Lewat Sebuah Buku, Desmond Mahesa Ungkap Seluk-Beluk tentang DPR
loading...
A
A
A
Sehingga DPR kehilangan kepercayaan rakyat. Banyak programnya yang bagus, sering kali kandas karena curiga publik bahwa program itu akan jadi ladang korupsi baru. Meski memuat otokritik, buku ini bukanlah buku yang muram.
Palguna mengatakan, mungkin Desmond satu-satunya politisi yang secara tekun menghimpun data untuk menelusuri jejak fungsi DPR dari masa ke masa tanpa kehilangan daya kritisnya dalam meneliti subjek penelitiannya secara objektif.
"Lebih dari sekadar fakta dan data, paparan dalam buku ini adalah sekaligus refleksi kritis seorang aktivis terhadap lembaga yang tanpa henti ia kritisi sejak berstatus sebagai outsider, aktivis penyeru suara moral, hingga menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Karena itu, bagi mereka yang hendak mendalami hal-ihwal yang bersangkut-paut dengan pertumbuhan fungsi-fungsi DPR, buku ini adalah referensi penting yang tak boleh diabaikan," ucap Palguna.
Palguna mengatakan, cikal-bakal lembaga legislatif ini sesungguhnya sudah ada sejak masa kolonial Belanda, yaitu ketika pada tahun 1916 atas prakarsa Gubernur Jenderal J.P. van Limburg Stirum (yang disokong oleh Menteri Urusan Kolonial, Thomas Bastiaan Pleyte) didirikan Volksraad di Hindia Belanda.
Meski diberi nama mentereng Volksraad alias Dewan Rakyat, keberadaan lembaga ini sesungguhnya tidak lebih sebagai penggembira karena Gubernur Jenderal memiliki hak veto terhadap keputusan-keputusan Volksraad, lebih-lebih yang membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, sejarah juga mencatat, lewat Volksraad pula sebuah petisi nekat yang di belakang hari ternyata berpengaruh besar terhadap tumbuhnya kesadaran kebangsaan dan kemerdekaan negeri ini lahir.
Itulah Petisi Soetardjo, petisi yang menyerukan kemerdekaan Indonesia yang diusulkan oleh anggota Volksraad bernama Soetardjo Kartohadikoesoemo pada tanggal 15 Juli 1936 kepada Ratu Belanda, Wilhelmina, dan kepada Parlemen Belanda saat itu (Staten Generaal).
"Kisah ini pun diulas dalam buku ini. Dari situ, secara sekuensial, kisah kemudian mengalir hingga perkembangan fungsi-fungsi DPR Pascareformasi," ucap Palguna.
Dari sebab itu, pengalaman-pengalaman Desmond sebagai wakil rakyat di DPR dan himpunan peraturan-peraturan yang dihimpun dalam buku ini dapat menjadi rujukan dalam menelusuri fungsi-fungsi DPR dari masa ke masa hingga saat ini.
"Lebih dari itu, harapan kita semua kepada Desmond untuk senantiasa bersuara dengan lantang dalam mengawal dan mengawasi demokrasi Indonesia. Mungkin DPR saat ini belum ideal, terutama karena suppliernya, yaitu parpol-parpol kita, juga belum ideal. Tetapi kiranya hal itu tidak akan menyurutkan Desmond menemukan jalan keluar dari kebuntuan," kata Palguna.
Palguna mengatakan, mungkin Desmond satu-satunya politisi yang secara tekun menghimpun data untuk menelusuri jejak fungsi DPR dari masa ke masa tanpa kehilangan daya kritisnya dalam meneliti subjek penelitiannya secara objektif.
"Lebih dari sekadar fakta dan data, paparan dalam buku ini adalah sekaligus refleksi kritis seorang aktivis terhadap lembaga yang tanpa henti ia kritisi sejak berstatus sebagai outsider, aktivis penyeru suara moral, hingga menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Karena itu, bagi mereka yang hendak mendalami hal-ihwal yang bersangkut-paut dengan pertumbuhan fungsi-fungsi DPR, buku ini adalah referensi penting yang tak boleh diabaikan," ucap Palguna.
Palguna mengatakan, cikal-bakal lembaga legislatif ini sesungguhnya sudah ada sejak masa kolonial Belanda, yaitu ketika pada tahun 1916 atas prakarsa Gubernur Jenderal J.P. van Limburg Stirum (yang disokong oleh Menteri Urusan Kolonial, Thomas Bastiaan Pleyte) didirikan Volksraad di Hindia Belanda.
Meski diberi nama mentereng Volksraad alias Dewan Rakyat, keberadaan lembaga ini sesungguhnya tidak lebih sebagai penggembira karena Gubernur Jenderal memiliki hak veto terhadap keputusan-keputusan Volksraad, lebih-lebih yang membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, sejarah juga mencatat, lewat Volksraad pula sebuah petisi nekat yang di belakang hari ternyata berpengaruh besar terhadap tumbuhnya kesadaran kebangsaan dan kemerdekaan negeri ini lahir.
Itulah Petisi Soetardjo, petisi yang menyerukan kemerdekaan Indonesia yang diusulkan oleh anggota Volksraad bernama Soetardjo Kartohadikoesoemo pada tanggal 15 Juli 1936 kepada Ratu Belanda, Wilhelmina, dan kepada Parlemen Belanda saat itu (Staten Generaal).
"Kisah ini pun diulas dalam buku ini. Dari situ, secara sekuensial, kisah kemudian mengalir hingga perkembangan fungsi-fungsi DPR Pascareformasi," ucap Palguna.
Dari sebab itu, pengalaman-pengalaman Desmond sebagai wakil rakyat di DPR dan himpunan peraturan-peraturan yang dihimpun dalam buku ini dapat menjadi rujukan dalam menelusuri fungsi-fungsi DPR dari masa ke masa hingga saat ini.
"Lebih dari itu, harapan kita semua kepada Desmond untuk senantiasa bersuara dengan lantang dalam mengawal dan mengawasi demokrasi Indonesia. Mungkin DPR saat ini belum ideal, terutama karena suppliernya, yaitu parpol-parpol kita, juga belum ideal. Tetapi kiranya hal itu tidak akan menyurutkan Desmond menemukan jalan keluar dari kebuntuan," kata Palguna.
(maf)