IPK Merosot, Sudirman Said: Pemilu 2024 Kesempatan Besar Perbaiki Tata Kelola Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Transparency International Indonesia (TII) melaporkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot 4 poin menjadi 34 pada 2022. Hal itu membuat peringkat IPK Indonesia merosot dari 96 menjadi di posisi 110.
Peringkat Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, serta Timor Leste.
Terkait hal itu, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said menilai kemerosotan IPK menandakan ada masalah serius di tingkat makro penyelenggaraan negara. Menurut dia, IPK hanya salah satu cermin dari tata kelola pemerintahan.
“Saya melihatnya korupsi itu lebih dari sekadar soal penegakan hukum. Tapi korupsi itu soal perilaku, nilai-nilai, kultur kekuasaan dan soal kesehatan demokrasi, dan ada huhungan erat dengan politik keseluruhan,” ujar Sudirman di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Ia menegaskan pemerintah gagal mengelola lingkungan pengendalian di tingkat makro. Dengan demikian, tata nilai, etika, dan aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah negara tak berjalan dengan baik.
“Ini yang sedang merosot, lingkungan pengendalian makro. Misalnya, praktik nepotisme di level paling tinggi memberikan contoh. Maka yang di level bawah akan mengikuti,” jelasnya.
“Level paling tinggi bukan hanya pada nasional tapi juga bisa pada level provinsi, kabupaten, dan kementerian terjadi nepotisme,” sambung Sudirman.
Selain soal lingkungan pengendalian makro, tata kelola pemerintahan juga masih diwarnai benturan kepentingan. Sudirman menyatakan hal itu yang merusak demokrasi dan melanggengkan korupsi.
“Conflict of interest ditunjukkan di mana-mana. Benturan kepentingan antara yang membuat regulasi dan yang mendapat manfaat regulasi. Antara kekuasaan yang harusnya menjaga kepentingan publik, tapi juga ikut menjalankan usaha di dalam kekuasaan,” tandasnya.
“Alat-alat kontrol dalam tata negara mengalami penumpukan. Misalnya, apakah Parlemen kita masih eksis sebagai alat kontrol? Apakah badan audit negara masih efektif sebagai alat kontrol?. Apakah lembaga penegak hukum masih memiliki kewibawaan?" sambungnya.
Menurut dia, praktik bernegara semakin terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif. KPK dipreteli dari pelemahan aspek legal hingga penempatan orang-orang bermasalah pada level pimpinan. Sementara sekelompok pekerja yang profesional dan menjaga idealisme digusur secara sistematis.
Ia menjelaskan IPK yang merosot juga dipengaruhi perilaku yang meminggirkan etika publik para pejabat tinggi negara. Ia berharap kemerosotan IPK ini bisa diperbaiki secepatnya. Dimulai dari mencari lapis baru kepemimpinan melalui Pemilu 2024.
“Setiap perubahan besar selalu memberi harapan bagi lahirnya perbaikan,” tegas mantan Menteri ESDM ini.
“Inilah kesempatan besar bagi bangsa untuk memperbaiki lingkungan pengendalian makro. Dengan cara mendorong figur-figur yang punya komitmen pada clean government, tata kelola dan penegakan etika publik, untuk maju berkontestasi secara sehat,” tutupnya.
Peringkat Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, serta Timor Leste.
Terkait hal itu, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said menilai kemerosotan IPK menandakan ada masalah serius di tingkat makro penyelenggaraan negara. Menurut dia, IPK hanya salah satu cermin dari tata kelola pemerintahan.
“Saya melihatnya korupsi itu lebih dari sekadar soal penegakan hukum. Tapi korupsi itu soal perilaku, nilai-nilai, kultur kekuasaan dan soal kesehatan demokrasi, dan ada huhungan erat dengan politik keseluruhan,” ujar Sudirman di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Ia menegaskan pemerintah gagal mengelola lingkungan pengendalian di tingkat makro. Dengan demikian, tata nilai, etika, dan aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah negara tak berjalan dengan baik.
“Ini yang sedang merosot, lingkungan pengendalian makro. Misalnya, praktik nepotisme di level paling tinggi memberikan contoh. Maka yang di level bawah akan mengikuti,” jelasnya.
“Level paling tinggi bukan hanya pada nasional tapi juga bisa pada level provinsi, kabupaten, dan kementerian terjadi nepotisme,” sambung Sudirman.
Selain soal lingkungan pengendalian makro, tata kelola pemerintahan juga masih diwarnai benturan kepentingan. Sudirman menyatakan hal itu yang merusak demokrasi dan melanggengkan korupsi.
“Conflict of interest ditunjukkan di mana-mana. Benturan kepentingan antara yang membuat regulasi dan yang mendapat manfaat regulasi. Antara kekuasaan yang harusnya menjaga kepentingan publik, tapi juga ikut menjalankan usaha di dalam kekuasaan,” tandasnya.
“Alat-alat kontrol dalam tata negara mengalami penumpukan. Misalnya, apakah Parlemen kita masih eksis sebagai alat kontrol? Apakah badan audit negara masih efektif sebagai alat kontrol?. Apakah lembaga penegak hukum masih memiliki kewibawaan?" sambungnya.
Menurut dia, praktik bernegara semakin terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif. KPK dipreteli dari pelemahan aspek legal hingga penempatan orang-orang bermasalah pada level pimpinan. Sementara sekelompok pekerja yang profesional dan menjaga idealisme digusur secara sistematis.
Ia menjelaskan IPK yang merosot juga dipengaruhi perilaku yang meminggirkan etika publik para pejabat tinggi negara. Ia berharap kemerosotan IPK ini bisa diperbaiki secepatnya. Dimulai dari mencari lapis baru kepemimpinan melalui Pemilu 2024.
“Setiap perubahan besar selalu memberi harapan bagi lahirnya perbaikan,” tegas mantan Menteri ESDM ini.
“Inilah kesempatan besar bagi bangsa untuk memperbaiki lingkungan pengendalian makro. Dengan cara mendorong figur-figur yang punya komitmen pada clean government, tata kelola dan penegakan etika publik, untuk maju berkontestasi secara sehat,” tutupnya.
(kri)