor yang memiliki kepentingan politik masih sering memobilisasi sentimen yang disebut politik identitas. Mereka juga kerap tergoda untuk memenangkan pemilu dengan menjadikan sentimen suku keagamaan untuk memenangkan kontestasi.
"Politik identitas memanipulasi identitas etnik dan keagamaan untuk kepentingan politik. Tentunya ini dalam hukum-hukum demokrasi memang dianggap melewati pagar-pagar demokrasi yang seharusnya tidak boleh diloncati. Dalam norma demokrasi, itu haram hukumnya," ujarnya.
Ia melihat kontestasi politik di Indonesia dari tahun ke tahun kerap diwarnai nuansa permusuhan dan kebencian. Hal ini dapat semakin memperkeruh suasana demokrasi seakan tidak lebih dari sekadar peperangan.
"Masyarakat harus punya literasi politik dan pendidikan yang cukup. Tidak banyak masyarakat yang bisa menilai calon kontestan politik baik partai ataupun perorangan dengan memakai kriteria-kriteria yang rasional seperti rekam jejak, program, visi misi politik, program politik, dan sebagainya," katanya.
Baca juga: 3 Juta Konten Negatif di Medsos Ditemukan: Pornografi, Hoaks, dan Ujaran Kebencian
Menurut Hamdi, kondisi ini menjadi salah satu pemicu terciptanya radikalisasi di tengah masyarakat. Apalagi jika kepentingan politik sudah dibumbui dengan narasi keagamaan yang keliru. Hal ini akan mendorong kelompok radikal atau kelompok ekstremis kekerasan membajak ideologi agama.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Prof Hamdi Muluk tak memungkiri pesta demokrasi tidak akan pernah lepas dari politik identitas. Namun iklim demokrasi sehat, yang jauh dari narasi ujaran kebencian, hoaks, adu domba, dan SARA tetap harus diwujudkan dan dijunjung oleh seluruh unsur negara.
"Setiap orang yang mau berkontestasi, harus cakap secara politik. Artinya punya kepemimpinan, mengerti isu-isu publik, bisa mengatur manajemen pemerintahan dan sebagainya. Seperti sesuatu yang rasional," kata Hamdi Mulukdi Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Menurut Hamdi, para politisi atau aktor-aktor yang memiliki kepentingan politik masih sering memobilisasi sentimen yang disebut politik identitas. Mereka juga kerap tergoda untuk memenangkan pemilu dengan menjadikan sentimen suku keagamaan untuk memenangkan kontestasi.
"Politik identitas memanipulasi identitas etnik dan keagamaan untuk kepentingan politik. Tentunya ini dalam hukum-hukum demokrasi memang dianggap melewati pagar-pagar demokrasi yang seharusnya tidak boleh diloncati. Dalam norma demokrasi, itu haram hukumnya," ujarnya.
Ia melihat kontestasi politik di Indonesia dari tahun ke tahun kerap diwarnai nuansa permusuhan dan kebencian. Hal ini dapat semakin memperkeruh suasana demokrasi seakan tidak lebih dari sekadar peperangan.
"Masyarakat harus punya literasi politik dan pendidikan yang cukup. Tidak banyak masyarakat yang bisa menilai calon kontestan politik baik partai ataupun perorangan dengan memakai kriteria-kriteria yang rasional seperti rekam jejak, program, visi misi politik, program politik, dan sebagainya," katanya.
Baca juga: 3 Juta Konten Negatif di Medsos Ditemukan: Pornografi, Hoaks, dan Ujaran Kebencian
Menurut Hamdi, kondisi ini menjadi salah satu pemicu terciptanya radikalisasi di tengah masyarakat. Apalagi jika kepentingan politik sudah dibumbui dengan narasi keagamaan yang keliru. Hal ini akan mendorong kelompok radikal atau kelompok ekstremis kekerasan membajak ideologi agama.